Kamis, April 25, 2024

Hak Pilih dan Hak Hidup

Must read

Oleh Ignas Kleden

Debat tentang dilaksanakan atau ditunda Pilkada Serentak 2020 pada 9 Desember adalah perdebatan tentang suatu kebijakan pemerintah di tengah krisis nasional, bahkan krisis global, akibat meluasnya serangan Covid-19. Dari pro dan kontra pemerintah dan para pengusul penundaan, terlihat bahwa alasan yang dikemukakan bersifat preferensi mengenai apa yang dianggap penting/ mendesak dalam krisis nasional akibat pandemi saat ini, mengapa penting/mendesak, dan penting/mendesak buat siapa?

Alasan-alasan itu secara spesifik mencerminkan ketegangan antara dua paham dalam demokrasi, yang berkembang lebih kurang 50 tahun terakhir, bersama dua pasangan aliran lain.

Aliran yang saya maksudkan adalah demokrasi kaum elite berhadapan dengan demokrasi partisipatoris, di samping dua pasangan lain yaitu demokrasi liberal (berdasarkan hak) dan demokrasi komunitarian (berdasarkan kewajiban), serta pasangan ketiga yaitu aliran yang membela welfare state dalam demokrasi dan aliran neokonservatif dan neoliberal yang membela pasar bebas dalam demokrasi.

Yang satu membela ekonomi yang diatur dengan regulasi negara, yang lain percaya ekonomi diatur oleh mekanisme pasar sendiri. Menurut ahli ilmu politik, Jean L Cohen dari Universitas Columbia dan Andrew Arato dari New School for Social Research, tiga tegangan demokrasi inilah yang paling nyata menandai dinamika politik demokrasi beberapa dasawarsa terakhir.

Photo by cottonbro from Pexels

Tak mungkin menguraikan ketiga pasangan pendirian itu di sini, tetapi asas-asas dari pasangan pertama yaitu demokrasi kaum elite dan demokrasi partisipatoris, dengan menyinggung sepintas lalu dalil-dalil teori liberalisme dan komunitarianisme, akan diuraikan secara ringkas dalam hubungan dengan pro-kontra dua pihak dalam debat tentang pilkada.

Salah satu pendapat yang jadi dasar dan pegangan demokrasi kaum elite adalah teori Joseph Schumpeter, ahli ekonomi-politik Austria, yang kemudian beremigrasi ke AS, menjadi guru besar Universitas Harvard pada 1932.

Demokrasi elitis

Menurut Schumpeter (dalam bukunya Capitalism, Socialism, and Democracy, 1942), demokrasi tak didefinisikan berdasarkan suatu jenis masyarakat tertentu, atau seperangkat tujuan moral dan bahkan tidak juga berdasarkan prinsip legitimasi, melainkan sebagai metode memilih pemimpin politik dan mengorganisasikan pemerintahan.

Model demokrasi elitis ini dianggap realistis, deskriptif, operasional, tepat secara empiris, dan sesuai kondisi masyarakat modern.

Mesin yang menggerakkan sistem politik adalah kekuasaan, seperti mesin yang menggerakkan ekonomi adalah keuntungan. Apa yang membedakan demokrasi dari sistem non-demokratis hanyalah cara bagaimana kekuasaan itu diperoleh.

Syarat utama yang menjamin terhindarnya kekerasan dalam persaingan politik dan terhindarnya disrupsi kelembagaan dalam memperebutkan kekuasaan, ialah adanya kompromi di antara para anggota elite tentang suatu keputusan politik, dan adanya penerimaan oleh rakyat terhadap keputusan politik itu.

Hal yang dianggap terpenting adalah kemampuan suatu pemerintahan untuk membuat keputusan politik, mendorong keputusan itu diterima, sambil memastikan peralihan kekuasaan politik terjadi secara teratur dan tertib, sehingga terjamin stabilitas politik. Untuk menjamin stabilitas politik, diusahakan agar partisipasi politik rakyat diusahakan terbatas dan tidak boleh terlalu luas.

Kritik dari penganut demokrasi partisipatoris ialah bahwa model Schumpeter itu memperlakukan para elite partai politik sebagai produsen atau entrepreneur politik, sedangkan para warga negara yang memilih mereka, hanya sebagai konsumen politik.

Para elite parpol selalu menyebut rakyat sebagai landasan legitimasi mereka, bahwa apa yang mereka suarakan adalah suara rakyat. Namun rakyat tak dilibatkan dalam pengalaman politik akibat partisipasi politik yang terbatas, dan batasnya ditentukan oleh elite politik. Padahal hanya melalui partisipasi itu rakyat mengalami secara langsung budaya politik demokratis.

Dalam praktik, warga negara yang telah memberikan suara dalam pemilu tak pernah turut dalam menyusun agenda politik, tidak berkesempatan mengemukakan isu politik yang relevan dan penting atau memilih kebijakan politik yang hendak diperjuangkan.

Sebaliknya seluruh agregasi kepentingan politik dilakukan oleh para pemimpin partai, yang juga memutuskan kepentingan mana yang punya relevansi politik. Mereka jugalah yang memilih isu politik dan membangun opini publik. Tugas pemberi suara terbatas pada menerima kepemimpinan politik dan menerima juga penawaran kekuasaan yang dibuat oleh para elite politik.

Teori partisipatoris mengajukan banyak kritik yang bersifat normatif terhadap demokrasi para elite, dengan menekankan pentingnya citizenship dalam demokrasi. Namun mereka nampaknya belum cukup kuat menjadi alternatif yang dapat menawarkan model kelembagaan yang dapat mengganti bentuk pemerintahan perwakilan dalam demokrasi kaum elite yang sesuai kondisi masyarakat modern sekarang ini.

Model kelembagaan demokrasi yang diusulkan kelompok partisipatoris lebih sulit diterapkan dalam masyarakat modern. Pertama, model polis di Athena pada zaman Yunani Antik. Polis adalah bagian dari politike koinonia yang oleh cendekiawan Romawi diterjemahkan menjadi societas civilis, yang kemudian diterjemahkan lagi ke bahasa modern menjadi civil society.

Sistem ini hanya mengatur masyarakat Athena sebagai masyarakat demokratis, yang terdiri dua bagian yakni oikos, yaitu rumah tangga yang tidak diatur oleh hukum dan hanya dipimpin oleh kepala keluarga atau pater familias. Anggota oikos hanya berurusan dengan masalah-masalah privat dan tidak mempunyai suara dalam politik dan kehidupan publik.

Hanya anggota polis yang mempunyai hak suara dan dilindungi hukum. Kesulitan terbesar dari sistem ini ialah bahwa, selain diskriminasi politik di antara dua kelompok rakyat Athena, tidak ada pembedaan jelas di antara negara dan masyarakat, yang baru jauh kemudian pada abad 19 menjadi tema diskusi politik dan filsafat politik di Eropa. Apalagi lembaga-lembaga demokrasi di Athena di Yunani Antik terlalu sederhana untuk diterapkan dalam masyarakat modern.

Model kedua yang diusulkan adalah bentuk negara-kota (city-state) pada Abad Pertengahan di Eropa. Model ini yang berasal dari tradisi republikan dianggap paling dekat dengan model polis pada masa Athena, atau mirip dengan bentuk-bentuk demokrasi yang lahir dari gerakan kaum pekerja.

Model-model ini hanya mengenal satu prinsip organisasi untuk seluruh masyarakat, tanpa membedakan masyarakat dari negara dan ekonomi. Karena itu apabila model-model ini diajukan sebagai pengganti demokrasi perwakilan dalam demokrasi para elite, maka para penganut demokrasi partisipatoris dianggap menganut paham utopis dan anti-modern, dan hampir tak dapat diterapkan dalam masyarakat sekarang.

Tak menghargai hak hidup

Kalau kita kembali ke perdebatan mengenai pilkada di tengah pandemi yang belum mereda sekarang ini, akan terlihat bahwa argumentasi pemerintah untuk tetap mempertahankan tanggal 9 Desember 2020 sebagai hari pelaksanaan pilkada serentak untuk sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota di seluruh Indonesia, adalah argumentasi empiris dari demokrasi kaum elite dan mengabaikan argumentasi normatif dari kalangan demokrasi partisipatoris.

Presiden Jokowi menyatakan bahwa pilkada serentak pada 9 Desember 2020 dipertahankan untuk menghormati hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih. Mungkin perlu diingat bahwa hak memilih dan dipilih sebagai hak konstitusional, adalah suatu legal right yang merupakan hukum positif yang dibuat oleh manusia sendiri.

Namun keberatan yang diajukan oleh kalangan civil society oleh dua organisasi kemasyarakatan terbesar yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, tidak merujuk ke hak konstitusional, tetapi kepada hak untuk hidup atau right to life, yang merupakan hak alamiah (natural right) yang berasal dari hukum alam (natural law).

Risiko untuk hidup manusia di Indonesia, terlalu besar kalau pilkada serentak dilaksanakan, dalam lingkup yang begitu luas, sekali pun dengan protokol kesehatan yang semakin diperketat sampai beberapa kali.

Apalagi tidak ada usul membatalkan pilkada serentak ini (jadi tidak ada pelanggaran hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih). Usul hanya mengenai penundaan pilkada untuk dilaksanakan pada waktu lain, tatkala risiko meluasnya serangan dan penyebaran Covid-19 sudah menurun dan relatif dapat diawasi dengan cara yang lebih cermat dan efektif.

Argumentasi bahwa ada juga negara yang melaksanakan pemilu di tengah pandemi (Singapura, Perancis, Jerman, Korea Selatan), tidaklah dapat diambil sebagai contoh yang dapat diikuti begitu saja di Indonesia saat ini, karena tingkat disiplin sosial dan tingkat law enforcement di tiap negara berbeda.

Selain itu, sebagaimana ditulis oleh M Jusuf Kalla, mantan wakil presiden dua periode untuk dua presiden, ada 71 negara di dunia yang menunda pemilu saat ini.

Dari segi jumlah absolut, cukup banyak negara di dunia, merasakan besarnya risiko melaksanakan pemilihan di tengah pandemi, sekali pun semua negara itu dapat menerapkan protokol kesehatan juga. Bahkan di Perancis yang oleh seorang juru bicara Presiden Jokowi disebut sebagai contoh negara yang melaksanakan pemilihan pada bulan Maret 2020, partisipasi dalam pemilihan lokal turun menjadi 44,7 persen dari 63 persen sebelumnya.

Argumentasi bahwa menunda pilkada membutuhkan pelaksana tugas yang mengganti tugas gubernur, bupati dan walikota yang akan berakhir serta akan ada pekerjaan baru bagi pemerintah untuk memilih para pelaksana tugas ini sebelum pilkada diselenggarakan, tidak kuat karena kita tahu bahwa Covid-19 telah menambah beban kerja rumah sakit, para dokter dan perawat, serta petugas penggali kubur di pemakaman.

Mengapa gerangan pemerintah tidak memberi perhatian kepada para dokter yang menyabung nyawa dalam menyelamatkan hidup para penderita Covid-19, dan pemerintah merasa berat dengan tugas tambahan menunjuk pelaksana tugas gubernur, bupati dan wali kota, kalau pilkada harus ditunda.

Padahal, kita tahu penambahan tugas pemerintah ini tidak menghadapi risiko kematian, seperti halnya 123 dokter Indonesia (65 dokter umum, 56 dokter spesialis dan dua dokter residen/calon spesialis), yang gugur dalam tugasnya menolong pasien Covid-19. Rata-rata empat dokter meninggal dalam seminggu. Itulah data dan keterangan yang diberikan oleh Prof Zubairi Djoerban, Ketua Satgas Kesiapsiagaan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Ini belum terhitung beban depresi dan stres yang menimpa para dokter, karena kelelahan kerja, penambahan jam kerja, dan kebingungan melihat penambahan jumlah pasien baru yang terus meningkat, serta kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dalam menangani Covid-19, yang menghasilkan sistem kerja yang oleh seorang epidemiolog Universitas Indonesia disebut sebagai tambal-sulam.

Para dokter juga menghadapi kenyataan bahwa penambahan kasus baru penderita rata-rata 4.000 orang per hari, dengan perkiraan bahwa bulan depan kalau keadaan ini tidak membaik, tidak ada lagi cukup tempat tidur bagi pasien di rumah sakit. Akibatnya, kita menghadapi berkurangnya tenaga medis dan kurangnya fasilitas untuk menangani pasien yang terus bertambah, dengan berbagai akibat lanjutannya untuk kondisi kesehatan umum dalam masyarakat kita.

Semua ini semakin memperjelas bahwa yang kita hadapi bukanlah risiko pelanggaran hak konstitusional untuk memilih dan dipilih, melainkan risiko nyata dalam penghormatan terhadap hak hidup atau right to life and the pursuit of happiness, yang bukan merupakan legal rights tetapi natural rights tiap orang dalam semua negara yang mengakui pentingnya hidup manusia.

Rupanya patut dicatat bahwa keberatan terhadap pelaksanaan pilkada 9 Desember 2020, tidak datang dari kalangan politik mana pun. DPR jelas menyetujui pelaksanaan pilkada 9 Desember, karena koalisi pemerintah lebih unggul dalam perolehan kursi di DPR dibandingkan dengan pihak oposisi, yang tidak memperdengarkan suaranya dalam menghadapi pro-kontra pilkada 9 Desember 2020.

Selain itu partai politik dalam DPR jelas mengharapkan dengan pilkada 9 Desember mereka lebih cepat mengetahui hasil yang diperoleh calon-calon yang mereka jagokan untuk pimpinan provinsi, kabupaten dan kota.

Sebaliknya, suara-suara yang menolak atau mempertanyakan pelaksanaan pilkada pada bulan Desember, hampir semuanya datang dari kalangan civil society seperti NU dan Muhammadiyah sebagai dua organisasi massa (ormas) terbesar di Indonesia, yang mungkin sekali mendapat dukungan dari ormas keagamaan lain yang lebih kecil.

Sikap civil society tidak hanya terlihat dari siapa saja yang menolak atau mempertanyakan, tetapi juga dari alasan-alasan yang diajukan, yang jauh dari kepentingan politik praktis. Pertanyaan dan pernyataan yang dikemukakan melalui media sosial atau melalui kesempatan lain, selayaknya dapat perhatian pemerintah dan seluruh masyarakat.

Mengapa rumah ibadat boleh ditutup sementara waktu karena Covid-19, dan pilkada tak boleh ditunda? Mengapa sekolah boleh ditutup untuk sementara, dan pilkada tak boleh ditunda? Mengapa pertandingan sepak bola dan pertunjukan orkestra musik harus ditunda dan pilkada harus tetap jalan? Mengapa kantor perusahaan boleh ditutup dan pilkada tetap dipertahankan?

Semua pertanyaan ini tidak mengandung kepentingan politik apa pun, tetapi merupakan suara warga negara dan kalangan civil society yang menyerukan keprihatinan terhadap risiko hidup dan keselamatan manusia, yang selayaknya menjadi perhatian utama negara dan pemerintah.

Utamakan keselamatan rakyat

Keputusan tetap di tangan kepala pemerintahan dan kepala negara. Namun rakyat yang akan menghadapi risiko serangan Covid-19, selayaknya mempunyai hak untuk tahu mengapa pilkada pada bulan Desember harus terlaksana, despite everything, dan apakah memang ada alasan yang benar-benar obyektif untuk bertahan pada pelaksanaan pilkada sebagaimana direncanakan, yang sementara ini tampaknya menjadi pendirian tetap pemerintah?

Perbedaan pandangan adalah hal biasa dalam demokrasi, dan perbedaan itu yang justru membuat demokrasi menjadi sistem politik yang produktif, kreatif dan progresif.

Potensi demokrasi sebagai sistem yang produktif dan progresif, akan berkembang kalau ada dialog di antara penganjur pandangan yang saling berbeda itu, untuk mendapatkan konsensus yang dapat diterima oleh kedua pihak karena ada kompromi kepentingan yang dinegosiasikan secara fair.

Sekarang perbedaan itu muncul di antara pandangan pemerintah tentang pilkada dan pandangan kalangan civil society tentang penundaan pilkada. Keadaan menjadi tidak produktif, kalau pihak yang berkuasa, mengacuhkan saja pendapat lain yang dikemukakan dengan alasan yang masuk akal dan terbuka, dan pemerintah kemudian melaksanakan secara sepihak apa yang menjadi pandangannya.

Sesuai dengan prinsip demokrasi, kita berharap pemerintah berbesar hati membuka dialog untuk sekurang-kurangnya mendengar langsung mengapa kalangan civil society mengajukan pendapat yang berbeda dan mengusulkan penundaan pilkada. Tentu saja prosedur ini lebih merepotkan, tetapi demokrasi adalah kerepotan yang diharuskan untuk menciptakan rasa adil terhadap perbedaan pendapat, apalagi pendapat mengenai hak hidup manusia.

Tak perlu diuraikan bahwa dialog itu pun berpegang pada hukum yang berlaku. Akan tetapi mungkin berguna mengingat kembali apa yang dikatakan oleh seorang negarawan dari republik Romawi pada abad pertama Masehi, yang ucapannya dikenang hingga sekarang dalam pelajaran tentang hubungan hukum dan manusia.

Cicero, atau nama lengkapnya Marcus Tullius Cicero, negarawan, filosof, ahli retorika dan sastrawan Romawi yang mempunyai pengaruh yang lama bertahan dalam filsafat hukum, menyatakan, dalam bukunya De Legibus (Perihal Hukum) bahwa hukum harus selalu diperhatikan tetapi salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat hendaknya menjadi hukum yang tertinggi.

Sumber: Kompas, 1 Oktober 2020

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article