Rabu, April 24, 2024

Merdeka dari takhayul

Must read

Persoalan timbul ketika sebagian pelaku start-up merasa seperti datang dari planet lain, seolah-olah memiliki keunggulan dibanding manusia di Bumi. Perilaku ini yang diindikasikan membuat sebagian dari mereka kemudian hidup dalam takhayul tentang sukses – bisnis seolah-olah besar, tapi profitabilitasnya selalu perlu dipertanyakan. Belum lagi tentang kualitas human interaction mereka.

Generasi millennial merasa istimewa karena sejak kecil dan semasa tumbuh diistimewakan oleh orang tua mereka. Apa saja yang mereka mau, akan segera tersedia. Di sekolah, jika nilai akhir kurang memuaskan, orang tua protes ke kepala sekolah, lalu nilai diperbaiki. Ikut pelbagai kompetisi untuk masuk golongan yang diperhitungkan, kalau perlu orang tuanya ikut mendesak panitia agar anaknya dibikin unggul, dst.nya. Perangai ini merendahkan orang-orang lain yang bekerja keras, tekun.

Antropolog Simon Sinek, yang kemudian dikenal sebagai motivational speaker dan penulis sejumlah buku (di antaranya Start with Why; Leaders Eat Last) perlu disimak. Katanya, generasi milenial (yang lahir pertengahan 1980-an dan sesudahnya) sesungguhnya mesti ditolong melalui kepemimpinan yang efektif di organisasi.

Generasi milenial kebanyakan gagap memasuki dunia korporasi saat menyadari ternyata diri mereka tidak istimewa seperti yang mereka kira. Berkeinginan memberikan impact lewat pekerjaan yang mereka sukai, tapi sering kurang bisa memahami kenyataan. Mereka sering tidak sabaran, memiliki self-esteem rendah, lantas mencari kompensasi di media sosial.

Simon Sinek menemukan empat perkara yang menyebabkan generasi milenial kesulitan untuk menikmati hidup secara mendalam. Keempat perkara tersebut: strategi parenting yang buruk, teknologi (gadget dan social media), ketidaksabaran mereka sendiri karena terbiasa mendapatkan instant gratification, dan lingkungan kerja korporasi yang lebih memuja angka-angka ketimbang membina generasi muda untuk kepentingan jangka panjang.

Dengan kata lain, generasi milenial perlu dibantu untuk mengembangkan diri, memiliki corporate skills dan social skills, bersikap seimbang dalam menyikapi perkembangan teknologi dan kehidupan. Bukan diposisikan seolah-olah mereka mahluk istimewa, yang malah menyebabkan mereka kehilangan arah.

Sudah saatnya kita merdeka dari takhayul dalam interaksi sosial, mulai membiasakan mengambil keputusan berdasarkan penelaahan lebih dalam, bukan hanya berdasarkan dua pilihan terbatas – seperti, milenial atau baby boomer, start-up atau korporasi, swasta atau BUMN, dst.nya. Realitas di dunia tidak bisa dipilah secara sederhana seperti membedakan teh dan kopi.

Lebih dari itu, di organisasi apa pun, start-up atau korporasi, anggotanya terdiri dari milenial atau generasi campuran, industri otomotif atau bidang hospitality, institusi pemerintah atau LSM, satu hal yang paling krusial – namun sering diabaikan – adalah kualitas interaksi sesama manusia di dalamnya serta konektivitas mereka dengan stakeholders, masyarakat.

Kualitas kepemimpinan, konektivitas dan interaksi dengan sesama manusia, menjadi penopang tegaknya budaya organisasi. Berdasarkan survei dari lembaga-lembaga kredibel seperti Hay Group dan McKinsey, budaya organisasi berpengaruh signifikan pada kinerja.

Mohamad Cholid is Member of Global Coach Group (www.globalcoachgroup.com)    

Alumnus The International Academy for Leadership, Germany.

Books: https://play.google.com/store/search?q=senincoaching&c=books

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528

Please contact Ibu Nella + 62 85280538449 for meeting schedule

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article