Sabtu, April 20, 2024

Kenapa panjenengan ingin jadi presiden?

Must read

Siksa Kubur

Sepakatkah Anda, investasi negara Rp24,8 triliun untuk Pemilu 2019 sepatutnya memberikan yield yang pantas? Panen yang kita harapkan dari investasi sebesar itu utamanya tentu berupa para pemimpin yang lebih akuntabel, publik pemilih yang menjadi lebih matang, dan praktik berdemokrasi yang lebih dewasa.  

Apakah semua proses yang sudah dan tengah berlangsung sampai hari ini mengindikasikan menuju keberhasilan meraih harapan tersebut? Setiap pihak — apakah itu KPU, Bawaslu, para calon pemimpin di legislatif tingkat kabupaten/kota, provinsi, sampai Presiden dan Wakil Presiden RI – kemungkinan besar memiliki perspektif masing-masing dalam memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Publik tentunya juga memiliki persepsinya sendiri.

Urusan lain yang juga penting menyangkut kesungguhan kita membangun Indonesia Inc. adalah tentang gambaran negeri ini dalam sejumlah tahun ke depan. Jika kita mengikuti debat para calon presiden Ahad 17 Februari kemarin, apakah Anda melihat clarity apa yang sepatutnya kita capai dalam lima tahun ke depan? Rasanya belum ya?

Kemasan acara tersebut masih mengesankan pembuat program kurang memberikan peluang para calon presiden membeberkan rencana kerja masing-masing selama lima tahun ke depan (jika terpilih) secara lebih leluasa. Bukan diberi waktu cuma dua menit.

Sekarang, kalau mau meminjam perspektif Peter Drucker, pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan kepada para (calon) pemimpin adalah: Berdasarkan realitas dan fakta yang kita hadapi bersama sekarang, apa saja yang harus kita kerjakan dan mana saja yang harus kita tanggalkan? Pertimbangannya, “if we keep on doing what worked in the past, we are going to fail,” kata Peter Drucker.

Kita sudah sama-sama mengetahui, bahwa yang tetap adalah perubahan, only change is constant. Kita memerlukan perilaku kepemimpinan baru yang lebih efektif; bukan soal siapa pemimpinnya – bisa saja sosok pemimpinnya tetap, tapi bersedia rendah hati melakukan perubahan signifikan dalam kepemimpinannya.

Pertanyaan mendasar lain yang perlu diajukan kepada para (calon) pemimpin adalah: Jika struktur birokrasi dan organisasi yang menopang kelangsungan hidup bersama kualitas dan level kinerjanya seperti sekarang, langkah-langkah paling penting dan dapat diandalkan seperti apa yang mesti dilakukan untuk memperbaiki keadaan?  

What-nya sudah ada gambaran, yaitu Indonesia Inc., disebut dengan istilah lain silakan (Indonesia Maju atau Indonesia Lebih Sejahtera, etc). Yang penting kehidupan bersama sebagai satu entitas berlangsung dalam keadaban, lapangan kerja tersedia dan terkelola dengan lebih baik, golongan ekonomi pra-sejahtera ditingkatkan menjadi sejahtera, reformasi birokrasi dijalankan dengan efektif, nilai mata uang menguat, pendidikan lebih maju, hukum ditegakkan, dst.nya.

How-nya kita tantang untuk diwujudkan, antara lain dengan menjawab dua pertanyaan mendasar tersebut di atas. Kemampuan untuk menjawabnya perlu di-follow up dengan action plan yang dapat dieksekusi secara sistematis dan terukur. Dengan perilaku kepemimpinan yang lebih efektif, atas izin Tuhan, itu bisa.

Sekarang, sebagaimana diajarkan oleh Simon Sinek – lewat buku Start with Why, How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action (2009), disusul dengan rangkaian seminar (termasuk di lingkungan US Navy) dan workshops di organisasi-organisasi bisnis dan nonprofit – kita perlu menggali Why para (calon) pemimpin.

“… Kalau why para (calon) pemimpin tersebut dapat mereka utarakan secara gamblang, seirama dengan filosofi Anda, maka pilihlah beliau.”

Pertanyaan langsung, jika Anda ketemu calon presiden, dengan hormat ajukan ini: “Why Panjenengan/Sampeyan ingin menjadi Presiden?” 

Jawaban yang kita peroleh tidak ada yang salah, itu soal filosofi hidup. Dengan menggali Why para (calon) pemimpin atau suatu organisasi, kita bisa yakin mereka dapat mengelola How-nya dengan sungguh-sungguh. “He who has a why to live can bear almost any how,” kata filsuf Jerman Friedrich Nietzsche.

Kalau Why para (calon) pemimpin tersebut dapat mereka utarakan secara gamblang dan ternyata seirama dengan filosofi Anda, maka pilihlah beliau.

Mahathir Mohamad pada usia 92 tahun berhasil memenangi posisi Perdana Menteri Malaysia karena dia memiliki Why yang kuat — simaklah materi kampanyenya, termasuk di antaranya berupa video. Mahathir sangat artikulatif mengungkapkan Why-nya dan membeberkan langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menjadikan Malaysia lebih baik.

Kata Simon Sinek, jika seorang politisi tidak dapat mengartikulasikan Why dia berkeinginan menduduki jabatan publik lebih dari sekedar karena alasan standar seperti “demi mengabdi rakyat”, bagaimana para pemilih dapat menentukan siapa yang mereka ikuti?

Itulah pentingnya clarity of Why. Disusul dengan Consistency of How dan Discipline of What.

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article