Jumat, April 19, 2024

Tentang Qassem Soleimani

Must read

Siksa Kubur

Oleh Dina Y. Sulaeman*

Gugurnya Komandan Quds Force Iran, Jenderal Qassem Soleimani, akibat serangan roket Kayusha yang ditembakkan militer AS secara sengaja atas perintah Trump telah mendapat pemberitaan luas. Saya membaca cukup banyak di antaranya, baik media Barat maupun nasional. Seperti biasa, umumnya media nasional melakukan copas-terjemah-edit sumber-sumber Barat, dan frasa yang sering diulang adalah bahwa Jend. Soleimani “berperan dalam meluaskan pengaruh Iran di Timteng”. Sungguh frasa khas Washington.

Ada beberapa yang menulis bahwa Jend Soleimani ‘berperan’ dalam melawan ISIS; lebih banyak lagi yang menyebut ‘berperan’ dalam ‘perang saudara’ di Suriah. Di media sosial, termasuk grup-grup WA, yang disebarkan lebih sadis: Jend Soleimani berperan dalam “membunuh kaum Sunni di Irak dan Suriah”. Padahal kita tahu, di Suriah bukanlah ‘perang saudara’ melainkan perang sebuah bangsa melawan ISIS dan ratusan milisi lainnya yang berafiliasi dengan Al Qaida. Pasukan milisi teror tersebut jelas bukan Sunni, tapi Wahabi. Dalam Muktamar Ulama Aswaja di Chechnya tahun 2016, Wahabi dinyatakan bukan bagian dari Ahlussunnah karena Ahlussunnah sama sekali tidak berpaham takfiri, apalagi membunuh sesama Muslim dengan tuduhan ‘kafir’ sebagaimana yang diajarkan ideolog Wahabi.

Apa yang Sebenarnya Dilakukan Sang Jenderal?

Menlu Iran, Javad Zarif, segera setelah kabar kematian Jenderal Soleimani tersebar, menulis di Twitter-nya sebuah kalimat yang paling tepat menjelaskan situasi yang sebenarnya: AS telah melakukan aksi terorisme internasional, menargetkan dan membunuh Jendera Soleimani, kekuatan paling efektif dalam memerangi ISIS, Al Nusrah, Al Qaeda, dll.

Kekalahan ISIS dan ratusan milisi Al Qaida (dalam berbagai nama, mulai dari Al Nusra, Jaish al Islam, hingga FSA yang diistilahkan oleh media Barat sebagai ‘pemberontak moderat’) di Irak dan Suriah adalah berkat strategi dan komando Soleimani. Yang dilakukannya selama beberapa tahun terakhir adalah membangun jaringan milisi antiteroris takfiri/Wahabi yang bekerja sama dengan pemerintah resmi, baik di Irak maupun Suriah. Dengan kata lain, kehadiran Soleimani di Irak dan Suriah adalah atas izin pemerintah resmi.

Tentara nasional Irak dan Suriah tidak mampu melawan ISIS (dan milisi afiliasi Al Qaida) sendirian. Ini seharusnya memunculkan pertanyaan kritis: mengapa? Bagaimana mungkin milisi teror bisa sekuat itu? Bisa memiliki senjata-senjata tercanggih hingga lebih kuat dari tentara nasional? Siapa yang mendanai? Siapa yang menyuplai senjata? Siapa yang memberikan dukungan diplomatik dan propaganda media? Jawabannya justru sangat berkorelasi dengan kejadian terbaru ini: siapa yang membunuh Soleimani, tokoh sangat penting dalam perjuangan melawan semua milisi teroris itu? Amerika Serikat.

Soleimani berperan penting dalam merebut kembali kota Qusayr (2014) yang diduduki FSA dan berbagai milisi Al Qaida lainnya. Di sana, ia menjalin kerjasama dengan Hezbollah. Operasi merebut Qusayr merupakan pertama kalinya Hezbollah terlibat dalam perang Suriah, karena Qusayr berbatasan dengan Lebanon. Setelah Qusayr jatuh, kemungkinan besar target para teroris takfiri berikutnya adalah Hezbollah Lebanon. Pemerintah dan media Barat sering menyebut Hezbollah sebagai kelompok teroris meskipun yang dilakukan milisi yang direstui dan diterima oleh pemerintah dan rakyat Lebanon ini adalah mengusir Israel yang pernah menduduki sebagian tanah Lebanon. Setelah diusir tahun 2000, Israel terus melakukan provokasi serangan ke Lebanon. Mengapa? Karena Lebanon masuk dalam peta “Israel Raya”, bagi Israel, Lebanon termasuk ke dalam “tanah yang dijanjikan”, selain Palestina.

Tahun 2015, Soleimani diberitakan datang ke Rusia, meyakinkan Putin untuk bergabung melawan ISIS dan afiliasi Al Qaida. Putin adalah presiden yang rasional, dia paham resiko bila membiarkan milisi-milisi teror itu menang, aksi teror akan berlanjut ke jalanan Moskow. Ada ribuan milisi Chechen yang bergabung dengan ISIS-Al Qaida di Suriah. Perlu dicatat, bangsa Chechen (Chechnya) umumnya adalah Muslim Aswaja yang cinta damai dan antiteror, namun sejak merebaknya ideologi takfiri-Wahabi (yang memang menyebar masif ke berbagai penjuru dunia, termasuk juga Indonesia) banyak orang Chechen yang bergabung dengan milisi teror.

Dengan bergabungnya Rusia mulai September 2015, perlawanan terhadap ISIS dan ratusan milisi afiliasi Al Qaida itu berjalan sangat efektif. Rusia dan tentara nasional Suriah (SAA) melakukan serangan udara ke basis-basis kelompok teror, sementara milisi gabungan bentukan Soleimani (bekerja sama dengan tokoh pejuang Irak dan Suriah, tentu saja) bersama SAA melakukan serangan darat.

Padahal, sejak Agustus 2014, AS sebenarnya sudah membentuk pasukan koalisi untuk melawan ISIS. Tapi yang sering terjadi, saat SAA hampir mengalahkan ISIS, tiba-tiba saja pesawat tempur AS datang membombardir tentara Suriah. Alasannya selalu saja “salah tembak.”

Segera setelah bergabungnya Rusia, terjadi perimbangan kekuatan. Bahkan Rusia membongkar aib-aib AS dan Turki. Dengan pantauan satelit yang dilakukan Rusia, terlihat bahwa ISIS mencuri minyak Suriah, lalu dibawa ke Turki dengan sepengetahuan AS.

Kerjasama Turki-ISIS sejak lama diketahui jurnalis media alternatif, namun ditutupi media Barat. Seorang jurnalis AS, yang menjadi reporter Press TV pada 2013 telah melaporkan bahwa pasukan ISIS dan milisi Al Qaida lainnya secara bebas masuk ke Suriah melalui perbatasan Turki; ada kamp-kamp pelatihan teroris yang disamarkan sebagai ‘kamp pengungsi’, dan ada suplai senjata dari Pangkalan Udara AS Incirlik di Turki kepada teroris di kamp-kamp tersebut. Pada Oktober 2014, ia tewas secara mencurigakan dalam kecelakaan mobil di perbatasan Turki-Suriah. Namanya Sherena Shim, cantik, gugur di usia 29 tahun.

Kembali ke Jenderal Qasem. Di Irak, Islamic State of Irak (ISI) terbentuk sejak 2004 dan secara resmi berbaiat pada Al Qaida. Setelah Saddam tumbang (2003), pasukan AS terus bercokol di sana dengan alasan “menegakkan demokrasi di Irak”. Proses-proses demokrasi di Irak dimulai dengan pileg pada 2005. Selama proses demokrasi ini berlangsung, ISI melakukan sangat banyak serangan bom bunuh diri. Karena ideologinya yang takfiri, target pembunuhan mereka adalah kaum Syiah Irak, namun kaum Sunni juga menjadi korban. Aksi teror terjadi di mana-mana. Tahun 2013, ISI menyatakan membentuk ISIS, yaitu menggabungkan gerakan pembentukan khilafah di Irak dan di Suriah.

Gambar oleh Defence-Imagery dari Pixabay

Kota demi kota, desa demi desa di Irak dan Suriah jatuh ke tangan ISIS. Dalam sebuah film dokumenter disebutkan bahwa tentara AS di Irak awalnya sama sekali tidak memberikan bantuan kepada tentara nasional Irak untuk melawan ISIS. Puncaknya, kota Mosul jatuh ke tangan ISIS pada bulan Juni 2014. Kejatuhan Baghdad sudah di depan mata. Untuk pertama kalinya, pada 13 Juni 2014, ulama besar Irak yang bermazhab Syiah, Ayatulah Sistani, mengeluarkan fatwa jihad melawan ISIS. Fatwa ini berlaku untuk semua Muslim (demografi Irak: 64,5% Syiah, 31,5% Sunni, 2% Yazidi, 1,2% Kristen, 0,8 lain-lain).

Soleimani datang dan membantu pembentukan jaringan milisi The People’s Mobilization Forces (PMF) atau People’s Mobilization Forces (PMU) atau dalam bahasa Arab: al-Hashd al-Shaabi. Milisi yang dibentuk 15 Juni 2014 ini menggabungkan berbagai milisi dari berbagai faksi, Sunni, Syiah, maupun Kristen, yang bergerak bersama tentara nasional Irak. Pasukan Iran juga bergabung dalam perang ini, dan ini legal karena direstui oleh pemerintah Irak.

Akhir Langkah Sang Jenderal

Pada November 2017 secara resmi Jenderal Soleimani mengumumkan bahwa ISIS telah kalah, baik di Irak maupun Suriah. Anehnya, AS justru menyatakan PMU sebagai teroris. Padahal sejak 2016 parlemen Irak memutuskan PMU/PMF/ al-Hashd al-Shaabi secara resmi diintegrasikan dengan tentara nasional Irak.

Kemana saja tentara AS yang bercokol di Irak sejak 2003? Mengapa AS dengan segala kelengkapan militer canggihnya tidak bergerak melawan ISI/ISIS? Oya, tentu saja, ketika ISIS hampir dikalahkan PMU, AS segera mengerahkan tentaranya juga dan mengklaim berjasa melawan ISIS. Pada 29 Desember 2019, AS bahkan membombardir salah satu markas Brigade Hezbollah Irak, salah satu faksi PMU, yang juga sangat berjasa mengalahkan ISIS. 15 milisi relawan PMU gugur dalam serangan itu.

Gambar oleh Hebi B. dari Pixabay 

Pada 3 Januari 2020, Jenderal Soleimani tiba di Baghdad dengan menggunakan pesawat reguler dari Lebanon. Dia datang atas undangan resmi dari pemerintah Irak. Dia disambut di bandara oleh Wakil Komandan PMU/PMF/ al-Hashd al-Shaabi, Abu Mahdi Al Muhandis. Mobil yang dikendarai dua pejuang terdepan melawan ISIS itu dibom oleh tentara AS. Pentagon menyatakan bahwa serangan itu dilakukan atas perintah resmi dari Trump.

Seharusnya dunia dengan kritis mempertanyakan keanehan situasi ini: mengapa tentara AS dibiarkan bercokol di sebuah negara berdaulat dan semaunya membombardir siapa saja, bahkan termasuk tamu resmi pemerintah Irak? Mengapa tokoh dan milisi yang berjasa mengalahkan ISIS justru disebut teroris dan dibunuh?

Apa Dampaknya Bagi Indonesia?

Siapa yang bersorak-sorai atas kematian Jend. Soleimani? Kalau melihat komentar di medsos dan grup WA di Indonesia, tak lain, mereka yang bergembira adalah para simpatisan pendukung Al Qaida dan ISIS. Artinya, kematian Jend. Soleimani, musuh terbesar Al Qaida dan ISIS ini, telah memberikan kebangkitan semangat kepada para radikalis dan teroris di Indonesia. Sangat mungkin sel-sel tidur yang tiarap karena bos-bos mereka di Irak dan Suriah juga tiarap, kini akan bangun dan kembali berkonsolidasi. Tentu kita doakan bersama ini tidak terjadi. Kita serahkan keamanan negeri ini pada pemerintah dan aparat.

Apakah Respon yang Akan Diberikan Iran?

Seperti pernah saya tulis, kalau pakai istilah dalam HI, Iran adalah “aktor rasional”, artinya, segala tindakannya didasarkan pada perhitungan yang rasional, bukan emosional. Ini berbeda jauh dengan framing yang dilakukan media Barat, media nasional, dan media radikalis selama ini, yang menggambarkan Iran aktor jahat yang menebarkan perang dan pengaruh di berbagai negara Muslim. Sungguh aneh, bukankah yang bertahun-tahun bercokol di Irak dan membunuhi ratusan ribu warga sipil dengan menggunakan bom-bom kimia yang membuat cacat bayi-bayi di Irak, adalah AS?

“… Kami katakan pada semua orang, bersabarlah sebentar dan kalian akan melihat mayat orang-orang Amerika di seluruh Timur Tengah.”

Menurut lembaga think tank AS, Council of Foreign Relations, di tahun 2016 saja, rata-rata AS menjatuhkan 72 bom setiap hari atau 3 bom setiap jam, dan totalnya ada 26.171 bom yang dijatuhkan AS di Irak, Suriah, Afghanistan, Libya, Yaman, Somalia dan Pakistan. Sungguh aneh, mengapa dunia masih tidak bisa melihat siapa yang teroris dan agresor sebenarnya?

Sebaliknya, selama ini, Iran justru selalu bertindak dalam koridor hukum internasional. Bantuan Iran pada Hezbollah, Suriah, Hamas dan Jihad Islam (Palestina), semua sesuai koridor hukum internasional. Di Lebanon, jelas Hezbollah berperang melawan agresor (Israel). Di Suriah, yang dilawan ISIS dan Al Qaida. Di Palestina, yang dilawan adalah penjajahan (Israel).

Secara rasional, memang yang harus dilakukan Iran adalah tetap dalam koridor hukum internasional. Bila saat ini Iran menyerang pangkalan militer AS di Irak, justru Iran yang akan dianggap melakukan agresi dan AS dianggap ‘sah’ untuk menjatuhkan bom ke Teheran. Dan sebenarnya kesempatan inilah yang ditunggu-tunggu AS dengan segala provokasi jahat yang dilakukannya. Tak heran bila pengganti Soleimani di Qods Force IRGC, Jenderal Ghaani menyatakan: “Kami katakan pada semua orang, bersabarlah sebentar dan kalian akan melihat mayat orang-orang Amerika di seluruh Timur Tengah.”

Apa yang dimaksud “bersabar sebentar”?

Prediksi saya, kalimat itu mengandung makna Iran tidak akan gegabah dan akan tetap di koridor tersebut. Mungkin yang akan bergerak membalas adalah milisi al-Hashd al-Shaabi. Atau, skenario lain, parlemen Irak memutuskan untuk mengusir tentara AS, dan artinya sama, perang juga, tapi atas nama rakyat Irak. Bila perang besar terjadi, ekonomi dunia bisa terganggu, dan tentunya akan berimbas pada Indonesia.

Yang penting dilakukan dunia internasional saat ini, termasuk PBB, adalah menyeru kepada AS untuk bertindak rasional demi kepentingan bangsa AS sendiri, yaitu segera menarik pasukannya dari Timteng dan berhenti membunuhi rakyat di Timteng (LiputanIslam.com).

*Direktur ICMES (Indonesia Center for Middle East Studies), Dosen HI Unpad

Sumber: http://liputanislam.com/analisis/tentang-qassem-soleimani/

Artikel sebelumnya
Artikel berikutnya
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article