Jumat, Maret 29, 2024

Krisis Covid-19 Apocalypse

Must read

Presiden kebal hukum?

Para Pemimpin Mendadak Tidak Kompeten

Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

Kota-kota di dunia yang selama ini berselimut kemacetan lalu-lintas, pekan-pekan terakhir ini seperti telanjang, kelihatan beton-beton bangunan yang mengangkang dan jalanan membentang kosong. Mereka lockdown. Memasuki akhir Maret 2020, tercatat ada 722.000-an kasus coronavirus Covid-19, yang meninggal 33.900-an, sehat kembali 151.700-an orang.

Total 199 negara di dunia dan dua kapal penumpang antar negara – Diamond Princess dan MS Zaandam — terkena wabah coronavirus. Memasuki April 2020, data bisa berubah, tentu dengan harapan yang pulih lebih banyak.

Krisis akibat wabah coronavirus menguji kepemimpinan dari level komunitas, korporasi, lembaga nonprofit, sampai tingkat negara. Kita bisa sama-sama melihat, para pemimpin pada mengalami gejala sudden incompetence, termasuk di negeri-negeri yang selama ini kita anggap sebagai negara kuat.

Peter Drucker menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan orang-orang yang tengah memegang kekuasaan, di korporasi dan pemerintahan, tiba-tiba kehilangan kemampuan memimpin dan tidak bisa mengambil keputusan dengan tepat. Mereka telah mendapati kenyataan, pola pikir dan cara bertindak (actions) yang membuat mereka dulu sukses, kini tidak bisa diandalkan lagi.

Banyak faktor yang menyebabkannya. Sebagian tentu karena wabah Covid-19 masih sulit dikontrol; masyarakat di banyak negara memiliki pola dan gaya hidup sendiri-sendiri, yang di sejumlah wilayah malah mempercepat penularan; faktor lainnya adalah birokrasi dan bottleneck yang mengganjal proses kerja.

Contoh menggunakan cara sukses lama terbukti tidak pas untuk mengatasi tantangan sekarang bahkan dialami oleh para pengambil keputusan di Federal Reserve AS.

Untuk mengatasi konsekuensi ekonomi dan keuangan akibat krisis Covid-19, Federal Reserve secara naluriah menggunakan pendekatan seperti saat krisis keuangan dunia 2008-2009. Tapi tidak membuahkan hasil. Kenyataannya, Global Financial Crisis (GFC) jelas berbeda dengan krisis Covid-19, sebagai masalah public health yang berdampak negatif pada bisnis, para pekerja, dan sektor keuangan.

Hari-hari ini di seluruh dunia umumnya organisasi bisnis, nonprofit, dan sebagian institusi pemerintahan menerapkan bekerja dari rumah, meminimkan mobilitas dan kerumunan, untuk mengurangi ancaman penularan wabah Covid-19.

Sebagian waktu yang selama ini dimakan oleh kemacetan lalu-lintas dan fasilitas transpotasi umum yang belum mampu menopang produktivitas, saat ini sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk melakukan perenungan. Menata kembali mindset kita, menyiapkan action-action ke depan, mempertanyakan kembali tujuan hidup kita, dan apa yang akan kita wariskan kelak untuk kemanusiaan.

Dari sejak ribuan tahun silam sampai hari ini, umat manusia selalu menghadapi sederet test untuk menguji kesungguhan menjalani hidup, meningkatkan kompetensi, dan, menurut perspektif agama, menakar keimanan masing-masing. Krisis akibat wabah sekarang ini adalah fakta yang kita hadapi bersama. Accept it.

Sebuah apocalypse? Terserah masing-masing untuk menafsirkan krisis sekarang. Apocalypse dari bahasa Yunani, yang artinya “pengungkapan” (“revelation“), “an unveiling or unfolding of things not previously known and which could not be known apart from the unveiling“.

Dalam level dan kasus tertentu, bisa jadi krisis akibat Covid-19 ini merupakan apocalypse, revelation, mengungkap kualitas dan perilaku kepemimpinan sejumlah orang. Kini kedok mereka terbuka, siapa yang mementingkan perut sendiri (menimbun komoditas untuk di-mark up), mana saja pihak yang tidak sensitif pada situasi dan sibuk membangun kerajaan ego (politik).

Sementara di lain pihak ada golongan orang (institusi) yang dengan tulus memberikan sokongan untuk bersama-sama mengatasi krisis.

Instropeksi dan menentukan respon positif

Tugas kita adalah introspeksi. Menentukan respon positif, memilah-milah mana faktor penghambat dalam birokrasi — dan diri sendiri — yang harus dieliminasi, apa saja hal baru yang sepantasnya kita lakukan. Plus perilaku apa yang masih dapat dipertahankan.     

Untuk meningkat ke next stage, ke hidup bersama yang lebih baik, kita sama-sama terlibat menentukan bagaimana menambah jumlah para pemimpin yang kapabel (an increasing number of capable leaders).

Bukankah para pemimpin hebat selalu muncul dari situasi krisis? Krisis ekonomi, sosial, politik, intelektual, spiritual, atau akibat wabah.

Sebelum menentukan langkah, sebagaimana tradisi di Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC), upayakan jawab ini dulu dengan seksama, “Who is the you – that you want to createCreating that person that you want to become?”

Cobalah tengok ulang Kitab Suci Anda masing-masing. Tuhan memberikan mata, telinga, kecerdasan, dan waktu agar kita dapat memilih jalan kebaikan yang memang perlu upaya lebih, karena menanjak. Kenapa pilih jalan landai yang menuju keburukan (penurunan kualitas diri)?

Dalam konteks korporasi, apakah Anda, sebagai eksekutif atau anggota Board of Directors, sudah siap dijadikan teladan sebagai pemimpin yang efektif dan membangun lingkungan yang kondusif untuk meningkatkan kapabilitas tim? 

Jika menginginkan institusi bekembang, perlu juga kita menyimak kembali dan mempraktikkan perspektif Verne Harnish dan tim dari Gazelles: “Handling a company’s growth successfully requires three things: an increasing number of capable leaders; a scalable infrastructure; and the ability to navigate certain market dynamics. If these factors are missing, you will face barriers to growth.” (Mastering the Rockefeller Habits 2.0Scaling Up, 2014).

Pada tingkat sukses sekarang, kita mestinya bukan termasuk golongan yang mudah menyerah. Secara bersama kita, atas izin Tuhan, dapat mengatasi krisis.

Untuk membantu Anda dan institusi, carilah lembaga yang reputasinya terpercaya menurut pendapat ribuan institusi di banyak negara, yang menghargai cultural diversity, berbasis metode yang sudah teruji dan dijaga tetap up to date, serta sesuai kenyataan, real time on the job.

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article