Kamis, April 25, 2024

Ngujo Roso, politik poliglenik

Must read

Catatan Giri Basuki

Pameran Tunggal Kartun, karya Gatot Eko Cahyono, Balai Budaya Jakarta, 04-14 Maret 2023

“Saya dulu sering ditolak editor. Susah untuk menyesuaikan karikatur saya dengan gaya Kompas”. Waktu itu, karikatur mendapat pengawasan istimewa. “Mungkin karena takut, tak secuil ide pun muncul di kepala saya,” Kata G.M. Sudarta. Demikian halnya dengan Promono, nasibnya tak sebaik Darta, karikaturnya lebih sering ditolak oleh editor di Sinar Harapan. “Kalau kurang lucu mesti ditolak.” Dan karikaturnya beberapa kali kena tegur dari pemerintah. 

Omong-omong di atas terjadi ketika G.M. Sudarta dan Pramono pameran berdua di Taman Ismail Marzuki 1980. Bambang Bujono menurunkan tulisannya itu di majalah Tempo, I9 Juli 1980. Saya kutipkan dari Bunga Rampai Esai dan Kritik Senirupa karya Bambang Bujono, terbitan DKJ, 2019. 

Dan ketika masih menjadi mahasiswa, sesekali duakali saya pernah diajak begadang di kantor menemani sahabat saya, Mohammad Fauzi yang juga berprofesi sebagai karitunis editorial di sebuah majalah mingguan Jakarta Jakarta di kawasan Palmerah.

Untuk itu saya sering ditraktir nasi goreng sebelum sahabat saya itu memulai aksinya, corat-coret dari malam, kira-kira sehabis Isya sampai waktu menjelang terang tanah. Pun dengan risiko kerja, hasil coretannya itupun belum tentu di-ACC oleh editor. 

Dari kisah lama itu, memberitahukan kepada kita, bahwa sesungguhnya, betapa tidak mudahnya mengemban tugas menjadi kartunis editorial itu? Selain hidup di bawah tekanan deadline dengan tuntutan penguasaan update materi terus-menerus yang berkaitan dengan isu-isu nasional, kecermatan dan ketajaman dalam memilih idiom-idiom, juga terhadap tuntutannya hakekat karya karikatur yang bersifat mutlak dan wajib, yaitu: karya karikatur itu harus tetap lucu? Wah! 

Gambaran sebuah kehidupan yang kontradiksi, serius dan harus lucu, main-main tapi bukan main? Silakan pembaca berimajinasi sendiri suasana kebatinannya. 

Namun semangat kerja seperti itu, bagi sosok seniman yang satu ini Gatot Eko Cahyono, yang menggelar karyanya di Balai Budaya Menteng Jakarta. juga pernah menjadi kartunis di harian Suara Pembaruan yang mengganggap Pramono sebagai gurunya, dengan seabrek prestasinya – di antaranya langganan penerima penghargaan karya jurnalistik Adinegoro ini, tetap digenggamnya sampai sekarang. 

Terbukti setelah pensiun dari Suara Pembaruan tahun 2016, Gatot Eko Cahyono tetap aktif berkarya karikatur freelancer di beberapa media cetak, mengajar seni budaya dan sketsa di SMK Multimedia Sumbangsih Cilandak Jakarta Selatan dan mendirikan studio lukis Ngujo Roso di Kasongan, Bangun Jiwo, Bantul Yogyakarta. 

Ngujo Roso, atau membiarkan rasa dan perasaan mengalir. Politik Poliglenik, obrolan santai dengan topik pembicaraan mengenai politik yang tejadi di tengah-tengah masyarakat, dan di sela waktu luang aktivitas masyarakat, menjadi tema sentral dalam pameran tunggalnya. 

Meskipun karya-karya yang dipamerkan kali ini dikerjakan setelah kurun waktu masa pensiun, namun karena secara “genelogi” Gatot adalah jurnalis kartunis editorial, maka tidak heran apabila pemahaman, kejeliannya serta sikap kritisnya dalam mencermati tren isu politik nasional, menjadi kekuatan alam bawah sadar yang menggerakkan setiap karyanya. Secara merata, kekuatan karya yang ditampilkan masih terasa “power”nya dan cukup menggelitik. 

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article