Jumat, Maret 29, 2024

Sejumput puisi Ziya Gokalp

Must read

Sabpri Piliang

Oleh Sabpri Piliang

Sejumput puisi penyair Turki, Ziya Gokalp (1876-1924), tiba-tiba membangkitkan kesadaran masyarakat Turki yang selama beberapa abad tenggelam dalam kesekuleran akut. Ketika puisi itu dibacakan kembali oleh seorang Recep Tayyip Erdogan, gaungnya menggema kuat dan memberi daya magis di seantero negeri. ”Kita pernah jaya dengan keislaman kita.” Rakyat Turki terbangkitkan, seperti pada masa Ustmani.

”Masjid adalah barak kami, Kubah adalah penutup kepala kami. Menara adalah bayonet kami. Orang-orang beriman adalah tentara kami. Tentara ini yang menjaga agama kami.” Puisi tersebut telah lama diajarkan di sekolah-sekolah negeri. Namun hanya sekadar puisi usang bersifat simbolik yang tidak memiliki kekuatan apa pun. Masyarakat Turki tetap saja tidak berani memperlihatkan jati diri sesungguhnya, bahwa mereka pernah besar membawa risalah Islam dengan sangat kukuh, hingga Xinjiang (Turkestan Timur) dan Armenia (Kaukasus).

Erdogan yang keukeuh” mengembalikan Islam dalam keseharian Turki, kemudian  tergiring ke bilik penjara lewat Pengadilan Intelejen Negara di Diyarbakir (tahun 1998). Ketidaknyamanan tokoh-tokoh sekuler Turki,  dengan popularitasnya saat  menjadi wali kota Istanbul, mendorong Erdogan ke penjara dengan masa hukuman 10 bulan.

Tekad  Erdogan, memetik pepatah (filosofi) China lama: yi chun guang yin chun jing, chung jin nan main chun guang yun”,  yang berarti ”Sejengkal waktu bernilai sepotong emas. Tapi sepotong emas tidak bisa membeli sejengkal waktu”, dipergunakan Erdogan dengan sungguh-sungguh untuk kembali membangkitkan semangat  Islam di tengah kesekuleran akut bangsa Turki.

Suatu kali ketika istri Erdogan, Emine Erdogan mengenakan jilbab dan kemudian keduanya mengabdi selaku pejabat negara, pihak militer dan oposisi sekuler Turki menjadi sangat marah. Erdogan bergeming, tetap bertekad suatu saat bila nanti menjadi pemimpin tertinggi, akan  mengimitasi kejayaan bangsa Turki seperti abad ke-13.

Pepatah China lama, ”sejengkal waktu” dalam hidupnya, telah mampu mengantarkan kembali Turki ke dalam pusaran dunia yang disegani. Simpati rakyat saat Erdogan menjadi wali kota Istanbul, mendorong dia menggapai ”puncak bukit” kekuasaan, agar bisa melakukan: revolusi mental, revolusi fisik, revolusi politik, revolusi pertahanan, dan revolusi total terhadap keterpinggiran dan peremehan  Turki di kawasan Eropa.

Recep Tayyip Erdogan

Menggapai ”puncak bukit” bagi sebuah negara yang ingin berubah, harus dimulai dari kultur ”leadership”. Erdogan memiliki modal yang ter-”internalist” (mendaging), sebagai negara terlemah di kawasannya dengan mata uang berguguran seperti daun jatuh (tak bernilai). Turki memiliki konsekuensi: dibenci, diusili, dicari kesalahannya, upaya kudeta, dan tak urung berujung ke penjara seperti pernah dialami Erdogan saat menjadi wali kota Istanbul.

Semua bisa dilalui Erdogan. Menarik simpati penduduk Istanbul dengan mengatur kehidupan kota, memperbaiki kerusakan pasar-pasar, memberi bantuan kepada masyarakat miskin, telah berhasil membangkitkan histeria massa: mencintai Erdogan sebagai pemimpin yang bergelar ”Muadzin Istanbul”.

Menurut pakar manajemen Le Iacocca, ”Seorang pemimpin  tak bisa menuntut orang lain melakukan perubahan yang tidak dituntutnya kepada dirinya sendiri”. Erdogan mampu mengubah dirinya menjadi sosok teladan, sehingga rakyat Turki kagum dan malu berbuat menyimpang. Dokter misionaris terkenal, Albert Schweitzer dalam buku ”Go For Gold” yang ditulis John C. Maxwell, menyebutkan, ”Teladan dalam memimpin  adalah bagian yang menciptakan iklim kondusif, bagi pertumbuhan regenerasi pemimpin”.

Turki, yang terus melakukan pembersihan besar-besaran (masif) terhadap semua elemen yang pernah terlibat ”makar” kudeta 15 Juli tahun lalu, memang tidak mau tanggung berbenah. Erdogan tak ingin dihentikan, diganggu dengan dalih apa pun, atau senasib dengan Mohammad Mursi, yang tadinya ingin membangun kembali kejayaan Islam di Mesir.

Sejumput puisi yang dibacakan Erdogan memperlihatkan pada dunia, Turki kini memiliki wajah dengan identitas Islam yang tidak lagi sekuler. Turki, di bawah Erdogan, telah mencerminkan diri sebagai pemimpin baru dunia Islam.

Sabpri Piliang adalah wartawan senior dan dosen tidak tetap Universitas Ibnu Chaldun Jakarta.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article