Kamis, April 25, 2024

Ilusi bisa menelikung siapa saja, termasuk Anda

Must read

#SeninCoaching

#Leadership Growth: Avoid Illusion  

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

“The single biggest problem in communication is the illusion that it has taken place,kata George Bernard Shaw, penulis drama dan aktivis politik kelahiran Dublin 1856, pemenang Nobel Prize Kesusastraan 1925. Sebagaimana Anda barangkali sudah menyadarinya, bukankah jebakan ilusi merupakan bagian dari situasi yang sering tidak terhindarkan dalam interaksi antar manusia, antar institusi, dan internal organisasi?

Contoh paling mutakhir dari kata-kara George Bernard Shaw adalah cerita tentang undangan WHO kepada Menteri Kesehatan RI Dr. Terawan, belum lama ini. Pejabat kementerian menganggap, sebagaimana dikutip media, undangan tersebut merupakan penghargaan kepada pejabat kesehatan atas keberhasilan menangani wabah Covid-19.

Beberapa hari kemudian ada klarifikasi dari pihak WHO, undangan tersebut terkait dengan keberhasilan Kementerian Kesehatan spesifik pada pelaksanaan Intra Action Review (IAR), peningkatan respon terhadap penyebaran Covid-19.

Bukan sukses mengatasi wabah Covid-19 – kenyataannya, sebagaimana kita lihat sampai hari ini, memang masih belum berhasil.

Ilusi yang menjauhkan fakta dari jangkauan nalar sehat seseorang bisa menjebak siapa saja – tanpa peduli jabatan, profesi, usia, warna kulit, bangsa, agama, gender, di organisasi bisnis, apalagi dalam praktik politik. Situasi bisa lebih bahaya jika sosok utamanya sering berayun di wilayah ilusinya sendiri, tanpa peduli pada realitas menurut perspektif pemangku kepentingan.

Lihatnya Donald Trump hari-hari ini. Perhitungan suara pemilihan presiden AS sudah tuntas, Joe Biden pemenangnya. Tapi Trump dengan didukung kroni dan sedikit anggota Partai Republik masih meyakini pemilu belum usai. Ia rupanya gagal dalam berkomunikasi dengan fakta. Ia menuduh ada kecurangan, tapi panitia pemilu menyatakan tidak ada bukti. Ilusi.

Larry Hogan, Gubernur Marilyand dari Partai Republik yang berpotensi ke nominasi pemilihan presiden 2024, bahkan mengatakan: “Amerika sudah melakukan perhitungan suara. Kita harus menghormati hasilnya, sebagaimana selalu demikian selama ini.”

Para pendukung Trump lainnya pun sudah memperlihatkan mulai menjauh, termasuk Rupert Murdoch dan koran miliknya, Wall Street Journal. Editorialnya antara lain menegaskan: “Trump’s legacy will be diminished greatly if his final act is a bitter refusal to accept a legitimate defeat. Republican officials will turn away, and so will the American public that wants to see the election resolved.”

Dengan kata lain, Trump telah gagap (atau takut?) menghadapi realitas, maka dia demikian betah berada dalam pelukan ilusinya.

Melawan ilusi barangkali merupakan pertarungan sepanjang hidup manusia. Karena kecenderungan kuat segolongan orang untuk menghendaki dunia menyajikan cerita yang dapat mengelus-elus ego masing-masing, kalau perlu mereka paksa. Apalagi bagi orang-orang yang kemampuannya melihat realitas menjadi terbatas – umumnya akibat dibebani ego jabatan, mabok materi, gelar akademis, dan utamanya kekuasaan.

9 simple yet clever design tricks to transform your home | Free Malaysia  Today
Pexels photo

Dua cerita di atas, kasus undangan WHO ke Kementerian Kesehatan dan Trump yang menyangkal kalah pemilu, hanya contoh dari keterbatasan kemampuan manusia dalam merangkai pemahaman yang lebih akurat atas suatu fakta. Ilusi memang lebih menghibur, tapi bisa menelikung siapa saja.

Itu bisa akibat merasa tidak nyaman kalau harus menggali informasi lebih dalam, gengsi melihat suatu event berdasarkan perspektif yang lebih komprehensif. Menepis pertimbangan atau masukan stakeholder. Orang-orang golongan itu melihat dunia maunya selalu sesuai dengan yang mereka kehendaki. Kalau memimpin negara, akan jadi otoriter. Saat memimpin organisasi atau institusi – bisnis, nonprofit, atau kementrian – merasa superior, cenderung memperlakukan tim sebagai abdi, bukan sebagai mitra.

Anda tentunya akan dapat menemukan contoh-contoh lain kepemimpinan yang memuja ilusi lebih dari fakta, di dalam organisasi bisnis dan pemerintahan.

Setiap fakta yang disajikan tim kurang menyenangkan bos, cenderung dipaksa, bagaimana pun caranya, harus diubah, supaya cocok dengan egonya – dalam sejumlah kasus yang terjadi adalah “pemolesan” alias manipulasi. Padahal itu semua, termasuk KPI (Key Performance Indicator), hanya salah satu symptom saja dari persoalan yang lebih mendasar, utamanya akibat kemampuan leadership bos sendiri yang belum sanggup membuat tim tumbuh dan berintegritas.

Apa yang kemudian terjadi? Karena bos lebih menyukai ilusi ketimbang fakta, manipulasi ketimbang ketulusan, biasanya akan muncul (yang mereka anggap) “solusi” untuk persoalan yang bukan masalah sebenarnya. Pola kerja seperti ini menimbulkan kekacauan di organisasi bisnis, nonprofit, sampai institusi pemerintahan.

Sejumlah perusahaan mengalami kesulitan, kurang kuat menghadapi tantangan (utamanya saat pandemi), bahkan rugi besar, karena selama ini energinya lebih banyak untuk memuja ilusi. Bagi institusi publik yang dijalankan dalam pola kepemimpinan seperti itu, masyarakat akan jadi korban – contohnya dalam penanganan pandemi.

Negara yang dipimpin dengan perilaku kepemimpinan lebih banyak berilusi dan menghadirkan ancaman bagi sejumlah pihak – di dalam negeri dan bagi pergaulan antar bangsa – katakanlah seperti AS di masa Trump, kenyataannya menimbulkan petaka dan masalah di pelbagai sektor.

Rasanya kita semua perlu bergegas memerdekakan diri dari ilusi.

Adakah organisasi besar yang semula para eksekutifnya hidup dalam ilusi (atau gagal dalam berkomunikasi dengan fakta-fakta), rugi nyaris bangkrut, kemudian dapat memulihkan diri dan profitable? Ada. Contoh paling legendaris adalah Ford Motor Company dibawah kepemimpinan Alan Mulally.

Alan Mulally jadi CEO Ford September 2006 sampai Juni 2014. Setiap Kamis pagi ia memimpin rapat Business Plan Review (BPR), wajib dihadiri semua eksekutif senior plus eksekutif dari pelbagai negara. Bagi yang sedang tugas perjalanan tetap wajib ikut lewat teleconference. Alan memperkenalkan penggunaan warna untuk laporan setiap lini usaha di semua wilayah operasi Ford. Hijau untuk yang sesuai rencana, kuning perlu perhatian, dan merah harus ditolong.

Dua meeting pertama semua eksekutif melaporkan score card mereka hijau. Alan lantas mempertanyakan, kalau semua hijau, sesuai rencana, kenapa Ford mengalami rugi belasan milyar dolar?

Pada BPR berikutnya baru ada yang berani melaporkan warna merah dan Alan tepuk tangan, karena dia nilai eksekutif tersebut berani mengakui fakta dan membeberkannya di depan semua orang. Selanjutnya setiap BPR dipenuhi warna pelangi, ketika semua eksekutif mengakui fakta hasil bisnis masing-masing, tidak lagi berilusi seolah-olah semua beres.

Dengan semangat One Ford, Alan mengajak para eksekutifnya untuk saling membantu memulihkan kondisi. Tidak ada lagi yang menghakimi pihak lain. Persoalan di setiap lini usaha dihadapi bersama apa adanya, untuk dicarikan solusi bersama.

Ford pulih tanpa melakukan PHK. Dua direktur mundur karena tidak cocok dengan cara Alan yang meminta semua pihak berpijak pada kenyataan, saling berkomunikasi tanpa ilusi (prasangka). Tidak ada backstabbing, selama meeting diharamkan membuka telepon selular, apalagi ngintip pesan. Perubahan perilaku kepemimpinan telah berperan memperbaharui budaya kerja di Ford, sehingga mampu bangkit dari merugi jadi profitable (Marshall Goldsmith, Triggers, 2015).

Dalam pemerintahan, membebaskan diri dari ilusi sehingga dapat memimpin dengan lebih efektif, contohnya antara lain telah dilakukan pemerintahan Clement Attlee, Perdana Menteri Inggris (1945 – 1951). Ia Ketua Partai Buruh yang memperoleh 145 kursi, menang mutlak dalam pemilu dan menggantikan pemerintahan Conservative (Winston Churchill).

Sering disebut sebagai PM Inggris paling hebat, Attlee antara lain berhasil membangun welfare state dan terlibat membentuk koalasi melawan Joseph Stalin dalam Perang Dingin.

Atlee lulusan Oxford, tapi ia rupanya tidak silau pada ilusi gelar kesarjanaan. Hanya satu dari empat anggota kebinetnya lulusan sekolah private. Tujuh orang dari menterinya dulunya pekerja tambang. Menteri luar negerinya yang dihormati banyak kalangan, Ernest Bevin,  salah seorang yang ikut mewarnai dunia pasca perang, tidak meneruskan sekolah saat usia 11 tahun. Karirnya naik melalui jenjang kepemimpinan di serikat buruh.

Herbert Morrison, Ketua the House of Commons dan deputi perdana menteri, drop out saat usia 14 tahun dan meniti karir melalui pemerintahan daerah, kemudian berperan dalam pembangunan sistem angkutan publik London. Menteri Kesehatan Aneurin Bevan, saat usia 13 berhenti sekolah dan jadi pekerja tambang di Wales, dan dialah yang memimpin pembentukan Britain’s National Health Service.

Pemerintahan Attlee dikenal sebagai “the most significant reforming administration of twentieth century Britain,” sebagaimana disebutkan Michael J. Sandel, pengajar filsafat politik di Harvard University. 

Alan Mulally dan Clement Attlee adalah contoh para pemimpin yang mampu menepis ilusi dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan realitas, dengan para pemangku kepentingan. Sehingga berhasil mengatasi tantangan dengan terpuji.

Dari cerita di atas kita bisa menyimak tentang kecenderungan orang yang mudah terjebak ilusi demi melayani kebanggaan semu (ego). Kita juga dapat contoh, mana saja yang bersikap rendah hati, terbuka menerima pendapat stakeholder, membebaskan diri dari ilusi, berpijak pada kenyataan, dan berhasil memberikan kontribusi positif bagi kemanusiaan.

Mohamad Cholid adalah

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article