Jumat, April 19, 2024

UU Desa jadi transformasi besar pengelolaan pemerintahan

Must read

Siksa Kubur

Era digital telah merambah masyarakat desa. Di samping tata kelola desa, hampir semua sektor kehidupan tak luput dari serbuan teknologi digital. Era yang ditandai dengan kegiatan di ruang digital ini adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari, apalagi ditolak.

Demikian dikemukan Tati Aprilyana dari Kaizen Room pada acara Webinar Literasi Digital gelaran Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Mengusung tema ”Tata Kelola Pembangunan Desa di Era Digital,” acara virtual ini berlangsung untuk warga Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (9/6/2020). Lebih dari 200 peserta mengikuti acara yang dimulai pukul 13.30 WIB.

Dipandu moderator Adrian, webinar ini juga menghadirkan narasumber Heru Prasetyo (kontributor Islami.co), Nanik Lestari (pengajar Fisipol UGM), Maisaroh (dosen Universitas Islam Indonesia), dan News Anchor TV Nasional Shafinaz Nachiar sebagai key opinion leader.

Tati menyatakan, kegiatan tata kelola desa saat ini telah bertranformasi dari manual dan offline menjadi online. ”Segala sesuatunya tidak hanya berlangsung secara manual dan offline, tetapi dikonversi ke online. Hampir semua aktivitas diprogres dalam bentuk kegiatan online, apalagi pada masa situasi pandemi,” tuturnya.

Menurut Tati, transformasi besar dalam pengelolaan pemerintahan desa, ditengarai sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 06 tahun 2014 tentang Desa. Undang-Undang Desa telah mengembalikan identitas desa ke masyarakat.

”Banyak pihak bergembira saat DPR mengesahkan UU Desa. Pengesahan UU Desa memungkinkan diakuinya kembali desa sebagai identitas kesatuan masyarakat umum yang memiliki hak asal-usul dan hak tradisional untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat,” ujarnya.

Tati menambahkan, dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia desa telah berkembang dalam berbagai bentuk. Sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis dalam pengelolaannya.

”Desa jangan sekadar mengeluarkan surat pengantar, tetapi harus benar-benar menjadi infrastruktur yang bisa mengakomodasi kebutuhan, aspirasi dan menentukan mana yang paling tepat dan sesuai untuk masyarakat desa,” jelasnya.

Tati menambahkan, banyak identitas atau hak-hak tradisional yang melekat pada suatu desa. Bahkan, dalam Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2014 disebutkan, pembangunan desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kualitas hidup, dan penanggulangan kemiskinan.

”Dalam Undang-Undang Desa, disebutkan juga bahwa kewenangan yang dimiliki oleh desa meliputi kewenangan berdasarkan hak asal-usul keberadaan masyarakat adat dan desa adat. Semuanya terakomodasi dengan baik dan dilindungi oleh undang-undang,” tegas Tati.

Pembicara lain, pengajar Fisipol UGM Nanik Lestari menyorot soal pentingnya cara mempertahankan budaya sekaligus beradaptasi di era digital. ”Pembangunan desa harus disertai dengan pengamanan terhadap budaya,” ujarnya.

Bagi Nanik, desa merupakan perwujudan dari potret pelayanan terkecil Indonesia. Untuk itu, ia berharap, desa yang terpencil sekalipun bisa memajukan diri sendiri dan memastikan tidak teralienasi secara digital.

Saat ini, lanjutnya, kawasan pedesaan dapat dengan mudah mengakses teknologi internet. Kemudahan akses teknologi diharapkan mampu berkonstribusi dalam pembangunan desa. ”Pembangunan desa saat ini banyak di-support oleh jaringan internet. Pelayanan desa makin efektif, cepat, dan terbuka. Bahkan beberapa desa sudah mengintegrasikan smart places,” ujarnya.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article