Kamis, April 25, 2024

Kompeten mengatasi krisis

Must read

Oleh Mohamad Cholid

Waves are not measured in feet or inches, they are measured in increments of fear,” Buzzy Trent.

Big wave surfing mulai populer sejak awal 1950-an. Saat itu Buzzy Trent hijrah dari santa Monica ke Hawaii dan menjadi pionir — bersama George Downing dan Gregg Noll – di bidang olah raga mensiasati ombak tersebut. Buzzy dikenal secara internasional sejak kelihaiannya berselancar di atas ombak setinggi 20 kaki di Makaha, saat musim dingin 1953, difoto oleh fotograf Scoop Suzuki.

Ombak memang tidak diukur berapa inci tinggi gelombangnya, tapi dinilai oleh seberapa besar daya pikat sekaligus kekuatannya menggedor nyali, courage.  

Belakangan, dengan pelbagai pelatihan secara terukur, para peselancar sudah lebih trampil dan bernyali meliuk-liuk di punggung dan di lengkung ombak setinggi kadang sampai 20 meter.

Gulungan ombak yang lebih sering tidak bisa diprediksi berapa tingginya itu juga merupakan tantangan rutin para pengarung lautan lainnya. Kegigihan mengatasi tantangan itu telah memperkuat leadership muscle para juru mudi kapal-kapal nelayan, di pelbagai perairan.

Bersama awak mereka, para nakhoda selama sekian hari (ada yang lebih dari dua pekan) akrab dengan ombak-ombak besar dan kadang harus berkawan pula dengan ketidakpastian.

Sekian puluh tahun silam, ketika saya remaja memberanikan diri ikut kapal penangkap ikan dengan panjang sekitar 25 meter, bermesin 30 PK, nakhoda berbekal hanya kompas tua (dan petunjuk bintang saat langit jernih), saya mengalami defining moment.

Dari dua trip mengikuti kapal penangkap ikan, pembelajaran penting yang saya terima adalah: bekerja efektif dan pantang mengeluh. Juru mudi dan tim sama sekali tidak mengeluh bahkan ketika harus bergerak malam hari di tengah badai dan ombak besar, menuju ke titik penangkapan ikan berbeda di perairan antara Jawa dan Kalimantan.

Para juru mudi kapal nelayan dan para peselancar di gelombang besar (big wave rider) sama-sama memiliki courage, untuk menghadapi increments of fear. Mereka bertindak bukan berdasarkan sikap bravado, tapi berbekal kompetensi dan nyali yang terukur.

Gambar oleh Hans Braxmeier dari Pixabay

Hari-hari ini, pandemi yang melanda para eksekutif dan leaders di pelbagai belahan dunia adalah kegamangan. Mereka gamang dan terbawa arus kecemasan publik akibat ekonomi melambat di pelbagai negara di dunia, sebagai konsekuensi lockdown atau semi-lockdown.

Apa yang sesungguhnya terjadi? Mereka punya pengalaman memimpin organisasi, bahkan sebagiannya sudah terlatih pula menghadapi dilema imbas krisis keuangan 2008-2009.

Apa yang sepatutnya dilakukan agar para eksekutif dan leaders di organisasi bisnis, nonprofit, dan di pemerintahan mampu bertindak lebih strategis dan taktis, bukan terseret arus persepsi publik dan seperti kehilangan pijakan?

Kalau mau lebih efektif memimpin, bukankah mereka sepantasnya mengembangkan diri agar mampu mengatasi pelbagai events, termasuk dilema akibat wabah penyakit?

Setiap pemimpin, dari level eksekutif yunior, sampai general manager, apalagi CEO atau Presiden, dalam situasi krisis umumnya diharapkan menjadi pribadi-pribadi yang lebih dari biasanya oleh para pemangku kepentingan.

Mereka yang mengaku sebagai pemimpin tersebut diharapkan lebih siap dengan perspektif baru dan tangkas menghadapi gelombang persoalan, yang bisa saja mencapai tahap increments of fear.

Stakeholders mengharapkan mereka bertindak extraordinary, mampu meliuk di atas dan di lengkung ombak realitas seperti para big wave rider tangkas dalam mensiasati ombak besar. Atau trampil berayun dari satu ombak ke ombak berikutnya dengan elegan, sebagaimana para nakhoda kapal nelayan.

Memiliki ketrampilan dan nyali, courage, mengatasi increments of fear fakta yang harus dihadapi saat ini. Cukup rendah hati pula terus meningkatkan kompetensi agar lebih siap menghadapi realitas baru.

Ada beberapa pertanyaan bagi setiap leader untuk menuju ke tahap itu. Apakah mereka coachable atau terbuka hati dan pikiran masing-masing untuk didampingi coach sebagai mitra akuntabilitas?

Apakah mereka memiliki emotional courage (istilah Peter Bregman, pelatih para eksekutif dan penulis buku Leading with Emotional Courage, 2018) untuk secara terbuka menyebutkan perilaku kepemimpinan masing-masing yang mesti ditingkatkan agar menjadi lebih efektif?

Apakah berani mengizinkan diri meminta bantuan untuk itu? Apakah siap bertindak benar, konkrit, dan tepat waktu, sesuai tujuan organisasi dan persepsi para stakeholders, tanpa menunda-nunda lagi dengan berbagai excuses?

Tolong ingat: excuses dan alibi tidak akan mengubah fakta. Perilaku kepemimpinan Anda yang lebih efektif akan membantu menata ulang realitas.

Bukankah Anda sebagai pemimpin memerlukan pijakan yang kokoh, misi dan visi Anda tertanam lebih kuat di benak para anggota tim untuk bersama-sama mengatasi krisis?

Para eksekutif dan leaders di pelbagai organisasi di dunia belakangan jadi gamang utamanya karena respon mereka sendiri yang kurang tepat. Di antaranya langsung merunduk atau bahkan ada yang nyaris tiarap, membayangkan bottom line bakal jauh dari harapan. Cemas.

Itu memang gejala yang manusiawi – namun tidak pantas dibiarkan. Sebagai pemimpin, sepatutnya segera menyadari untuk mengendalikan diri.

Photo by Patrick Tomasso on Unsplash

Langkah pertama, cek ulang tujuan hidup (life purpose), apa alasan utama Anda dan organisasi eksis di dunia, menelaah kembali guiding principles pribadi dan organisasi.

Deklarasi ulang, penegasan kembali secara gamblang semua itu, sekarang ditunggu oleh para pemegang saham, tim, pelanggan, dan pemasok Anda. Mereka, bersama publik, memerlukan kejelasan apa intention Anda memimpin, tujuannya ke mana.

Setiap bercermin, beranikan bertanya kepada orang di depan Anda, apa nilai yang saya bangun hari ini dan rasa hormat apa yang mesti diberikan untuk diri ini?

Sebagaimana pembelajaran yang saya peroleh dari Marshall Goldsmith, cek ulang diri sendiri terus-menerus, di antaranya melalui pertanyaan seperti ini: upaya terbaik apa yang sudah saya lakukan untuk meraih goal, untuk menjadi lebih bermakna, dan bahagia?

Tindakan berikutnya yang sepatutnya dilakukan para eksekutif dan pemimpin adalah memberikan perlindungan dan dukungan (bisa berupa emotional support) orang-orang yang bergantung pada kita. Selain anggota tim, mereka bisa juga ada di antara para pelanggan (klien), mitra usaha, pemasok, anggota komunitas, dan masyarakat umum.

Memahami kebutuhan mereka, yang masing-masing bisa sangat berbeda, lantas kita berempati membantunya, sungguh akan memberikan benefit ke semua pihak, termasuk diri kita sendiri. Kerja sama yang dibangun dengan cara demikian akan terpateri lama, memperkokoh kepercayaan mereka kepada kita untuk bersama-sama mengatasi krisis.

Tindakan ketiga adalah bagaimana memperkuat daya tahan emosional dan organisasi. Diperlukan keseimbangan. Langkah pertama dan kedua mesti diukur secara periodik, supaya resources kita dapat disalurkan lebih efektif – karena kita perlu alokasi energi menjalani hidup bersama keluarga atau orang-orang terdekat.

Bayangkan Anda adalah CEO, atau memimpin kementrian, atau Presiden (Kepala Negara), tapi gagap untuk memberikan clarity kepada para pemangku kepentingan apa tujuan hidup dan arah kepemimpinan Anda, sementara tindakan nyata Anda hanya sebatas yang normatif saja. Apa jadinya?

Apakah pemegang saham, karyawan, pelanggan, pemasok, dan publik masih dapat Anda harapkan mendukung Anda — utamanya — dalam mengatasi krisis?

Implementasi ketiga langkah di atas, membangun pijakan kokoh dan courage dalam menghadapi ombak kehidupan, atau krisis, agar benar-benar terlaksana dengan baik, perlu dua kebajikan lagi, yaitu sikap rendah hati (mengakui diri kita tidak sempurna, bersedia menerima masukan para pemangku kepentingan), dan disiplin (konsisten menjalankan semua itu, lakukan evaluasi, dan terus perbaiki).

Courage, humility, dan discipline merupakan satu paket dalam proses meningkatkan efektivitas memimpin.

Tradisi ini sudah bertahun-tahun kami praktikkan di lingkungan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC), disesuaikan dengan real time challenges

Pixabay

Dengan pengalaman dan kecerdasan Anda, apa saja yang masih membuat ragu untuk menjalani proses jadi lebih kompeten, mampu berselancar menghadapi gulungan ombak increments of fear tantangan sekarang?

Sebagaimana kemahiran para atlet, leadership muscles kita dapat dilatih dan dikembangkan. Syarat pertama sederhana: bersedia dan mampu mengendalikan ego.

Mohamad Cholid 

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Head Coach di Next Stage Coaching.
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article