Kamis, Maret 28, 2024

Sentimen pasar vaksin Covid-19

Must read

Oleh Eddy Herwanto

Pandemi Covid-19 jadi berkah buat pemegang saham BUMN farmasi Kimia Farma (ticker: KAEF), Phapros (PEHA), dan Indofarma (INAF). Berita PT Biofarma, induk ketiga BUMN itu, akan memproduki ratusan juta ampul vaksin Covid-19 pada kuartal pertama 2021, setelah menyelesaikan uji klinik fase 3, langsung menerbangkan saham ketiganya.

Euforia para investor (termasuk trader spekulan) selama empat hari (21-24 Juli 2020) perdagangan telah menyebabkan saham ketiganya mentok di atap langit hingga sistem otomatis melakukan auto rejection.

Artinya, saham ketiganya tidak boleh lagi sampai langit ke tujuh (melampaui 25% kenaikannya dalam satu hari perdagangan) karena harganya berada pada rentang Rp200 – 5.000 per lembar. Selama empat hari perdagangan itu, saham KAEF dan INAF, naik hampir 100% — juga saham PEHA, anak perusahaan KAEF, ikut terseret naik.

Kenaikan luar biasa karena dipicu rencana produksi vaksin Covid-19 oleh Biofarma (BIOF), induk bagi KAEF dan INAF itu dicatat otoritas Bursa Efek Indonesia sebagai Unusual Market Activity (UMA). Karenanya Bursa kemudian melayangkan pertanyaan kepada kedua emiten itu.

Eh, pada Senin 27 Juli 2020, saham ketiga BUMN farmasi itu, kompak turun mentok sampai auto rejection bawah 7%. Investor dan trader yang sudah merasa sudah cukup memperoleh capital gain rupanya mulai ramai ramai melakukan aksi ambil untung (profit taking).

Sebagian dari mereka mungkin sadar perjalanan untuk memproduksi vaksin hasil kerjasama BIOF dengan Sinovac Biotechnology (Cina) masih panjang. Uji klinik fase 3 kepada ribuan sukarelawan baru akan dimulai bulan depan. Protokol untuk uji klinik juga masih disusun.

PEXELS

Sementara itu, Kalbe Farma (ticker:KLBF) juga berusaha mengembangkan vaksin Covid-19 bekerjasama dengan Genexine (Korea Selatan), dan baru September atau Oktober 2020 uji klinik fase 2 di Indonesia. Perjalanan vaksin kerjasama Kalbe masih jauh lebih panjang, karenanya harga sahamnya, naik secara moderat. Apalagi komunikasinya ke publik tidak seriuh rencana uji klinik calon vaksin buatan Bio Farma

Jika uji klinik fase 3 lancar, maka produksi vaksin Covid-19 akan dilakukan di instalasi produksi Bio Farma yang sudah dikenal dunia dan diakui WHO sebagai produsen vaksin unggul. Vaksin Polio, misalnya, diekspor ke Turki dan Pakistan; vaksin DTP, difteri, tetatnus, dan pertusis ke Honduras. Ragam produksi vaksinnya sangat luas. Jika vaksin Covid-19 sudah mulai produksi maka penjualan dan laba Bio Farma pasti akan melonjak.

Distribusi vaksin Covid-19 yang kelak dihasilkan niscaya akan dilakukan perusahaan distribusi milik KAEF dan INAF. Di kedua perusahaan BUMN farmasi ini, sejak 15 Oktober 2019, Bio Farma memiliki saham yang berasal dari pengaliham saham seri B (4.999.999.999 lembar) milik Negara RI di Kimia Farma, dan saham seri B (2.499.999.999 saham) milik Negara RI di Indofarma.

Penambahan penyertaan modal negara dengan saham seri B (nontunai) itu dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah No.76 Tahun 2019.

Dengan demikian, sejak peraturan pemerintah ditandatangi Presiden Joko Widodo, Bio Farma resmi menjadi induk bagi BUMN farmasi Indo Farma dan Kimia Farma (termasuk Phapros yang diakuisisi Kimia Farma tahun lalu. Sebelumnya Phapros mengakuisisi Lucas Jaya dan Marin Liza Farmasi.

Jadi Bio Farma punya dua buyut industri farmasi di Bandung). Secara fundamental, kinerja anak dan cucu perusahaan (Phapros) milik Bio Farma tidak menonjol – maklum penjualan mereka (terutama INAF dan PEHA) didominasi obat generik yang marjinnya kecil, karena harganya dikendalikan pemerintah.

Meskipun arus kas dan penjualan membaik (hingga labanya naik) pada triwulan pertama 2020, di masa depan arus kas KAEF akan menghadapi tekanan karena harus mulai mencicil utang Rp2,2 triliun lebih tahun 2019 yang, antara lain, dipakai untuk membeli saham Rajawali Nusantara Indonesia di Phapros. Triwulan pertama 2020, KAEF membayar pinjaman Rp952 miliar, dan mengambil pinjaman baru Rp602 miliar.

Yang memprihatinkan kinerja INAF, arus kas masuk dari aktivitas operasi hanya naik sedikit menjadi Rp150 miliar, tapi pada kuartal pertama 2020 harus mengeluarkan untuk bayar utang hampir Rp33 miliar. Modal kerja antara lain dipenuhi dari pinjaman Rp76 miliar (tahun lalu), dan Rp27 miliar (triwulan pertama 2020).

Usaha memenuhi modal kerja ini perlu dilakukan karena kas internalnya merosot, dan persediannya melambung dari Rp147 miliar (Desember 2019) jadi Rp166 miliar (triwulan pertama 2020). Triwulan pertama 2020, INAF rugi Rp21 miliar, tapi anehnya sahamnya sempat melambung dari Rp1.220 (21 Juli) ke Rp2.700 (tertinggi 24 Juli 2020).

Phapros malah menghadapi tekanan arus kas lebih berat. Triwulan pertama 2019, PEHA utang Rp225 miliar untuk modal kerja, (dan rupanya) untuk membayar utang sebelumnya hingga PEHA harus mengeluarkan Rp369 miliar pada triwulan pertama 2020.

Pada saat yang sama perusahaan mengambil utang baru jangka pendek Rp361 miliar. Hasil penjualannya digerogoti beban pokok sehingga akibatnya pada triwulan pertama Phapros rugi Rp13 miliar atau Rp16 per lembar saham. Indikasi tahun 2020, para pemegang sahamnya nggak bakal dapat dividen.

Dengan demikian, secara fundamental, hanya Kimia Farma yang memiliki kinerja lumayan. Tapi euforia rencana produksi vaksin Covid-19 oleh Bio Farma telah membuat sebagian investor gelap mata oleh sentimen pasar. Daripada berharap memetik dividen mengapa tidak melakukan aksi ambil untung mumpung soal pandemi Covid-19 masih jadi trending topic..

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article