Oleh: Idrus F. Shahab
Ketika bulan puasa sudah tinggal seminggu dan demam pemilihan umum dan pilkada semakin menggila, Wak Lihun merasa perlu mendapatkan keteduhan ekstra. Laki-laki setengah baya yang rajin shalat-rajin beribadah ini merasa batinnya haus sekali.
Mengenakan kopiah putih dan baju koko putih, ia benar-benar membutuhkan siraman rohani dari seorang ulama yang sangat spesial di sebuah majelis taklim dekat rumahnya. Tapi, baru saja berjalan sekitar 500 meter dari rumahnya, yang terjepit di gang sempit, langkahnya sekonyong-konyong terhenti. Menghela napas panjang, Wak Lihun menyaksikan jalan empat jalur yang baru sebulan lalu diberikan tambahan aspal hitam itu tiba-tiba jadi seperti Ciliwung yang tak sanggup lagi menampung kiriman air dari Bogor. Luber!
Entah dari mana mereka berasal, mengenakan kopiah putih dan baju koko putih seperti dirinya, ribuan orang serentak menyerbu majelis taklim yang tak begitu luas itu. Menghadapi ”serangan” seperti ini, tidak bisa tidak, jalanan yang telah banjir dengan manusia itu pun kehabisan napas. Lumpuh, alias macet berat. Di depan sebuah tempat parkir motor dadakan yang dikelola oleh satu organisasi massa yang terkenal di kota ini, sambil menyaksikan arus manusia yang mengalir deras, Wak Lihun beberapa kali menelan ludah.
”Ngaji kok nyusahin orang, jhaaaaan…,” sopir metromini yang berlogat Jawa Timur mengumpat-memaki di sepanjang jalan. Ia tak menyelesaikan kalimatnya, tapi menginjak gas dan rem silih berganti.
Wak Lihun benar-benar membutuhkan obat rohani untuk menenteramkan gelisah di hatinya dari ulama yang dicintainya itu.
Anak-anak muda penunggang sepeda motor yang telah menggantikan helmnya dengan kopiah putih itu berseliweran di depan-belakang, dan kanan-kiri kendaraan umum yang senantiasa terbatuk-batuk, mengembuskan asap yang menyesakkan. Anak-anak tanggung itu sebenarnya tidak berkelakuan ugal-ugalan di jalan aspal hitam yang padat itu. Namun, seperti melihat pendukung kesebelasan setempat yang bergerak berkelompok-bergelombang, sopir yang tak lekas surut rasa dongkolnya ini selalu berusaha menghindari setiap benturan dengan anak-anak muda itu.
Malam itu sebenarnya Wak Lihun mau menghabiskan waktunya bersama seorang habib yang lembut tutur katanya dan menyejukkan dakwahnya. Ia benar-benar membutuhkan obat rohani untuk menenteramkan gelisah di hatinya dari ulama yang dicintainya itu.
Memang, ia tak sanggup menghindari daya tarik sang habib. Di rumah, gambar sang habib yang tersenyum kecil, berkacamata minus, berjubah, dan bersorban putih menghiasi pintu kamarnya. Di jalan, gambar habib yang sama terus menemaninya, melekat pada kaca depan mikrolet yang dibawanya bergantian dengan seorang sopir lainnya.
Sekarang, menyaksikan ”invasi” gelombang manusia yang begitu dahsyat, sebagai seorang sopir mikrolet, mau tak mau hatinya pun berpihak kepada sopir metromini yang terus mengumpat itu. Menahan geram, mata Wak Lihun terus menyidik tajam, dalam hati ia mencatat setiap gerak-gerik manusia-manusia berkopiah putih yang telah menyengsarakan para komuter, orang-orang yang telah lelah bekerja di rimba metropolitan itu.
Namun di tengah pengamatan yang serius ini, sesuatu telah menyergapnya. Dua jam terpaku di seberang majelis taklim sang habib, perlahan-lahan ia merasakan adanya benang merah yang menghubungkan dirinya dengan orang-orang berkopiah putih itu. Semakin lama perasaan ini semakin kuat.
Orang-orang yang selama ini tak pernah tampak di ruang-ruang kantor, di ruang-ruang publik, di gedung-gedung pemerintahan, di gedung-gedung parlemen, tiba-tiba bermunculan, membanjiri jalanan dalam sebuah serangan dadakan yang membuat lalu lintas kota tak berdaya. Para akademisi mungkin sibuk membandingkan apa yang mereka lakukan tiap Senin malam dengan gerakan ”Menduduki Wall Street” – di mana orang-orang yang tersingkir ini secara simbolis mencoba melawan kelas menengah dan kelas atas yang menguasai ekonomi. Namun naluri orang seperti Wak Lihun yang sudah banyak makan garam kehidupan itu lebih cepat menangkap-mengenali mereka.
Dari rumah-rumah yang ngumpet, terdesak di pelosok metropolitan yang tak pernah dikunjungi para pembuat keputusan, mereka sekonyong-konyong muncul sebagai pengingat bahwa orang-orang yang tersisih itu belum hilang ditelan bumi.
Kini Wak Lihun tak lagi kuasa menahan kakinya yang tiba-tiba melangkah begitu saja ke tengah-tengah arus orang-orang berkopiah putih yang bergerak bagaikan gelombang itu. Karena, ia memang bagian dari orang-orang yang hampir terhapus dari peta metropolitan yang bengis terhadap si lemah ini.
Dari kerumunan yang bergerak lambat itu, sayup-sayup ia masih mendengar suara sang habib yang sejuk, semakin lama semakin jauh…