Kamis, April 25, 2024

Fragile

Must read

Catatan Pinggir

Goenawan Mohamad

Kemarin teman saya meninggal karena virus — dan dukacita itu bukan yang pertama. Mungkin bukan yang terakhir. Tiap hari kita dengar berita penularan dan kematian: Covid-19 belum berhenti mengambil korban. Dunia mencoba memeranginya dengan terengah-engah.

How fragile we are
How fragile we are

Tentu, lagu Sting itu lebih berbicara tentang sejarah yang dirundung kekerasan ketimbang tentang hubungan manusia dengan pandemi. Tapi di hari-hari ini pun terasa apa yang fragile atau rapuh itu: tak ada yang bisa jawab kapan wabah ini reda. Juga sains tak bisa.

Tak berarti sains sia-sia. Manusia telah lama melampaui abad ke-13, ketika Wabah Besar Pes membinasakan sepertiga penduduk Eropa. Menakutkan, misterius: tubuh dan roh seakan terhampar dalam khaos seperti dilukiskan Pieter Bruegel dalam “Kemenangan Maut”.

Waktu itu manusia pasrah dan doa membubung. Sains nyaris tak ada, sampai Alexander Yersin menemukan bakterium penyebabnya, “Yersinia pestis”, di tahun 1894. Sejak itu orang makin berpedoman kepada epidemologi. Harapan jadi wajar.

Tapi wabah adalah perang tanpa perbatasan. Tak ada ruang dan waktu yang bisa ditata lengkap dan stabil dalam indeks dan peta. Penularan dan penyembuhan berlangsung dalam endapan sikap yang berbeda-beda tentang hidup, penyakit, dan kematian.

Hari ini, di India, beratus-ratus ribu — mungkin jutaan — umat berdesak-desak dalam upacara Kumbh Mela. Mereka akan berkumpul selama berminggu-minggu di titik pertemuan Sungai Gangga dan Yamuna. Mereka tak peduli menulari dan ditulari. Sains tak bisa meniadakan antusiasme ini. Tak semua bisa diletakkan di bawah mikroskop.

Tentu saja menusia berusaha. Juga para saintis, dengan atau tanpa mikroskop. Mereka “mencoba membentuk… sebuah gambaran yang gamblang dan disederhanakan tentang dunia” — seperti dikatakan Einstein dalam “Motiv des Forschens”.

Tapi hidup tak pernah 100% gamblang dan sederhana. Kecuali di saat kita ingin mempergunakan sesuatu untuk tujuan tertentu, seperti yang berlaku dalam teknologi. Dengan catatan: dalam ilmu dan teknologi pun, khususnya di masa pasca-Hiroshima, para saintis sadar bahwa penemuan mereka yang paling cemerlang pun bisa berdampak tak jelas, tak terduga.

Meskipun demikian, kita ingin segera mengakhiri perang semesta ini. Kita hidup di zaman ketika manusia sanggup membuat kecerdasan buatan yang menakjubkan. Kita hidup di masa ketika pengetahuan kian digerakkan “optimisme epistemiologis”. Tiap problem, bagaimanapun rumitnya, diyakini akan bisa ditemukan jawabnya.

“Kebenaran ada di jurang dalam,” kata Niels Bohr, salah satu pelopor mekanika kuantum. Sains tak takut menjelajah jurang itu.

Optimisme itu — harapan-harapan besar terhadap buah tangan para saintis — sudah lama dikandung. Bermula di Eropa: di tahun 1803, Saint Simon menilai saintis “orang yang bisa melihat ke depan”dan “lebih ulung ketimbang manusia lain”. Di abad berikutnya pujian dan harapan itu meluas ke mana-mana.

Di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang konsisten mengumandangkan optimisme itu — keyakinan yang layak dibicarakan; ia suara seorang pengarang yang berpengaruh.

Dalam “Bumi Manusia”:

“Ilmu pengetahuan semakin banyak melahirkan keajaiban. Tak perlu lagi orang bertapa bertahun untuk dapat bicara dengan seseorang di seberang lautan. Orang Jerman telah memasang kawat laut dari Inggris sampai India! Dan kawat semacam itu membiak berjuluran ke seluruh muka bumi.”

30 tahun sebelumnya, Pramoedya menulis novel “Perburuan” dan kita bertemu dengan Dipo dan Hardo. Dalam satu adegan Dipo menceritakan apa yang diyakininya dan disaksikannya: “Teknik akan membawa manusia pada kebesaran manusianya.Sebab manusia telah dilengkapi dengan segala tenaga yang kini hanya dihasilkan oleh mesin.”

Harus saya katakan: simplistis. Kata “keajaiban” hiperbol yang kurang tepat untuk menggambarkan prestasi sains. Pramoedya tak memaparkan proses yang kongkrit, tak mempersoalkan manusia yang mana yang memproduksi sains dan teknologi, dalam situasi apa dan bagaimana. Tak melihat perubahan: sejak bom atom dijatuhkan di Hiroshima, kita tak bisa menyimpulkan, “Teknik akan membawa manusia pada kebesaran manusianya.”

Sebab bersama sains dan teknik, ada kekuasaan politik, ada modal, ada pergulatan cita-cita luhur yang digayuh, juga keserakahan dan fobia yang sering tak disadari.

Dengan kata lain, ada bawah-sadar sejarah, yang oleh Marx disebut “mimpi buruk” yang bergayut dalam pikiran generasi yang masih hidup: peninggalan generasi-generasi yang sudah mati.

Tampaknya Pramoedya memandang ilmu dan manusia bersih dari “mimpi buruk” itu. Dalam “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu,” manusia disebutnya “lebih agung” ketimbang sekitarnya. Munafik, tulis Pram, untuk mengajarkan “ketidak-mampuannya, kekecilannya, ketiada-artiannya”.

Pram saya kira tak akan mendengarkan “Fragile”. Sting memang menulis kalimat yang ingin dramatis. Tapi ada yang tersirat dalam lirik itu: empati — sesuatu yang berharga dalam kegalauan kini, sesuatu yang tak ada dalam mesin dan A.I.

Empati memang tak menjawab kapan pandemi ini berakhir. Tapi dari sana terbit keinginan yang sekarang penting: menolong —tolong menolong.

Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article