Kamis, April 25, 2024

Pemimpin perlu keberanian emosional untuk berdialog

Must read

#SeninCoaching

#Leadership Growth: Asking the Right Questions Save You

Oleh Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach

One can communicate only in the recipient’s language or in their term. – Peter F. Drucker.

Hari-hari ini ketika teknologi komunikasi makin canggih, banyak orang kehilangan ruh dan identitas mereka dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Harga diri mereka, utamanya dalam interaksi di media sosial, tak lebih tinggi nilainya dari sekedar transaksi copy paste dan persepsi keliru dalam menyikapi informasi. Mereka pada akhirnya juga sesungguhnya tidak memiliki gadget canggih yang ada di tangan, tapi telah dikuasai oleh kreasi teknologi tersebut, yang demikian hebat mencengkeram batin manusia seperti candu.

Apakah berani cek setiap malam, berapa persen hari itu smartphone dipakai untuk urusan pekerjaan, berapa persen untuk keluarga, dan agama, lalu berapa persen untuk gosip politik dan bicara tentang artis top dan tokoh-tokoh di pemberitaan media?

Anda barangkali sudah sering menerima pernyataan senada di atas. Anggap saja ini sebagai upaya mengingatkan, seperti ajakan selalu cuci tangan, pakai masker, dan jaga kesehatan di tengah pandemi. Ayo interpretasi ulang perihal komunikasi di tengah “pandemi kegagapan manusia” Abad 21 sekarang dalam hubungan sosial, di antara para pemangku kepentingan di organisasi, sampai komunikasi publik pejabat pemerintahan. Belakangan ini kita juga makin kebanjiran monolog, telah kehilangan dialog di tengah kecanggihan perkakas teknologi komunikasi.

Apakah ini bukti atau indikasi masyarakat kita telah terbelah, utamanya sangat terasakan dalam sekian belas tahun terakhir? Bersamaan dengan itu orang-orang yang mengaku politisi, tokoh agama, para pakar (di sejumlah bidang ilmu) sudah tidak dapat membedakan diri mereka dengan para selebritas di panggung dunia entertainment. Sementara para pengagum atau follower mereka bersitegang dengan teman atau saudara sendiri akibat pilihan tokoh yang berbeda.

Di belahan dunia lain juga tampaknya demikian. Celeste Headlee, berpengalaman sekian dasawarsa sebagai radio host, dalam salah satu ajang TED Talk Mei 2015 mengungkapkan, hasil survei terhadap 10.000 orang dewasa AS menyebutkan, masyarakat telah terbelah, terpolarisasi, dan mengalami kesulitan dalam percakapan yang baik (conversation) – ini pertama terjadi dalam sejarah. Interaksi antar manusia gampang menimbulkan konflik, hal-hal remeh bisa jadi perdebatan sengit, serta para politisi tidak mau berbicara satu sama lainnya.

Menurut Anda bagaimana, bukankah kondisi di AS dalam paparan Celeste Headlee tersebut juga terjadi di Indonesia?

Bukankah di grup-grup media sosial – seperti WhatsApp, Facebook, bahkan di grup orang-orang kalangan menengah terdidik — ada saja timbul konflik atau perdebatan sengit untuk hal-hal sepele sehari-hari sampai pilihan politik atau kekaguman pada tokoh politik? Pertemanan, bahkan kualitas hubungan persaudaraan, bisa rusak akibat perbedaan pandangan dalam tukar pendapat di media sosial, utamanya di grup WhatsApp.

Kegaduhan sosial di pelbagai kota beberapa hari terakhir ini – di beberapa tempat ada yang benar demonstrasi, di lain tempat terbukti ada pengrusakan oleh para penyusup memanfaatkan peluang keriuhan — merupakan symptom dari masalah mendasar di antara kita, yaitu kegagapan yang kronis dalam berkomunikasi.

Terkait UU Cipta Kerja, misalnya. Presiden bisa saja mengatakan telah sejumlah kali melakukan rapat dan sosialisasi dengan jajaran mentri. Mungkin juga dengan pihak-pihak lain, termasuk yang merasa wakil buruh dan pengusaha. Boleh jadi para mentri juga sudah menyampaikan amanah tersebut ke para bawahan mereka.

Pertanyaannya, apakah ada parameter yang dipakai bersama untuk mengukur tingkat keberhasilan sosialisasi tersebut? Bagaimana publik dan para pemangku kepentingan lainnya, apakah selama ini sudah “mendengar” dan “melihat” tahapan-tahapan pembuatan undang-undang tersebut? Apa ukurannya bahwa yang sudah disampaikan selama ini bukan sekadar monolog kehendak satu pihak?    

Kecuali ada pihak yang mendengarkan (kalau bisa memahaminya), maka tidak ada komunikasi. Karena komunikasi adalah apa yang dipersepsikan penerima, bukan yang diutarakan penyampai.

Ada baiknya mengingat kembali kata Peter F. Drucker, management guru yang ajarannya sudah dilaksanakan oleh ribuan organisasi, termasuk institusi sejumlah pemerintahan: “Where communication is perception, information is logic. As such, information is purely formal and has no meaning. Information is always encoded. To be received, let alone to be used, the code must be known and understood by the recipient. This require prior agreement, that is, some communication.”      

Itulah kenapa jajaran eksekutif, para pemimpin, di organisasi bisnis, nonprofit, sampai di institusi pemerintahan di Abad 21 ini, perlu terus mengasah kemahirannya dalam berkomunikasi, utamanya dengan para pemangku kepentingan masing-masing. Soft skill ini perlu terus dikembangkan seiring dengan tantangan keadaan, apalagi di tengah masyarakat yang terkotak-kotak oleh polarisasi politik, kepentingan sosial berbeda, dan pemicu yang makin beragam.  

Tidak ada pengembangan leadership yang fit, kecuali real time on the job, dan dievaluasi terus secara berkala melibatkan para pemangku kepentingan.  

Dalam proses peningkatan soft skill para pemimpin di semua level, para CEO, bahkan Kepala Negara, selalu ada tuntutan untuk  menyiapkan diri menghadapi pelbagai kejutan, hal-hal yang belum diantisipasi. Mohon diingat, leadership bukan sekedar jabatan – setinggi apa pun itu. Leadership seseorang akan diukur oleh kemampuannya mengangkat derajat orang lain, utamanya para pemangku kepentingan. Perlu sikap rendah hati untuk terus mengoptimalkan daya hidup masing-masing, termasuk mengembangkan keberanian emosionalnya melakukan dialog, conversation yang berkeadaban.

Pemimpin Abad 21 ini juga perlu terus memoles kemahiran dalam mengajukan pertanyaan yang tepat, bukan selalu menghadirkan kesimpulan-kesimpulan atau hanya mendengarkan apa yang ingin didengar, melihat hanya pada yang ingin dilihat — sesuai asumsi dan kesimpulan yang sudah ada di benak — yang dapat mematikan dialog dan membahayakan semua pihak, kecuali pihak yang mau mengambil keuntungan dalam suasana kisruh.

Mohamad Cholid adalah

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article