Jumat, April 19, 2024

Dari virus ke omnibus dan krisis iklim

Must read

Siksa Kubur

Potret gerakan digital 2020 di Change.org

Banyak hal yang terjadi di tahun 2020, menjadikan tahun itu tak mudah untuk dilupakan dan meninggalkan kesan yang dalam bagi setiap orang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Tim Change.org Indonesia membuat laporan yang berisi rangkuman gerakan-gerakan digital di tahun 2020.

“Kami merangkum ada tiga isu besar yang terjadi di Indonesia pada tahun 2020: krisis iklim, pandemi Covid-19, dan gerakan penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja dan undang-undang kontroversial lainnya,” kata Arief Aziz, Direktur Eksekutif dan Pendiri Change.org Indonesia.

Tahun 2020 diawali oleh isu banjir besar di DKI Jakarta, serta kebakaran hutan terbesar di Australia. Bencana-bencana tersebut menambah deretan dampak krisis iklim yang semakin nampak dan dekat dengan masyarakat.

“Change.org Indonesia telah secara khusus merangkum pergerakan digital untuk krisis iklim dalam laporan Tren Kampanye Perubahan Iklim di Indonesia. Dalam laporan tersebut, isu lingkungan menjadi salah satu isu yang paling populer dibahas dalam lima tahun terakhir yang terbagi menjadi 10 isu kategori. Di antaranya, isu pertambangan, batu bara, limbah makanan, transportasi umum, bangunan hijau dan lainnya,” papar Arief.

Dari isu-isu tersebut, terkumpul 9,2 juta tanda tangan dengan kategori deforestasi yang mendapatkan 70% dari total dukungan. 

Beberapa petisi yang dimulai sebagai upaya untuk mengatasi krisis iklim banyak mendapat dukungan. Seperti petisi yang dimulai Nadia Mulya kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani agar menerapkan cukai plastik untuk mengurangi produksi dan konsumsi plastik. Juga petisi yang dimulai Salsabila dari Jaga Rimba untuk melindungi hutan adat Laman Kinipan di Kalimantan Tengah. 

“Mogok Sekolah untuk Hutan menjadi pengingat bahwa waktu kita tidak banyak. Jika kita tidak segera bertindak dalam melawan krisis ekologi hari ini, maka tidak akan ada masa kini dan masa depan yang aman dan layak untuk ditinggali semua makhluk hidup. Jika sekarang kita tengah berada di ambang kepunahan, maka ini salah satu cara untuk bertahan hidup,” tutur Salsabila.

“Petisi #DukungCukaiPlastik ini merupakan salah satu petisi dalam gerakan #TolakSekaliPakai Change.org yang diangkat tiga tahun lalu dengan lebih dari 1.100.000 orang yang telah menandatangani. Kenapa cukai plastik? Karena penanganan di hilir saja tidak cukup, urgensi isu sampah plastik sekarang memerlukan tindakan nyata yang harus dilakukan di hulu juga.”

“Saat inipun pemerintah sedang menggenjot devisa dari berbagai sumber untuk mendukung pemulihan pasca pandemi, cukai plastik ini tentunya dapat membantu untuk menggenjot devisa sehingga tidak ada alasan untuk menunda penerapan cukai plastik,” tambah Nadia Mulya.

Selanjutnya, di awal kuartal kedua tahun 2020, isu tentang Covid-19 semakin banyak diperhatikan, seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang terinfeksi Covid-19.

Pandemi Covid-19 telah mengubah kebiasaan masyarakat, termasuk dalam pergerakan sosial. Himbauan tetap di rumah untuk mengurangi penyebaran virus menjadikan ruang digital sebagai kanal utama dalam pergerakan masyarakat sipil. Isu mengenai Covid-19 seperti persediaan masker, perlindungan tenaga kesehatan, jumlah testing, dan lainnya, sering menjadi trending topic di media sosial. 

Hal yang sama juga terlihat di platform Change.org. Jumlah petisi mengenai pandemi Covid-19 mencapai 329 petisi, dengan total dukungan hampir 1,7 juta tanda tangan. Kami mengumpulkan petisi-petisi tentang Covid-19 itu di laman lawancovid19-change.org.

Berbagai individu dan organisasi masyarakat sipil menyuarakan berbagai kekhawatiran mereka terkait dengan pandemi Covid-19. Mulai dari permintaan untuk mengawal tes massal Covid-19, menurunkan harga tes PCR, menggratiskan vaksin, sampai meminta transparansi terhadap data vaksin yang akan digunakan. 

“Waktu itu aku buat petisi yang pertama (#KawalTesMassal), karena belum ada tes massal (Covid-19), dan aku prihatin karena pemerintah tidak segera ambil kebijakan untuk mencegah penyebarluasan Covid-19 di Indonesia. Kemudian, untuk petisi yang kedua (#TurunkanHargaPCR), karena harga tes PCR mahal dan tidak bisa diakses masyarakat menengah ke bawah. Itu yang menyebabkan penyebaran Covid-19 tidak terbendung,” kata Meika Arista, penggagas dua petisi terkait Covid-19, #KawalTesMassal dan #TurunkanHargaPCR. 

Terkait permintaan terhadap transparansi data vaksin yang akan digunakan, dr. Yohanes Wibowo, pembuat petisi #VaksinHarusTransparan, mengatakan bahwa ia memulai gerakannya karena merasa rencana vaksinasi awalnya dianggap terlalu terburu-buru. “Tidak ada lembaga resmi seperti WHO yang merekomendasikan vaksin apapun, karena uji klinis belum selesai dan hasil sementara / ad interim belum ada. BPOM pun belum melakukan review sama sekali,” kata dr. Yohanes. 

Photo by Anete Lusina from Pexels

Beberapa petisi tentang Covid-19 juga berhasil menang dan menjadi salah satu petisi dengan kemenangan terbesar. Beberapa kemenangan terbesar adalah petisi untuk mencopot Menteri Kesehatan Terawan, dan menggratiskan vaksin Covid-19 untuk seluruh masyarakat yang disusun oleh Sulfikar. Selain itu, Mendikbud Nadiem Makarim juga merespon permintaan untuk pembebasan biaya kuliah mahasiswa di perguruan tinggi negeri yang akibat dampak pandemi Covid-19.

Program vaksinasi mandiri (berbayar) yang sempat ramai dibicarakan juga menjadi perhatian Sulfikar Amir, Ph.D., yang akhirnya memulai petisi #VaksinUntukSemua agar pemerintah menggratiskan vaksin Covid-19 untuk seluruh masyarakat dan tidak mengkomersialisasikan vaksin. Tak lama sejak petisinya dimulai, Presiden Joko Widodo mendengarkan akhirnya mendengarkan suara publik dan menyatakan akan menggratiskan vaksin. Sulfikar menyatakan apresiasinya terhadap keputusan pemerintah tersebut. Ia mengatakan akan terus mengawal isu tentang Covid-19 hingga pandemi berakhir.

“Saya sering membicarakan tentang pandemi di media sosial karena saya sudah kehilangan 4 anggota keluarga saya karena Covid-19. Saya memulai petisi untuk menggratiskan vaksin karena semua orang harus bisa mengakses vaksin. Kalau misalnya vaksin dijual, rencana membentuk herd immunity atau kekebalan kawanan dari Covid-19 bisa gagal. Tenaga kesehatan, polisi dan militer, atau orang dengan penyakit penyerta (komorbid) bisa nggak kebagian jatah vaksin. Vaksin mungkin bisa jadi komersial ketika pandemi sudah mereda dan distribusinya sudah merata,” kata Sulfikar.

Memasuki akhir tahun 2020, isu penolakan terhadap omnibus law UU Ciptaker ramai dibicarakan di media sosial, termasuk di platform Change.org Indonesia. Banyak orang mengkritik pemerintahan Presiden Jokowi dan DPR yang telah mengesahkan undang-undang tersebut secara terburu-buru dan tanpa melalui proses yang terbuka dan tidak melibatkan publik. 

Beberapa petisi penolakan Omnibus Law yang dimulai oleh aktivis lingkungan, pegiat demokrasi, dan sekelompok pemuka agama mencapai dukungan lebih dari 2,5 juta orang. 

“Tertutupnya ruang keterlibatan dan partisipasi publik dalam proses perancangan hingga pengesahan UU Ciptaker adalah bentuk kudeta kedaulatan rakyat. Akibatnya secara material, UU Ciptaker tersebut tidak pro kepentingan rakyat. UU Cipta Kerja mengancam banyak sektor riil kehidupan rakyat mulai dari kebebasan sipil, keadilan sosial, ekonomi, budaya dan keberlanjutan lingkungan hidup. Dan ketika berbagai saluran aspirasi demokratis mengalami kemacetan bahkan diberangus dan dibungkam, maka kami melihat bahwa melalui petisi ini adalah bentuk alternatif dalam menyalurkan aspirasi dan perjuangan melakukan konsolidasi penolakan UU Ciptaker tersebut,” kata Pdt Penrad Siagian, salah satu penggagas petisi tolak Omnibus Law. 

Sentimen yang sama juga disampaikan oleh Asep Komarudin dari Greenpeace Indonesia, yang membuat petisi #AtasiVirusCabutOmnibus. “Petisinya dibuat sebelum omnibus law disahkan. Kami meminta pemerintah dan DPR untuk fokus dalam menangani pandemi, bukannya membahas sebuah regulasi yang dianggap ‘cacat’ sejak awal. Selain itu, kenapa publik sulit sekali mengakses dokumen tersebut?”

Asfinawati, Direktur Eksekutif YLBHI, juga ikut menyuarakan kritiknya terhadap omnibus law lewat gerakan #MosiTidakPercaya. Ia berpendapat, “Omnibus law akan mempengaruhi banyak sekali aspek kehidupan kita, mulai dari hubungan kerja, pendidikan, lingkungan, kualitas pangan, dan lainnya. Perubahan ke depannya diharapkan terjadi di level negara, supaya ada keadilan dan pemenuhan kesejahteraan masyarakat luas. Saya berharap di tahun 2021, gerakan bisa menjadi lebih solid, melampaui sekat-sekat yang masih ada dan semakin meluas.”

“Tahun 2020 memang tahun yang sulit bagi kita semua. Tapi ini rupanya tak menyurutkan semangat orang-orang untuk bergerak dan bekerja sama membuat perubahan sosial. Kami melihat peningkatan pengguna Change.org Indonesia yang mencapai 3 juta pengguna di tahun 2020 sebagai indikator bahwa semakin banyak orang yang mau bergerak, dan bekerja sama mengumpulkan kekuatan demi terciptanya perubahan sosial. Kami juga melihat angka 1,2 juta pengguna yang berkontribusi terhadap kemenangan petisi di tahun 2020 sebagai bukti bahwa people power masih bekerja di Indonesia. Suara rakyat masih punya kekuatan. Dan kami di Change.org merasa terhormat menjadi bagian dari proses perubahan itu, dengan mengambil posisi sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyatnya, parlemen dengan konstituennya, dan perusahaan dengan konsumennya,” tutup Arief.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article