Hari ini para pemilik smartphone umumnya terdaftar di grup WA. Nomor Anda sendiri tergabung dalam berapa belas grup WA? Apakah Anda setuju kalau dikatakan bahwa kebanyakan dari kita hidup dalam kepungan wabah grup WA – maksudnya di luar grup untuk profesi, pekerjaan, atau tugas kemasyarakatan.
Grup WA yang tidak berkaitan dengan pekerjaan/profesi/keluarga inti telah menimbulkan distraksi baru, melengkapi badai distraksi email, Facebook, Twitter, dan lain-lain. Orang-orang yang setiap bangun tidur merelakan dirinya terbawa arus, menggelinding menapaki waktu tanpa tuntunan iman, tanpa ada tujuan yang jelas apa yang mesti diraih hari itu, umumnya sangat mudah hanyut dalam badai distraksi itu.
Kalau dilihat komentar dan respon mereka dalam hiruk-pikuk lalu-lintas informasi, utamanya di grup WA, sebagian orang mendadak jadi para pengamat politik, ada yang berkomentar seperti pakar ekonomi, sebagiannya memperlihatkan seolah-olah memahami ajaran agama melebihi yang lain, dan seterusnya.
Pendek kata, ada kecenderungan masing-masing memperlihatkan paling pintar dalam memberikan komentar atas suatu event atau info – yang sebagiannya kemudian terbukti hoax. Ada pula tendensi di antara orang-orang itu mudah menghakimi pihak lain atau meninggikan diri sembari meremehkan orang lain.
Bukankah sebenarnya kita sudah menyadari, kelewat aktif dalam grup-grup WA menimbulkan dua kerugian besar, yaitu waktu dan kecerdasan?
Waktu terpakai untuk hal-hal yang tidak produktif, bahkan diantara posting-an ada yang berisi gosip. Semua itu dan distraksi yang ditimbulkan oleh posting-an beraneka rupa, memaksa otak bergerak cepat dari satu topik ke cerita lain. Ini dapat menyebabkan seseorang terjebak monkey mind, orang China menyebutnya xinyuan.
Dengan huruf Kanji yang sama, orang Jepang membacanya shin’en. Ini istilah Buddhist yang artinya restless, capricious; whimsical; fanciful; inconstant; confused; indecisive; uncontrollable.
Bayangkan, kalau Anda seorang eksekutif atau team leader dengan kecerdasan yang mudah terbajak monkey mind, apakah bisa efektif memimpin? Di luar lingkungan kerja, sadarkah Anda bahwa kecintaan pada WA group dapat juga mematahkan selera pasangan Anda untuk jadi lebih hangat?
Itulah candu tanpa kepulan asap di zaman ini. Sebagaimana sering terjadi di kalangan pemadat, kalau ada yang keluar (left) dari kelompok lantas “dimusuhi”, dituduh tidak mau bergaul, tidak menghormati pertemanan, dan seterusnya. OMG. Sudah cukup lama saya lebih banyak memilih scrolling down grup-grup WA di luar urusan profesi/tugas, kecuali ketika notifikasinya menyebutkan berita duka. Untuk mengambil langkah in memang perlu upaya keras – bukankah kita sering sulit menahan godaan untuk tampil di habitat kita?
Bahaya sangat serius yang dapat menimpa seseorang terjebak monkey mind berkepanjangan — loncat sana-sini dalam perdebatan yang tidak membangun nilai, engaged dalam gelimang aneka macam info di media sosial — adalah hilangnya jati diri. Tidak tahu lagi siapa diri kita dan apa tujuan ada di Bumi.
Interaksi dengan kehidupan secara kurang sehat secara berkelanjutan dapat menyebabkan sesorang kehilangan kemampuan untuk mendefinisikan diri sendiri, tidak lagi memiliki kebebasan intelektual dan spiritual. Ini dapat menimbulkan nausea, rasa mual.
Barangkali seperti dialami Antoine Roquentin, tokoh dalam La Nausée, novel Jean Paul Sartre. Dalam cerita itu Antoine akhirnya bahkan berpikir bahwa dirinya tidak exist: “My existence was beginning to cause me some concern. Was I a mere figment of the imagination?“
Siapa diantara kita yang mau membiarkan dirinya hanya menjadi isapan jempol dalam imajinasi besar bernama kehidupan ini?
“… Bagaimana cara melawan atau mengatasi godaan candu koneksi digital tersebut?”
Ada satu mantra yang diajarkan Dr. Marshall Goldsmith agar kita dapat mengelak dari sedotan atau distraksi WA – plus melawan godaan email-email dan media sosial lainnya yang tidak relevan atau tidak ada kaitan langsung dengan tanggung jawab kita (di organisasi, di keluarga, atau di masyarakat). Atau juga untuk menghindarkan diri dari situasi monkey mind.
Mantra itu berupa pertanyaan kepada diri sendiri: “Am I willing at this time, to make the investment required to make a positive different on this topic?” Diringkas AIWATT, seirama dengan “say what.” (Triggers, 2015). Ini mengingatkan pada peribahasa lama di Indonesia: “Mulutmu, harimaumu” – atau, kalau zaman smartphone sekarang, “ujung jempol dan jarimu adalah jurang jebakanmu”.
Marshall Goldsmith — #1 Leadership Thinker dan the #1 Executive Coach in the World and a Top Ten Business Thinker selama delapan tahun terakhir — dalam pembelajarannya agar kita dapat menentukan sikap lebih baik, merdeka dari urusan-urusan pihak lain yang menimbulkan distress tidak perlu, menegaskan kepada kita untuk selalu mengingat kata-kata Peter Drucker: “Our mission in life should be to make a positive difference, not to prove how smart or right we are.”
Banyak orang belakangan ini makin senang bicara atau melepaskan pernyataan di media sosial, atau di mainstream media, serta di ruang-ruang diskusi para pakar/pengamat. Sering sekali terlihat, saat membahas situasi politik hampir selalu diwarnai dengan ghibah (omongan buruk) tentang tokoh publik.
Ada indikasi mereka terkena wabah, yang oleh Marshall Goldsmith disebut, “false positives” – membuat pernyataan untuk mengerek diri sendiri dengan merendahkan pihak lain. Di antaranya, merasa memiliki keunggulan moral (moral superiority) atas orang-orang yang mereka bicarakan.
Di lingkungan kerja, gejala false positives terlihat antara lain dari kecenderungan mengeluh dan mengumbar omongan tentang atasan, peers, anggota tim, bahkan mitra bisnis di balik punggung mereka. Tentu ini merupakan perilaku counterproductive.
Oleh karena itu mantra AIWATT menjadi sangat penting, terutama bagi orang-orang yang ingin meraih jabatan lebih tinggi, sebagai eksekutif senior di organisasi bisnis dan non-bisnis, ingin jadi CEO atau presiden. Juga bagi para leader yang serius mau memimpin lebih efektif, berorientasi results.
AIWATT merupakan mekanisme yang memungkinkan terciptanya jarak antara pemicu dengan perilaku yang kita pilih untuk meresponnya. Dengan pengendalian diri lebih baik, setiap orang dapat mengerahkan energi fokus ke tanggung jawab masing-masing, tanpa menyalahkan pihak lain.
(Mohamad Cholid– Practicing Certified Executive and Leadership Coach)