Rabu, April 24, 2024

Saintifikasi agama, perlukah?

Must read

Kolom Anang A Yaqin

Dalam sejarah keberagamaan masyarakat Indonesia moderen, tidak ada catatan menonjol tentang terjadinya ketegangan (guncangan) antara agama dengan ilmu pengetahuan. Agama yang diyakini masyarakat, memiliki klaim kebenaran berdasarkan atas pewahyuan, mitologi maupun penyebaran dogma, tidak serta merta melakukan penolakan atas teori-teori ilmu pengetahuan moderen.

Padahal secara sekilas, sumber keduanya seringkali tidak seiring, beberapa diantaranya bertolak-belakang. Diskursus agama berlangsung riuh rendah lebih disebabkan oleh sebab-sebab pergulatan kepentingan politik dalam pengertian perebutan kekuasaan maupun dalam pengertian sosiologis.

Ada beberapa kemungkinan penyebab tidak terjadinya pertarungan agama versus ilmu pengetahuan di Indonesia.

Pertama, agama (tokoh agama) telah mampu mengambil intisasi nilai-nilai yang terkandung dalam agama itu sendiri untuk menerima ilmu pengetahuan sebagai sumber kebenaran lain, melengkapi kebenaran yang diajarkan oleh agama.

Dalam sejarah politik (figur) Indonesia moderen, tokoh seperti (menyebut beberapa) H Agus Salim, Natsir, K Hajar Dewantara dan dalam konteks mutakhir Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, adalah tokoh intelektual agama yang berusaha menyerap intisari agama untuk mendampingi ilmu pengetahuan moderen sebagai alat penyangga kehidupan. Agama dan ilmu pengetahuan disikapi secara komplementer dan menempatkan kedua secara bergantian terkadang saling menunjang.

Kedua, penemuan ilmu pengetahuan (sains) tidak mengalami guncangan luar biasa, seperti terjadi ketika Galileo (1564) mengajukan teori astronomi dan hukum gerak baru atau Darwin mengajukan teori evolusi. Para saintis tidak nampak mengajukan gugatan filosofis, dan cenderung untuk mencari jalur terpisah atau bahkan melakukan keterhubungan dengan sinyalemen yang bersumber dari kitab suci.

Penemuan baru pada bidang kosmologi tidak serta merta menimbulkan guncangan filosopis pada agama dan juga ilmu pengetahuan dan cenderung menghindari adanya perdebatan. Para saintis tidak terjebak dalam saintisme dan pakewuh bersentuhan dengan sinyalemen kitab suci.

Ketiga, dan yang paling menonjol saat ini di Indonesia adalah dominasi (hegemoni) agama (pemeluk agama) atas kehidupan sosial.

Terdapat kecenderungan sangat kuat dimana pengaruh tokoh tokoh agama menguasai atmosfer berpikir masyarakat sehingga membungkam gugatan-gugatan ilmu pengetahuan yang terjadi di sekitar masyarakat. Pada sisi ini terdapat dorongan yang kuat untuk terjadinya subordinasi ilmu pengetahuan oleh agama. Subordinasi ilmu pengetahuan oleh agama memiliki dampak negatif terhadap pola berpikir masyarakat, terutama pada kelanjutan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Pernyataan tokoh agama di Indonesia bahwa “Bumi itu datar” dengan mengutip ayat suci Al-Quran, hanya salah satu contoh kecil bentuk upaya subordinasi agama terhadap ilmu pengetahuan.

Bentuk subordinasi yang lain adalah adanya klaim bahwa semua sumber pengetahuan datang dari kitab suci dan manusia hanya ditugaskan untuk melanjutkannya sampai benar-benar bisa membuktikan sinyalemen dari kitab suci tersebut. Manakala hasil temuannya berlawanan dengan sinyalemen, maka yang terjadi seolah-olah ada penyesatan. Bukan sinyalemen kitab sucinya sendiri yang menjadi masalah, tetapi hegemoni agama (tokoh) yang kerap bermuatan politik.

Penggunaan agama untuk tujuan-tujuan politik ini yang berkembang sangat signifikan di Indonesia. Terjadi di berbagai level demografi dan masif. Pun pada akhirnya, politisasi agama berlangsung mensubordinasi ilmu pengetahuan.

Secara disadari atau tidak, manipulasi agama terhadap ilmu pengetahuan moderen bahkan masuk dalam arena pendidikan formal melalui kurikulum yang mendapatkan legitimasi pemerintah. Keadaan ini selama tidak merusak tatanan berpikir masyarakat, dalam arti masyarakat tidak menghilangkan tradisi berpikir kritis, menihilkan logika ilmu pengetahuan dan untuk tujuan komplementer menemukan tujuan-tujuan kehidupan, tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari.

Yang menjadi masalah adalah, manakala dominasi agama terhadap ilmu pengetahuan menghentikan daya pikir dan daya nalar yang disyaratkan ilmu pengetahuan.

Faktanya, saat ini ilmu pengetahuan menjadi penopang utama seluruh sendi kehidupan. Sebagai contoh mutakhir, ketika berlangsung pandemi Covid-19, dan hampir seluruh belahan bumi manusia terjangkiti virus mematikan ini, yang menjadi sandaran dan harapan manusia adalah ditemukannya segera vaksin anti virus oleh para ahli ilmu pengetahuan pada bidangnya.

Pada masa yang akan datang, ketergantungan manusia terhadap ilmu pengetahuan akan sangat besar. Sebab, keterbatasan ruang dan sumber-sumber kehidupan di planet bumi ini di satu sisi dan penambahan jumlah manusia penghuninya disisi yang lain, mengandaikan diperlukannya rekayasa-rekayasa tertentu dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Rekayasa terhadap berbagai dimensi kehidupan itu membutuhkan ilmu pengetahuan.

Pada bagian lain, keyakinan dan dimensi spiritualitas manusia, sesungguhnya bagian yang melekat erat dengan kehadiran manusia. Agama yang menjawab kebutuhan spiritual mendapatkan tantangan yang berat, seiring gelombang pengaruh desakan kehidupan manusia.

Telah banyak terjadi di beberapa negara lain, agama yang tidak menjanjikan kecukupan pemenuhan dimensi spritualitas pemeluknya, pada akhirnya banyak ditinggalkan. Dalam sejarah agama-agama besar yang pernah ada di muka bumi, hilangnya sebuah agama, akibat daya magis dari agama itu sendiri tidak menjanjikan penganutnya untuk tetap patuh dan taat.

Agama yang hanya berisi janji-janji dan tidak mampu menghadirkan kekaguman imajinatif manusia akan kekuatan di luar dirinya, dan tidak mampu mengisi dunia pemaknaan sejati, akan segera menjadi masa lalu.

Ilustrasi: Samer Chidiac (Pixabay)

Saintifikasi atau revitalisasi?

Agama itu bukan sains dan tidak ilmiah. Sumber kebenarannya dan pengetahuannya disandarkan pada mitologi, kabar masa lalu atau kitab suci.

Untuk mencapai pada kebenaran agamis, diperlukan satu keyakinan dalam istilah agama sering disebut iman. Karena itu, kebenaran pada agama seringkali (lebih banyak) tidak universal, melainkan khusus pada pemeluknya. Antara satu pemeluk dengan pemeluk keyakinan lain memiliki perbedaan, tergantung pada sandaran yang mereka yakini.

Tantangan terberat agama, ada pada kesanggupannya untuk tetap memberikan daya pukau spiritual, sehingga, penganut akan merasa kehilangan pemaknaan jati dirinya manakala tidak lagi meyakini klaim-klaim kebenaran yang dijanjikan agama.

Manusia dalam hidupnya membutuhkan keterpukauan akan sesuatu di luar dirinya untuk menjadi sandaran batiniyahnya.

Artinya, pada manusia moderen sekalipun kerbutuhan terhadap agama, tetap mutlak adanya.

Hanya saja, manusia yang didampingi ilmu pengetahuan, memerlukan sandaran keyakinan yang mampu menaklukan hatinya sekaligus terjangkau oleh nalar sehatnya. Bukan berarti, harus membawa agama pada metodologi ilmiah, tetapi agama harus mampu menjawab tuntutan spiritual yang terjangkau secara nalar imajinasi yang dibekalkan kepada manusia.

Seringkali imajinasi ini berbeda dengan logika ilmu pengetahuan empiris. Filsafat atau psikologi agama bisa menjelaskan hal seperti ini.

Daya pukau agama sebenarnya terletak pada ruang imajinatif dan relung bathin yang mengandaikan adanya janji kebahagiaan yang kekal di luar kemampuan yang bisa dijangkau manusia.

Semakin kuat imajinasi seseorang akan kehadiran kekuatan di luar kesanggupan manusia, semakin menebal keyakinan seseorang. Selama berabad-abad mulai dari keyakinan tradisional (agama primitif) sampai sekarang, dengan agama (langit) agama bergerak di ruang yang seperti ini.

Artinya, agama dan ilmu pengetahuan yang sudah dari sejak awal terlahir berbeda, sebetulnya menjadi dua hal yang eksis dalam diri manusia.

Keduanya diterima sebagai realitas sui generis dan menopang perjalanan hidup makhluk manusia. Memaksakan keduanya bergabung dengan melakukan saintifikasi agama atau seperti gagasan Ismail Faruqi melakukan islamisasi ilmu pengetahuan, hanya akan merendahkan keduanya.

Tinggal kemudian, bagaimana agama dan ilmu pengetahuan bisa tetap saling menopang dan tidak bertubrukan pada masa yang akan datang, yang dibutuhkan sebenarnya revitalisasi atau bahasa lainnya kontekstualisasi.

Revitalisasi atau kontekstualisasi agama dalam konteks keindonesiaan sudah banyak dibahas oleh cak Nur, namun perkembangan mutakhir seiring dengan tendensi-tendensi politik yang cenderung membawa agama menjadi alat pembodohan umat dengan hegemoni parameter demografi harus segera dilanjutkan dan didesain dalam bentuk baru.

Anang A Yaqin
Peminat masalah sosial dan filsafat tinggal di Jasinga, Bogor

Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article