Kamis, April 25, 2024

Perlintasan agama dalam sirkuit politik Indonesia 2024

Must read

Oleh: Anang A Yaqin, Direktur Karsa Indonesia Majemuk

Kegaduhan jagat maya dan realitas sosial kembali tersulut oleh pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang dianggap menyinggung perasaan umat akibat membandingkan azan dengan gonggongan anjing. Setelah sebelumnya mengeluarkan edaran tentang pengaturan penggunaan alat pengeras suara di masjid. Sejauh ini, meski ada yang mulai menempuh jalur hukum, kegaduhan paling besar terjadi di dunia maya.

Kegaduhan ini memberi sinyalemen kuat, bahwa soal isu-isu keagamaan, sampai saat ini masih memiliki sensitivitas tinggi untuk tersulut menjadi masalah sosial. Keadaan ini penting untuk menjadi catatan menjelang berlangsungnya momentum politik lima tahunan Pemilu 2024. Dalam pemilu sebelumnya, soal-soal seperti ini bahkan menimbulkan segregasi nasional yang mencemaskan.

Pemilu tahun 2024 nanti adalah sirkuit. Tempat berlangsungnya adu kencang, teknik dan skill, keunggulan mesin dan tentu saja mental serta keberanian. Pada perlintasan mana akan menyalip lawan dan meninggalkannya di belakang untuk menjadi pemenang. Di setiap perlintasan, terbuka peluang untuk mendahului dan menyalip. Resikonya, tergelincir dan tersisih, bisa sampai hancur berkeping-keping.

Di sirkuit ini, agama, hanyalah satu perlintasan penting. Perlintasan ini telah pernah menjatuhkan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dalam momentum kontestasi politik Pemilihan Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dan nyaris pula menumbangkan Jokowi dalam Pemilu 2014 maupun Pemilu 2019 lalu. Meskipun lolos di perlintasan ini, eksesnya terhadap segregasi nasional, masih belum sepenuhnya pulih.

Perlintasan agama di sirkuit politik sangat sensitif, seperti trek lurus di mana semua pembalap ingin memanfaatkannya untuk “memprovokasi” dan meninggalkan lawan.

Meskipun bisa digunakan menjadi momentum meninggalkan lawan, sejatinya agama saat ini harus ditempatkan sebagai hanya satu perlintasan diantara perlintasan lain yang tersedia.

Di era disrupsi dan post truth, dalam 10 tahun terakhir, ada perubahan lanskap politik yang mendasar. Liberasi politik telah mengubah orientasi dan prilaku politik. Platform ideologi dan garis perjuangan partai politik, hanya menjadi bagian kecil untuk menentukan pilihan.

Formulasi aspirasi politik, lebih banyak diwarnai oleh orientasi-orientasi pragmatis jangka pendek sebagai ciri dari proses liberasi politik. Vote oriented dan money oriented dengan membelakangkan faktor ideologi dan aliran politik, menjadi warna utama prilaku politik Indonesia mutakhir.

Maka tidak heran, bila dalam banyak survei elektabilitas politik saat ini, perpindahan pemilih sering berlangsung cepat dan jumlah yang belum menentukan pilihan (swing voter) terdeteksi jauh lebih tinggi dari jumlah selisih antar kontestan.

Sebagai contoh, survei Saiful Mujani Reasearch and Consulting (SMRC) paling terakhir misalnya seperti dikutip Kompas, dengan judul “ Survei SMRC: 4 Tokoh Bersaing di Jawa Barat” menyebut berdasarkan simulasi top of mind, Ridwan Kamil memperoleh elektabilitas sebesar 13 persen, disusul Anies (12,2 persen), Prabowo (12 persen), dan Ganjar (10,7 persen), sedangkan nama-nama lainnya di bawah 3 persen dan 43,2 responden tidak tahu atau tidak menjawab.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article