Sabtu, April 20, 2024

Selamat ulang tahun, Beethoven!

Must read

Siksa Kubur

Hantu di Penghujung Tahun

Kolom Idrus F Shahab

Kali ini kita membicarakan seseorang yang tentu kita kenal. Orang yang telah beratus tahun silam mangkat, namun “hantu”-nya selalu muncul pada tiap-tiap penghujung tahun. Dialah Ludwig van Beethoven, penghulu para komponis dari zaman klasik sampai zaman kontemporer kini.

Dan baiklah kita mulai membicarakannya dengan sebuah fakta bahwa Desember adalah bulan Beethoven. Ia lahir di Bonn, Jerman, pada 17 Desember 1770. Dan tampaknya tidak ada bulan yang lebih tepat untuk memainkan atau memutar berulang-ulang rekaman Symphony no 9 in D Minor selain bulan di penghujung tahun. Simfoni terakhir yang digubah sang komponis ini berkisah tentang harapan segenap umat manusia: kebebasan, perdamaian, persaudaraan, dan persamaan.

Datang saja ke Tokyo di bulan Desember. Kota ini tengah sibuk-sibuknya menyelengarakan satu tradisi istimewa: pergelaran raksasa Symphony no 9 in D Minor, bagian ke empat, dengan menampilkan seribu orang penyanyi. Benar-benar fantastis! Memang karya Beethoven yang dirampungkannya pada 1824 ini memiliki dampak yang luar biasa hingga dewasa ini. Ia hadir manakala pecah peristiwa bersejarah. Musik yang dikenal dengan sebutan Ode to Joy ini dimainkan tidak lama setelah Tembok Berlin runtuh pada 1989. Musik yang kini juga dipakai sebagai lagu kebangsaan Uni Eropa ini kembali naik ke panggung sejarah kontemporer kita sebulan setelah gempa bumi besar menghancurkan Jepang pada 2011.

Gambar oleh CMEPinky dari Pixabay

Banyak cerita di sekitar Symphony no 9 ini. Sebenarnya musik seperti apa yang kita jumpai di dalam simfoni ini?

Bagian ke empat –dari bagian ke empat simfoni ini– dibuka dengan suasana mendung, suasana mencekam yang dibangun oleh barisan pemain alat-alat gesek berat: bas, kontrabas, dan cello. Mungkin alat gesek tersebut dianggap sanggup mewakili perasaan-perasaan kelam dengan tepat. Symphony no 9 in D Minor sama sekali tidak terdengar seperti Moonlight Sonata, karyanya yang lirih dan melankolis. Musik yang satu ini mengandung bagian-bagian dramatis.

Mungkin kita dapat bayangkan, melalui suasana ini Ludwig van Beethoven seolah-olah menyodorkan gambaran seorang ibu yang –dengan segala peluh, pedih dan nyeri– sedang berjuang keras dalam sebuah pesalinan panjang.

Sesekali ditingkahi timpani dan terompet, alat-alat gesek ini bermain dalam nada-nada berat, rendah dan minor. Tidak salah lagi, tampaknya sang komponis sedang melapangkan jalan untuk menyambut kelahiran sebuah melodi yang luar biasa. Dan saat itu muncul manakala klarinet dan flute, ditambah lagi simbal mulai membawakan musik yang berbeda: melodi yang riang, dalam nada-nada mayor yang lincah.

Hari yang mendung telah berganti cerah. Sang bayi telah lahir, bayi kebebasan, persamaaan dan persaudaraan umat manusia di mana semua instrumen bangkit memainkan nada-nada meriah tersebut. Pada puncaknya kelompok paduan suara bergabung menyanyikan Ode to Joy, terjemahan An die Freude, puisi karya penyair Jerman abad 18 Friedrich Schiller dalam melodi yang riang itu. Puisi yang berbicara tentang pembebasan segenap manusia.

Simfoni yang total jenderal panjangnya sekitar 70 menit ini digelar pertama kali di Wina pada 7 Mei 1824 di bawah komando konduktor Beethoven sendiri. Sebenarnya sih bukan Beethoven yang memegang tongkat konduktor – badannya sudah terlalu rapuh dan pendengarannya terlalu buruk untuk itu.

Ya, Beethoven saat itu, pada usia 54 tahun itu adalah seorang lelaki yang menderita komplikasi bermacam-macam penyakit, dari gangguan ginjal sampai gangguan pendengaran. Ketika gangguan ini mencapai puncaknya, Beethoven menggunakan corong dari logam, sekadar merasakan naik-turun getaran dari musik yang mustahil didengarnya itu. Dalam sebuah konser, seorang konduktor telah berbaik hati menyediakan tempat di atas panggung untuk komponis tuli ini. Tanpa sepengetahuan Beethoven, seraya menyuruh segenap angggota orkes menghormati sang komponis, tapi tidak menghiraukan aba-aba dari gerak tangannya.

Ia sudah menyaksikan beberapa waktu lalu betapa tongkat konduktor di tangan komponis yang kehilangan pendengarannya itu justru mengacaukan permainan sebuah orkes simfoni. Sekarang dia mengambil alih.

Photo by Marius Masalar on Unsplash

Tujuh puluh menit berselang, penonton menyambut bagian finale simfoni yang gegap-gempita ini dengan tepuk tangan membahana dan beberapa kali standing ovation, namun Beethoven tetap terpaku dalam posisi semula. Dengan pandangan kosong, membelakangi penonton, seakan-akan tidak terjadi apa-apa di ruang pertunjukan yang megah itu. Sampai akhirnya seorang penyanyi perempuan perlahan menuntunnya membalikkan badan, dan membuatnya menyaksikan reaksi penonton yang demikian luar biasa.

Perjalanan hidup Beethoven terdiri dari rangkaian fragmen yang ironis dan tragis. Apabila kita bisa membayangkan kehidupan dan kreativitas seorang pelukis buta, mungkin tak terlalu susah mengangankan seorang komponis tuli. Kenyataan ini tentu terasa pahit sekali. Di antara sang seniman dan karyanya terbentang jarak yang demikian lebar. Keduanya nyaris tak bersentuhan. Inilah sebuah keterasingan yang dulu pernah membuat Beethoven menggigil membayangkan seandainya kenyataan ini benar-benar menimpa dirinya.

Dalam suratnya kepada dua saudaranya Carl dan Johann pada 1802, Beethoven mengeluhkan garis nasib yang harus dilaluinya. Ia meratap: kalau bukan untuk musik, apa lagi yang pantas dipertahankan dari hidup ini. “Betapa tersingkirkan rasanya ketika seseorang yang berada di sisiku mendengar bunyi seruling dari kejauhan, sedangkan aku tak mendengar apa-apa…. sudah terlalu lama aku jadi orang asing terhadap kenikmatan (musik) ini,” katanya.

Pixabay

Dari berbagai biografi tentang komponis ini kita mungkin dapat menyimpulkan bahwa Beethoven adalah orang yang terisolasi – baik dikarenakan oleh raibnya pendengaran, masa kanak-kanak yang samasekali tidak menyenangkan, maupun oleh kejeniusannya.

Sama seperti seniornya Wolfgang Amadeus Mozart, Beethoven mempunyai seorang ayah yang teramat sadar akan talenta sang anak, namun senang memaksakan kehendaknya. Maka, tak berdayalah makhluk kecil yang sebenarnya masih terlampau dini untuk menghadapi berbagai tekanan itu.

Mungkin yang membedakan Beethoven dan Mozart dalam hal ini hanya satu. Jika ayahanda Mozart memberlakukan disiplin latihan yang keras demi memperoleh keuntungan materi dan popularitas, Johann van Beethoven semata-mata melakukannya untuk kesenangan pribadi.

Di suatu malam yang pekat, pernah sang ayah membangunkan putranya dari tidur nyenyaknya sekadar memaksanya untuk berlatih piano. Bersama beberapa orang kawan yang setia menemaninya di rumah minum, Johann van Beethoven pulang dalam keadaan mabuk berat, dan malam itu ia mempunyai keinginan yang tidak boleh ditampik oleh siapa pun. Ia ingin menunjukan kemampuan jenius kecilnya kepada kawan-kawan minumnya. O ya, Johann adalah seorang penyanyi di salah satu istana bangsawan di Wina, dan ia mulai menjadi peminum berat setelah menyadari bahwa karir musiknya mandek sampai di situ.

Beethoven tidak mungkin menghapus begitu saja pengalaman-pengalaman buruk ini dari batok kepalanya. Namun bukan sisa-sisa pengalaman itu yang kemudian mendominasi hidupnya sebagai seorang komponis. Suka atau tidak, kita harus mengakui bahwa Beethoven adalah anak zamannya. Ia hidup ketika kejadian-kejadian besar dengan dampak yang luar biasa membakar Eropa, dan ia menyambut perkembangan ini layaknya seorang revolusioner.

Tokoh yang lahir tatkala kaum bangsawan menguasai daratan Eropa dan wafat ketika supremasi mereka mulai masuk jurang ini jatuh bangun menghadapi dunia yang berubah dahsyat. Symphony no 3 in E Flat Mayor (opus 55) –lebih dikenal dengan julukan Symphony Eroica (artinya heroik)– misalnya adalah buah hormat takzim seorang Ludwig van Beethoven kepada sosok yang diyakininya sebagai Ratu Adil. Ia Napoleon Bonaparte, si kecil pembawa kebebasan, jagoan rakyat jelata, idola mereka yang berjiwa revolusioner. Penulis biografi Maynard Solomon melukiskan Ludwig van Beethoven sebagai pengagum Revolusi Prancis, dan di matanya Napoleon tak lain dari personifikasi revolusi itu sendiri.

Bisa dipahami bila Beethoven yang terpesona ini membubuhkan kata-kata Institulata Bonaparte atau ‘Ditujukan kepada Bonaparte’ di bawah Symphony no 3 ini. Namun kekaguman yang tulus ini sekonyong-konyong berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan, ketika seorang teman dekat mengabarkan bahwa Napoleon telah mengangkat dirinya sebagai kaisar. Partitur hampir diterbitkan, dan kini dengan wajah merah padam dan tergesa-gesa, Beethoven menghapus kata institulata alias ‘ditujukan’ dari karyanya yang menggelora itu.

“Jadi dia juga tidak lebih dari manusia kebanyakan. Sekarang dia akan menginjak-injak hak asasi manusia dan mengumbar ambisinya. Dia akan menempatkan dirinya di atas semua dan menjadi seorang tiran!” katanya kepada seorang kawan. Getir sekali.

Beethoven kecewa berat, tapi ia tak pernah lelah mengeksplorasi pemikiran-pemikiran humanis yang meletakkan manusia pada tempat terhormat.

Gambar oleh Ri Butov dari Pixabay 

“… Namun kereta kuda yang membawa peti jenazah sang komponis, tampak seperti jalan di tempat di antara lautan massa.”

Berita kematian Ludwig van Beethoven sebenarnya sudah beredar sejak hari ia menutup mata di Wina pada 26 Maret 1827. Namun masyarakat yang dirudung duka itu baru berbondong-bondong memenuhi pekarangan rumah duka –tempat ini dikenal dengan nama Schwarzspanierhaus, rumah orang Spanyol yang berjubah hitam. Mereka juga berkerumun dan jalan-jalan yang akan dilalui jenazah, tiga hari kemudian.

Pada 29 Maret 1827 itu, sekolah-sekolah diliburkan, sejumlah serdadu sengaja didatangkan dari barak-barak tempat mereka tinggal– sekadar memastikan bahwa kerumunan massa yang muram dan jumlahnya ditaksir mencapai 30 ribu itu tidak melakukan hal-hal anarkis. Pukul 16.30 sore, iring-iringan yang mengantar peti jenazah ke pemakaman mulai bergerak. Namun kereta kuda yang membawa peti jenazah sang komponis, tampak seperti jalan di tempat di antara lautan massa. Paling tidak, demikianlah yang dilukiskan media setempat tatkala memberitakan pemakaman Ludwig van Beethoven.

“Tak ada pemakaman kaisar seperti Beethoven ini,” kata Graf Zmeskall, seorang sahabat karib Beethoven. Pemakaman ini semacam penghormatan terakhir para pencinta seni dan kemerdekaan di Wina kepada seniman besar ini. Ada beberapa tokoh bangsawan muncul dalam upacara, namun mereka tak mewakili pemerintah. Hubungan Beethoven dengan kaum bangsawan dan pemerintahan memang tak harmonis. “Pemerintah tidak diundang,” tukas Zmeskall, dingin.

Komponis yang kasar, menyebalkan, tidak peka, eksentrik dan selalu menutup diri dari dunia luar itu telah pergi, tapi ribuan penduduk kota Wina kini meratapi kepergiannya. “Dia mengundurkan diri dari dunia ramai, setelah mempersembahkan segenap kemampuan artistiknya, perasaaan terdalamnya, hati dan darahnya,” ungkap sang sahabat.

Hampir dua ratus tahun setelah kematiannya, Ludwig van Beethoven masih memberikan yang terbaik kepada para pencinta musik kini. Beethoven mewariskan Sonata in C sharp Minor, op. 27, nr. 2 alias “The Moonlight Sonata,”; Sonata in F Minor, op. 57 atau “Appassionata”; Sonata in C Minor, op. 13, “Pathetique”; “Für Elise” Bagatelle No. 25 in A Minor; Simfoni No. 3 “Eroica”; in E flat major (Op. 55); Symphony No. 5 in C Minor; Symphony No. 9 in D Minor; Opera ‘Fidelio’; Missa Solemnis D Major, dan masih banyak lagi yang tak disebutkan di sini.

Gambar oleh Pexels dari Pixabay 

Bagian ke empat Symphony no 9 in D Minor kembali terdengar di penghujung tahun. Seakan-akan hendak memproklamasikan mimpi umat manusia yang tak kunjung mewujud, tapi juga tak kunjung redup: sang bayi kebebasan telah lahir. Ya, revolusi, reformasi, dan perubahan besar lainnya umumnya berangkat dari rasa perih dan pengorbanan. Lahir dari penolakan terhadap suatu keadaan, ia kemudian berakhir dengan labelisasi yang—acap kali—sewenang-wenang: sejumlah orang menjadi korban, sebagian menjadi pahlawan, dan sebagian lagi pengkhianat. Korban jatuh, lalu terjadilah suatu power struggle, yang pada akhirnya menetapkan seseorang sebagai pahlawan atau pengkhianat.

Revolusi tentu saja berbeda dengan pemilihan umum, yang berangkat dari suatu kampanye di tanah lapang, dengan orkes dangdut yang menghibur dan mengantar sang calon pejabat berbicara di podium. Masyarakat menyambut revolusi dan memberikan dirinya demi kebebasan, persaudaraan, dan persamaan.

Sebaliknya pemilihan umum. Memahami posisinya yang inferior, para juru kampanye justru mendatangi dan meminta dukungan massa pemilih. Tidak ada pahlawan dan pengkhianat dalam hal ini, melainkan sebuah tawar-menawar atau transaksi: masyarakat akan memilih calon yang menghibur dan menguntungkan.

Mungkin karena hal yang superfisial itulah, bagian keempat Symphony No 9 in D Minor terdengar lebih menggetarkan kali ini.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article