Jumat, Maret 29, 2024

Kota, Desa dan Corona

Must read

Presiden kebal hukum?

Oleh Farid Gaban

Wabah virus corona memaksa kita merenungkan kembali tentang arah pembangunan. Salah satunya tentang urbanisasi serta ketimpangan hubungan antara desa dan kota.

Dua pekan lalu, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menyatakan pemerintah tengah mengkaji kemungkinan memulangkan warga kota yang kehilangan pekerjaan akibat corona ke kampung halaman.

Susutnya aktivitas ekonomi di kota-kota besar akibat corona memang telah memicu gelombang pengangguran yang nyata: buruh dipecat karena mengkerutnya sektor industri dan jasa; serta para tukang ojek, tukang masak dan pedagang kaki lima yang kehilangan pelanggan.

Gelombang pulang kampung sebenarnya telah terjadi tanpa campur tangan pemerintah. Puluhan ribu orang, yang selama ini menjadi tulang punggung sejati dari gemerlap metropolitan, telah mudik lebih awal. Lalu, mengapa pemerintah ingin aktif memulangkan?

“Masyarakat perkotaan yang kehilangan pekerjaan berpotensi menjadi masalah baru di masa mendatang,” kata Doni Monardo.

Itu pula alasan utama mengapa Presiden Jokowi terlihat gamang. Di satu sisi presiden melarang orang mudik (karena berpotensi menularkan wabah ke desa), tapi belakangan membolehkan orang mudik (agar tidak menjadi beban di kota).

Doni Monardo terlalu jujur mengungkapkan cara berpikir pemerintah yang egoistik dan urban-centris: mencegah potensi kerusuhan sosial di kota dengan mengirim masalah ke desa.

Pemerintah, menurut Doni, tidak egois. Pemerintah akan memberi pemudik pekerjaan di sektor pertanian, untuk menjamin lancarnya pasokan pangan di musim wabah ini.

Kedengaran mulia, namun pada dasarnya itu mencerminkan cara berpikir egois kedua: memindahkan masalah di sektor industri/jasa di kota dengan melemparnya ke sektor pertanian di desa.

Wabah corona membuka kedok ketimpangan desa dan kota. Membuka borok ketimpangan ekonomi nasional secara keseluruhan, serta motif tersembunyi mengorbankan desa untuk menopang kota-kota yang mentereng.

Praktek pembangunan kita sudah lama mengabaikan desa dan sektor pertanian. Lahan pertanian di desa terus menyusut. Kerusakan lingkungan

hutan dan sungai mengancam sektor pertanian dengan bencana sepanjang tahun: banjir di musim hujan, serta kekeringan di kala kemarau.

Bahkan jika mau, tidak mudah mantan buruh perkotaan bisa bekerja di sektor pertanian.

Mengejar pertumbuhan ekonomi, pemerintah sejak Orde Baru juga menindas para petani. Khawatir inflasi, pemerintah menekan harga pangan tetap murah, salah satunya dengan membuka keran impor lebar-lebar.

Pertanian menjadi sektor yang tidak menarik karenanya, dan desa-desa menjadi kantong kemiskinan akut.

Bagaimanapun, penganggur di kota pada akhirnya ingin pulang kembali ke desa, baik sendiri-sendiri maupun dipulangkan pemerintah. Bahkan jika sektor pertanian tak bisa diandalkan, mereka bisa berharap dari lingkungan sosial pedesaan yang lebih ramah.

Virus corona membuka kedok betapa rapuh sektor industri/jasa serta betapa kejam kehidupan sosial di perkotaan. Dan betapa maya impian urbanisasi serta hal-hal keren yang disematkan padanya.

Itulah yang seharusnya membuat kita berpikir ketika menetapkan arah pembangunan: mencegah orang pergi ke kota sejak dari awal.

Yakni dengan benar-benar serius memperkuat desa dan sektor pertanian. Serta menjadikan hidup di desa tak kurang keren dibanding hidup di kota.

Urbanisasi mungkin tak terelakkan. Tapi, kesehatan kota-kota bergantung dari sehatnya kehidupan pedesaan. Dengan segala kemakmurannya, kota hanyalah produsen sekunder, sementara sentra produksi primer yang menjadi kebutuhan dasar manusia, seperti pangan, sebenarnya ada di pedesaan.

Sejak Orde Baru, pemerintah berambisi membawa Indonesia menuju industrialisasi di perkotaan, dengan mengabaikan pertanian dan perikanan.

Hasilnya? Tak hanya industrialisasi jauh panggang dari api (seperti ditunjukkan tingginya impor produk mesin dan manufaktur), pertanianpun berantakan (impor pangan yang terus meningkat). Kerugian di dua sektor sekaligus.

Tak ada jalan pintas menuju industrialisasi. Negeri-negeri industri maju, seperti Korea Selatan, Jepang maupun Jerman, memiliki fondasi yang kuat di sektor sumber daya alam (pertanian, perikanan, kehutanan) terutama di pedesaan.

Tapi, kita bahkan patut bertanya: apakah menjadi negara industri itu keniscayaan yang harus dikejar? Apakah Revolusi Industri 4.0 harus kita lalui?

Kita mungkin perlu mengingat lagi Revolusi Industri 1.0 di tanah asalnya: Eropa.

Revolusi itu telah memicu kerusakan alam lingkungan pedesaan. Tapi, lebih dari itu, mendorong hilangnya konsep tentang milik bersama, atau the commons. Tak hanya konsep air bersama, tapi juga tanah bersama.

Ahli sejarah ekonomi Karl Polanyi menyebut hilangnya konsep the commons di pedesaan Eropa pada abad 17-18 sebagai “transformasi besar” yang melahirkan kapitalisme. Privatisasi adalah pilar kapitalisme.

Banyak yang percaya bahwa pergeseran hidup dari publik ke privat merupakan hal yang semestinya terjadi, tak bisa ditolak, bahkan alamiah. Privatisasi dipandang penting, meski diketahui belakangan memicu kemiskinan dan ketimpangan. Tapi, pengalaman Eropa menunjukkan kemiskinan bukanlah fenomena alami, melainkan ciptaan manusia sendiri.

Kehidupan petani desa di masa lalu mungkin tidak cukup keren. Tapi, mereka punya hal terpenting dalam hidup: akses pada tanah tempat mereka menanam padi, ubi, kacang, sayur, dan buah. Tak hanya akses pada tanah sendiri. Mereka juga punya akses pada lahan bersama. Orang desa tidak mengenal kata “kelaparan”.

Dulu, hutan desa dikelola secara kolektif untuk kebutuhan beragam: padang menggembala ternak, kayu besar untuk bahan bangunan, dan ranting kering untuk bahan bakar menanak nasi atau sekadar menghangatkan badan.

Petani, meski tidak kaya-kaya amat, menikmati hak hidup paling fundamental yang dilindungi adat dan sistem sosial setempat.

Kini, selain kian sempit, tanah dan lahan makin menonjol sebagai milik pribadi (privat). Mereka yang kurang beruntung makin terdesak, bahkan kehilangan lahan sama sekali. Terancam kelaparan, orang-orang desa lari ke kota, menyediakan diri sebagai buruh murah dengan nasib yang tidak selalu lebih baik.

Di Inggris berabad lalu, jutaan warga desa lari ke kota dan menciptakan krisis kemanusiaan luar biasa. Untuk pertama kali dalam sejarah Inggris, kata “poverty” lazim dipakai untuk melukiskan orang-orang yang secara harfiah tak punya peluang bertahan hidup.

Oliver Twist, novel muram karya Charles Dickens, mewakili situasi kumuh era itu.

Tapi, bukankah Inggris sebagai sebuah negeri tak hanya bertahan, melainkan menjadi salah satu negeri terkaya di dunia sekarang?

Tak bisa dibantah bahwa warga Inggris dan Eropa pada umumnya tumbuh menjadi kaya dalam beberapa abad terakhir. Kualitas hidup mereka

meningkat dramatis. Tapi, krisis kemanusiaan tidak menguap. Krisis Eropa itu cuma diekspor ke tempat lain. Melalui kolonialisme.

Eropa menjadi kaya karena menjarah negeri-negeri koloni, seperti India dan Indonesia, lewat globalisasi kapitalisme ala VOC.

Beruntung kita punya tokoh seperti Mahatma Gandhi dan Mohammad Hatta, yang menguliti kejahatan penjajahan tak hanya dari aspek politik, melainkan juga ekonomi.

Wabah corona kini memaksa kita untuk menengok kembali pikiran sederhana mereka tentang keluar dari belenggu kolonialisme, tentang pengembangan desa serta tentang filosofi pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

Gambar oleh Joseph Samson dari Pixabay

Gandhi dikenal sebagapi promotor swadeshi atau kemandirian ekonomi. Kemandirian ekonomi nasional dicerminkan oleh kemandirian desa-desa.

Gandhi menentang “produksi massal” (mass production) yang diwujudkan melalui pabrik-pabrik besar di kota. Di pabrik, manusia melayani mesin-mesin, persis seperti yang digambarkan oleh Charlie Chaplin dalam “The Modern Times”, ketika modernisasi berjalan seiring secara paradoksal dengan dehumanisasi.

Sebaliknya, Gandhi menyarankan “produksi oleh massa rakyat” (production by mass), yang merupakan fondasi ekonomi kerakyatan dan mendorong kemandirian ekonomi dari tingkat terkecil: desentralisasi ekonomi hingga tingkat desa.

Motor pendorong utama produksi massal, menurut Gandhi, adalah pemujaan pada individualisme. Sebaliknya, ekonomi yang berbasis pada masyarakat desa memupuk semangat gotong-royong menuju kesejahteraan bersama.

Menurut kaidah swadeshi, apa saja yang dibuat di desa pertama-tama harus dibeli oleh penduduk desa itu sendiri. Pertukaran niaga antara desa atau kota untuk barang kebutuhan pokok harus sesedikit mungkin. Desa menjadi lebih kokoh, terbebas dari gejolak ekonomi dari luar.

Kemandirian desa dicerminkan oleh adanya semua jenis profesi: tukang kayu, pande besi, pemahat, mekanik, petani, nelayan, pembuat kue, penenun, guru, pedagang, pemusik, seniman dan ulama. Desa adalah miniatur negeri.

Desa bukan cuma satuan ekonomi. Kehidupan di dalamnya tak hanya peduli pada capaian materi, tapi juga capaian budaya, seni, harmoni sosial dan spiritual.

Swadeshi tak hanya merupakan cetak biru ekonomi kerakyatan tapi juga kedaulatan (politik) rakyat.

Di Indonesia, pemikiran seperti ini sangat kental pada Bung Hatta, yang memang banyak terinspirasi oleh Gandhi. Kedaulatan desa, menurut Bung Hatta, adalah bentuk kedaulatan paling hakiki.

Pemerintahan desa yang lebih kuat dan efektif hanya mungkin berjalan jika ada penguatan masyarakat desa sendiri. Tanpa partisipasi masyarakat, otonomi desa cuma berarti makin banyaknya uang yang mengalir ke desa- desa, yang seringkali justru memicu konflik serta penyebaran praktik korupsi oleh para elit desa.

Desa yang mandiri berisi orang-orang yang mandiri, yang pada gilirannya mampu membangun sistem politik yang lebih sehat, dari bawah dan bersifat egaliter. Ini mungkin juga akan menjadi panasea dari sistem politik kita sekarang yang elitis dan beracun.

Jadi, sebenarnya Pemerintah Jokowi bisa melakukan hal yang lebih baik dari sekadar melempar masalah ke desa. Yakni mewajibkan dirinya menunaikan janji Nawacita yang dilupakan: “membangun dari pinggiran”, membangun dari desa, dari sektor pertanian.**

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article