Kamis, April 18, 2024

Khilafah

Must read

Siksa Kubur

Oleh Islah Bahrawi

Tidak ada batas kekuasaan dalam Khilafah selain kematian. Setiap Khilafah berusaha bertahan di kursi kekuasaan dengan menunjuk perwakilan (Tawliyah) yang benar-benar setia. Mereka memperhatikan bahwa soal integrasi kekuasaan tergantung orang-orang terdekatnya. Jika tidak, peracunan bisa terjadi kapan saja.

Sejarah mencatat, pembunuhan seorang Khalifah dengan cara diracun sudah tak terbilang, karena hanya dengan kematian kekuasaaan bisa diakhiri. Dalam kitab Murudjuz Dzahab Vol. III, Al-Mas’udi menulis; “dalam 22 tahun, Bani Umayyah pernah dipimpin 10 orang Khalifah. Sebagian besar mati karena diracun.”

Disebutkan oleh Ibnu Atsir dalam “Al-Kamil fil Tarikh”, mereka belajar kepada metode pendiri negara mereka, yakni Muawiyah. Dia menggagas sebuah ungkapan penting: “Tuhan memiliki balatentara untuk melawan musuh kita di dalam Madu.”

Ungkapan itu sangat terkenal saat Muawiyah menabur racun ke dalam madu untuk minuman para penentangnya. Dalam kitab yang sama, Ibnu Atsir mengutip kesaksian bersanad bahwa dengan cara itulah Sayyidina Hasan dan Al-Asytar an-Nakh‘i serta penentang Muawiyah lainnya dihabisi secara diam-diam.

Ini hanyalah satu petilan kecil sejarah kelam politik Islam. Politik dan agama memang tidak bisa dipisahkan. Umat Islam yang merasa mampu, dianjurkan untuk berpolitik agar norma politik tidak melenceng dari Maqashidus Syariah. “Akan tetapi”, kata Ibnu Rusyd, “jangan jadikan jubah agama sebagai tangga menuju kekuasaanmu, agar kelak agama tidak menjadi tameng atas segala kejahatanmu”.

Ambisi kekuasaan bagi Islam adalah perkara duniawi yang bisa saja membuat manusia menjadi brutal dan amoral. Sejarah mencatat itu semua. Dinasti Khilafah sebagian besar hanyalah praktik totalitarian yang dilumas dengan kemasan agama. Karenanya, Khilafah banyak disanjung oleh mereka yang termakan oleh propaganda samar operasi intelijen Barat.

Philip Khuri Hitty dalam “History of The Arabs” menulis; “sejak akhir abad ke-18 banyak pemikir Barat yang berpura-pura menjadi Muallaf, selalu menghubungkan politik dengan tingkat keimanan. Ketika itu kolonial Eropa begitu khawatir jika umat Islam kembali berjaya dalam Ilmu Pengetahuan”.

Mereka tahu secara historik bahwa kelebihan umat Islam adalah ketekunannya dalam menggali ilmu pengetahuan dan kelemahan umat Islam adalah kelindan politik. Karena politiklah umat Islam terpecah belah. Syahdan, sejak akhir abad ke-19, negara-negara Barat secara samar mulai menjejali umat Islam untuk menjadikan politik masa lalu sebagai referensi paling ideal.

Dan selanjutnya cita-cita menegakkan “Daulah Khilafah” inilah yang berkembang dalam berbagai versinya. Ada yang melalui pola kekerasan dan ada juga yang melalui metode dakwah, dengan tujuan yang sama: “Umat Islam harus percaya bahwa hanya dengan politik Islam bisa berjaya!”

Dan hari ini seharusnya kita menyadari, konflik politik kemudian menjadi menu utama di negara-negara dengan mayoritas Muslim, terutama di Timur Tengah, Tanduk Afrika, Asia Tengah dan Selatan hingga Asia Tenggara.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article