Jumat, Maret 29, 2024

Sungai dan solidaritas

Must read

Presiden kebal hukum?

Kolom Farid Gaban

Wonosobo, tempat saya tinggal, lumayan unik. Kabupaten ini memiliki ketinggian yang secara ekstrim sangat beragam: dari terendah 200 m hingga di atas awan 2.300 m.

Wonosobo terletak di lereng pegunungan Dieng, Sindoro dan Sumbing. Beberapa sungai penting di Jawa Tengah berawal dari sini: Serayu, Bogowonto, Tulis dan sebagian Progo.

Sungai-sungai itu menghidupi jutaan manusia di wilayah Banyumas dan Kedu Selatan, sebelum bermuara ke Samudra Hindia.

Saya masih ingat ketika SMP membaca buku kecil: “Kisah Setetes Air”.

Penulisnya saya lupa, tapi intinya ini cerita imajinasi tentang perjalanan setetes air menyusuri Sungai Serayu; dari hulu di Dieng hingga muaranya di Kabupaten Cilacap.

Dituturkan dalam bentuk dongeng, itu sebenarnya buku pelajaran tentang lingkungan (ekologi), tentang hidrologi, tentang sungai.

Wonosobo (Photo: Gholib Gholib dari Pixabay)

Tentang bagaimana setetes air jatuh dari rimbun daun di hutan pegunungan. Tidak sendirian, dia bergabung bersama ratusan, ribuan dan jutaan tetes lain, membentuk sungai kecil, sungai sedang dan akhirnya sungai besar.

Serayu berasal dari kata “Siro Ayu” (Kamu Cantik). Sungai ini memang nampak indah dalam setiap kelokannya, terutama di daerah hulu.

Tak hanya indah. Bagi yang senang ilmu alam, sungai juga penuh dengan keajaiban.

Kita mungkin bertanya, kenapa air sungai pegunungan jernih, bersih dan bahkan (setidaknya di masa lalu) bisa langsung diminum?

Aliran sungai di sela-sela batu membentuk vortex atau pusaran air. Vortex menyedot oksigen dari udara bebas ke dalam air; dan oksigen membunuh bakteri-bakteri an-aerob.

Dan itu hanya salah satu saja keajaiban sungai.

Sungai itu “hidup”. Dia pada gilirannya menghidupi orang-orang tanpa peduli batas administratif dan aliran politik.

Daerah Aliran Sungai (DAS) tidak mengenal batas administratif yang superfisial bikinan manusia.

Serayu menyatukan hidup orang di hulu seperti Wonosobo, Banjarnegara dan Banyumas di tengah dan orang Cilacap di muara.

Menyatukan hidup dalam suka maupun duka, dalam tenang maupun marah.

Ketika “marah”, Serayu menghukum manusia tanpa pandang batas administratif/politik pula: sedimentasi dan longsor di kawasan hulu, banjir di wilayah hilir.

Alih-alih memecah belah, sungai semestinya menjadi simbol solidaritas manusia di mana pun mereka berada: baik di pegunungan maupun di pesisir.

Solidaritas? Yang di hulu sadar bahwa praktek merusak alam akan membahayakan manusia pesisir.

Sebaliknya, orang pesisir menghormati jerih payah dan membantu orang hulu melestarikan alam dan sumber air.

Solidaritas seperti itu makin diperlukan sekarang ketika sungai seperti Serayu makin luntur kecantikannya: keruh oleh sedimentasi lumpur dan pupuk kimia pertanian di kawasan hulu; banjir di kawasan hilir (dan kekeringan di musim kemarau).

Untuk mengingat hal itu, setiap tahun kami membuat Festival Serayu bertepatan dengan “Hari Sungai Nasional” sekitar Juli.

Kami berharap itu tak sekadar pesta dan seremoni. Tapi, menginspirasi tindakan yang lebih nyata untuk menyelamatkan Serayu dari kehancuran ekologis.

Kami juga berharap sungai-sungai lain di Indonesia akan mengilhami solidaritas di tengah sekat-sekat politik yang makin memuakkan.

Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article