Jumat, Maret 29, 2024

Organisasi yang people centric

Must read

Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob

Kantor tanpa manusia bukanlah kantor. People make the place, kata pepatah kuno. Memang benar. Bukankah manusia merupakan aset terbesar dari suatu organisasi? Namun, bila kita bertanya kepada para pimpinan, mana yang mereka prioritaskan: manusia atau pencapaian bisnis?

Masih banyak yang dengan tegas mengatakan: bisnis dulu, manusia belakangan. Bila sasaran bisnis tidak bisa kita capai, bagaimana kita akan membayar gaji karyawan?  

Namun, dengan perkembangan teknologi sekarang, ketika para pemimpin sering merasa kalah langkah dari anggota tim yang ternyata memiliki solusi yang lebih jitu, sadarlah bahwa nilai manusia sangat berharga. Pada saat saat inilah para pimpinan ingin mengarahkan organisasi menjadi people centric. Namun, apakah semudah itu melakukannya?

Banyak manajer ataupun pimpinan yang tidak sepenuhnya mengerti mengenai konsep people centric. Ada manajemen yang berfokus pada daftar gaji dan merasa bahwa bila upah yang diberikan cukup kompetitif, karyawan akan bahagia. Padahal mungkin karyawan akan lebih bahagia bila atasan menghargai dengan memperlakukan mereka sebagai teman satu tim tanpa prasangka.

Kebijakan hibrida dalam bekerja tidak bisa kita buat tanpa memperhitungkan satu persatu kebutuhan individu. Kita bisa saja berasumsi bahwa karyawan yang satu bersedia mengorbankan dirinya untuk bekerja lebih keras atau mendapatkan giliran masuk kantor yang lebih banyak tanpa alasan operasional yang kuat. Namun, itu berarti kita sudah menunjukkan bahwa kita memang belum bisa disebut sebagai pemimpin yang people centric.

Hal utama untuk memulai pendekatan people centric adalah berlatih melihat lensa mata karyawan. Bagaimana karyawan memandang disrupsi teknologi ini? Apa dampaknya terhadap kehidupan bekerja dan pribadinya? Bagaimana karyawan memandang automasi, perkembangan, dan tantangan yang harus dihadapi perusahaan? Apakah karyawan dapat menghayati perubahan dan pengembangan perusahaan serta turut bersemangat seperti halnya manajemen?

Bila manajemen masih meragukan hal itu, marilah kita melakukan evaluasi pilar demi pilar.

Pilar Budaya

Culture is king. Demikian kata para ahli. Budaya organisasi merupakan landasan lembut yang membuat para karyawan merasa nyaman berada dalam suatu organisasi. Budaya yang kuat dan positif juga memberi rasa nyaman ketika terjadi banyak perubahan dalam organisasi.

Setiap organisasi memiliki resep tersendiri untuk membuat budayanya solid. Namun, boleh dibilang fokus kepada manusia adalah bahan utamanya. Artinya, pertama, kita memang harus memastikan bahwa setiap karyawan sudah merasa dihargai. Setiap karyawan dari posisi paling rendah sekalipun perlu merasa yakin bahwa manajemen menempatkan kebutuhan mereka dalam pertimbangan penyusunan kebijakan.

Hal yang juga penting dalam budaya perusahaan adalah ‘sense of belonging’. Pada masa sekarang ini, makna rasa memiliki sudah meluas pada keberagaman. Tantangan para pemimpin adalah memelihara bentuk keberagaman baru di mana perspektif, pengalaman, kontribusi dan pemikiran yang berbeda-beda diterima bahkan dimanfaatkan sebaik-baiknya.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article