Rabu, April 24, 2024

Surat terbuka untuk Presiden Jokowi (4)

Must read

Oleh Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi

Bapak Presiden Jokowi yang terhormat,

Sesungguhnya masih banyak lagi “tool” demokrasi yang dibentuk pada era reformasi berupa lembaga negara yang embanannya baru sebatas gagasan yang validitas keilmuannya belum teruji baik secara teori maupun praktek. Dan belum lagi sejumlah lembaga negara peninggalan masa lalu yang juga menjadi “krisis faedah” dan bahkan “idle” akibat embanannya tidak lagi sesuai dengan kebutuhan jaman kekinian. 

Namun demikian, ijinkan saya membatasi penjelasan masalah kendala realitas yang bersumber dari model tata kelola kekuasaan negara dengan fokus di bidang keamanan, hukum dan ekonomi.      

Konsep keamanan tanpa jaminan HAM

Berangkat dari konsep pengelolaan “national security” ala Orde Baru yang dikenal dengan istilah “pertahanan dan keamanan” (HANKAM), oleh pelaku 4 kali amandemen UUD kemudian begitu saja dibagi menjadi dua yaitu fungsi pertahanan dan fungsi keamanan secara terpisah satu dengan lainnya. 

TNI menangani bidang pertahanan untuk menghadapi ancaman angkatan bersenjata negara, sementara itu Polri bertugas di bidang keamanan termasuk tugas-tugas untuk menghadapi “insurjensi” dalam bentuk kelompok rakyat bersenjata sekalipun.

Artinya, Polri diberi embanan untuk membunuh musuh yang secara universal menjadi wilayah tugas tentara. Berangkat dari embanan tersebut, maka Polri kemudian dilengkapi dengan senjata tempur standar militer yaitu senjata yang digunakan untuk membunuh musuh, bukan senjata untuk melumpuhan penjahat sebagaimana standar polisi secara universal. 

Akhirnya muncul konsep operasi pengerahan alat kekerasan negara dengan “mesin perang” yang lucu-lucuan, di mana TNI diperbantukan kepada Polri dalam mengatasi kelompok rakyat bersenjata. Dan dari sana pula, maka pada dasa warsa yang lalu rakyat disuguhi tayangan TV di mana Polri dalam mengatasi teroris dalam bentuk kelompok kecil, dilakukan dengan serbuan ratusan atau bahkan ribuan peluru tajam layaknya perang konvensional. 

Penyusun amandemen UUD seolah tidak tahu bahwa yang dimaksud keamanan yang menjadi tugas Polri sewaktu Orde Baru adalah Kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat), sama sekali bukan keamanan dalam arti luas yaitu keamanan nasional yang secara universal adalah tugas negara.

Konsep tersebut jelas mengandung risiko pelanggaran HAM dan juga potensi jatuhnya korban akibat sebuah operasi militer dilakukan oleh polisi, bukan oleh pihak yang mempunyai mempunyai kompetensi dalam hal ini TNI.

Lantas rumus dari mana Polri bisa menjunjung tinggi keberadaban (supremasi sipil) kalau secara yuridis formal dengan sah berada di wilayah supremasi militer, di mana perintah adalah hukum tertinggi. 

Dan sesungguhnya konsep pengelolaan keamanan termasuk kedudukan Polri yang kini tergelar adalah penyimpangan serius dari konsep reformasi internal ABRI 1998 yang digagas oleh Pangab yang saat itu dijabat oleh Jenderal TNI Wiranto, di mana keamanan adalah tanggung jawab negara, bukan tanggung jawab lembaga TNI  dan apalagi Polri semata.

Untuk itu keamanan diposisikan sebagai output dari sistem sipil, dan karenanya kalau timbul masalah keamanan terlebih dahulu harus ditangani dengan cara-cara sipil (beradab) dan oleh apartur sipil salah satunya adalah Polri. 

Namun ketika cara-cara sipil dan oleh apartur sipil telah gagal atau dipastikan akan gagal dan atau secara terukur bakal jatuh korban biar satu orang sekalipun, maka saat itu pula berubah menjadi tugas TNI dan ditangani dengan cara-cara militer (supremasi militer).

Sementara itu Polri dirancang sebagai bagian dari “law and justice system” dengan kedudukan untuk masa transisi di bawah Departemen Pertahanan dan pada saatnya pindah di bawah Depdagri atau langsung di bawah Depkumham (sekarang Kemenkum & HAM).    

Akumulasi embanan Polri sebagai sumber kerusakan hukum 

Sesugguhnya awal kerusakan kehidupan hukum di negeri kita berawal sejak Orde Baru menggabung Polri dengan TNI dalam wadah ABRI. Dalam kedudukannya sebagai penyidik, Polri sebagai bagian dari ABRI yang berdwifugsi otomatis juga mengemban  tugas di bidang politik.  

Dengan sedikit modifikasi, kini kedudukan Polri langsung di bawah presiden selaku kepala pemerintahan, artinya Polri juga mengemban tugas di bidang politik dan juga sah sebagai alat kekuasaan, di samping tugasnya juga sebagai “Angkatan Bersenjata”.

Dan apalagi kini anggota Polri khususnya elitenya juga bisa menduduki jabatan di luar struktur Polri, tanpa harus keluar dari dinas aktif terlebih dahulu sebagaimana yang diberlakukan kepada anggota TNI. 

Pexels

Dengan akumulasi tugas, kewenangan dan “previladge” yang ada di tangan Polri, maka mustahil jaksa sebagai pengawas penyidikan tidak di bawah bayang-bayang Polri. Tegasnya bagaimana mungkin kejaksaan dalam proses penyidikan bisa mengintervensi penyidik Polri tak terkecuali bila dalam proses penyidikan terjadi pelanggaran HAM sekalipun.

Artinya mustahil pengawasan penyidikan oleh jaksa terhadap penyidik Polri bakal bisa efektif. Bukankah terjadi di lapangan, justru jaksalah yang “didikte” oleh penyidik Polri. 

Di sanalah maka praktek mafia hukum di era reformasi menjadi subur, dan belakangan ini malah menjadi-jadi, karena sistem hukum yang kita gelar tidak dilandasi oleh etika (moral) di mana pasal-pasal yang disangkakan lepas dari kaitan mengapa tersangka/terdakwa melakukan perbuatan tersebut.  

Memang betul, di mana negara manapun profesi hakim pada hakikatnya mewakili Tuhan Yang Maha Esa untuk menegakan keadilan. Mereka secara bebas dan mandiri untuk memutuskan perkara yang diadilinya.

Di sanalah maka secara universal profesi hakim dalam negara yang berkeadilan di manapun diawaki oleh mereka yang “honors” yaitu tokoh yang sudah selesai dengan dirinya dan teruji integritasnya. 

Maka yang mendasar bagi bangsa ini ke depan adalah bagaimana bisa merumuskan sistem hukum yang bisa menjamin agar kebebasan dan kemandirian Hakim termaksud tidak disalahgunakan hanya karena kepentingan sesaat, sebagaimana yang diterapkan di banyak negara. 

Untuk itu semua kedepan dibutuhkan kesadaran semua pihak utamanya para pemangku kekuasaaan yang membidangi hukum untuk melepas ego sentral kelembagaan masing-masing sebagai kontribusi mulia dalam merumuskan sistem hukum yang menjunjung tinggi HAM dan demokrasi dalam rangka mewujudkan supremasi sipil seutuhnya.

BUMN sebagai sapi perahan

Akibat tidak ada kejelasan model ekonomi baku yang dimanatkan dalam batang tubuh UUD 1945, maka pasca jatuhnya Bung Karno terjadi proses perubahan tata kelola ekonomi dengan mencampur begitu saja antara konsep ekonomi kapitalis yang bercirikan konglomerasi swasta dengan konsep ekonomi komunis yang bercirikan konglomerasi negara. 

Dalam prakteknya, kekayaan alam yang melimpah ruah atas nama “dikuasai negara” kemudian dibagi-bagi sedikit ke BUMN dan porsi yang besar dibagikan ke kroni penguasa.

Dan hampir semua cabang produksi diurus oleh negara melalui keberadaan ratusan BUMN dengan anak dan cucu perusahaannya. Tapi rakyatnya harus mencari nafkah sendiri dengan berebut mengkais rezeki dari sisa-sisa berkah yang belum dikuasai konglomerat kroni penguasa.  

Lantas rumus darimana kalau tidak muncul kesenjangan sosial yang begitu menganga, dan jaminan dari mana bahwa negara akan hadir saat rakyat kecil berhadapan dengan pemegang kapital.

Dari konsep ekonomi itu pula berpuluh tahun kita melihat pemandangan yang memilukan dimana perusahaan swasta yang modal harus disiapkan sendiri dan kalau rugi juga ditanggung sendiri, tapi di lapangan harus bersaing dengan BUMN dimana modal dari negara dan kalau rugi ditanggung negara. 

Seperti dalam tender proyek pemerintah umpamanya, pihak swasta bersaing melawan BUMN, sudah barang tentu pihak swasta pasti kalah. Namun ironinya di lapangan yang mengerjakan proyek termaksud justru pihak swasta yang kalah dalam tender termaksud, yaitu dengan menjadi sub kontraktor. Lantas akal sehat dari mana kalau BUMN bukan sebagai “sapi perahan” politisi terlebih yang sedang berkuasa.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article