Minggu, September 8, 2024

Salim Said: A Grand Success

Must read

Ia memendam kepahitan itu bertahun-tahun, dan tak jarang menceritakannya kepada sejumlah kawan. Baginya, alasan penempatan sebagai “sekadar reporter” terhadap dirinya yang sangat senior merupakan bagian dari pelecehan terhadap segala yang berbau akademis di perusahaan media itu.

“Pendiri majalah itu memang kebanyakan tidak lulus sekolah dan cenderung anti dunia akademis,” katanya kepada beberapa kawan. “Maka, bukannya senang dan bangga bahwa ada wartawannya yang sampai mencapai gelar doktor dari universitas besar di Amerika, mereka justeru sengaja merendahkannya. Saya sebagai generasi perintis majalah itu diperlakukan seperti ini….”

Ia menghabiskan waktunya sebagai duta besar RI untuk Republik Ceko dengan lebih banyak membaca dan menulis. Indonesia tak punya banyak hubungan politik dan perdagangan dengan hampir semua negara Eropa Timur. Maka ia punya banyak waktu luang untuk membaca dan menulis, selain sesekali mengadakan acara budaya Indonesia — bidang yang sesuai dengan minat lamanya.

Seiring dengan itu tampak muncul semacam kesadaran baru religius di dalam dirinya. Di buku-bukunya pada periode ini, ia yang sejak lama dikenal sebagai intelektual sekuler, menuliskan nama barunya: Salim Haji Said — seakan diilhami cara orang Malaysia dalam menuliskan nama, dengan “Haji” di tengah.

Dalam suatu obrolan kecil di Institut Peradaban, lembaga yang dibentuknya di Tebet, Jakarta Pusat, “kesadaran religius” itu tersirat. Para peserta obrolan terbagi dalam dua kubu: pro teori evolusi Darwinian dan kubu kreasionisme.

Setelah lama terdiam dan menyimak diskusi yang menghangat, ia mengajukan “jalan tengah”: “Saya percaya pada teori evolusi, tapi saya yakin bahwa yang menggerakkan evolusi itu adalah Tuhan.” Ia tampak tak peduli jika orang heran mendengar “solusi” yang sangat menggampangkan ini.

gray and brown camouflage nutshell helmet on table
PEXELS

Selain meminati kajian tentang gerakan-gerakan revolusioner, ia juga selalu mencermati tentara sebagai aktor politik — bukan sebagai kekuatan militer.

Ia seolah mendapatkan kedua fokusnya itu sekaligus dalam kudeta mutakhir di Mesir, ketika Jenderal Abdul Fatah Al Sisi merebut kekuasaan dari Muhammad Morsi, tokoh Ikhwanul Muslimin, cikal bakal semua gerakan Islam politik abad XX, yang setelah berikhtiar puluhan tahun akhirnya mampu menempatkan kadernya sebagai presiden.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article