Hardland Sumekar berevolusi, sebelum akhirnya melakukan revolusi.
Selama beberapa tahun Hardland selalu menjadi bagian dari pesta tahun baru di rumah keluarga Mr. M yang terpandang di Ibukota. Terpandang karena intelektualitasnya, keberhasilannya sebagai profesional lulusan Harvard University, kekayaannya yang luar biasa, diraih melalui ketekunan bekerja, tanpa menjadi kroni penguasa.
Hardland menghormati integritas Mr. M. Sebagai tuan rumah yang berkelimpahan, Mr.M tetap rendah hati, bersedia memberikan suntikan pemikiran dan perspektif baru untuk menghadapi realitas. Pesta tahun baru di kediaman Mr. M menjadi ajang pergaulan creme de la creme di negeri ini. Ada duta besar, pengusaha hebat, penulis tersohor, budayawan top, mentri, etc.
Sebagai manajer di sebuah organisasi terhormat dengan fasilitas kendaraan berkelas dan terbiasa pula bepergian ke luar negeri, plus keistimewaan lain, Hardland Sumekar percaya diri dan nyaman di lingkungan pergaulan Mr. M. Selain menambah relasi, memperluas pergaulan, di sana Hadland, yang masih bujangan, dapat belajar banyak hal. Mengenai etika pegaulan kalangan elite sampai tentang bagaimana orang-orang berprestasi tersebut menafsirkan kehidupan.
Tapi malam itu Hardland menolak undangan keluarga Mr. M. Pamannya, yang juga tokoh berpengaruh dan sahabat Mr. M, agak terkejut juga.
“Terus kamu mau kemana Hardland?” Pamannya bertanya ingin tahu.
“Mau di rumah,” jawab Hardland ringkas. Malam itu dia hanya baca buku dan tidur, nonton tv pun tidak.
Beberapa hari kemudian, dalam satu kesempatan makan malam bersama, pamannya yang tampaknya penasaran, menggali info apa penyebab Hardland menolak datang ke pesta malam tahun baru di rumah keluarga Mr. M.
Jawab Hardland, “Pesta di sana selalu menyenangkan, makanannya serba enak, pergaulannya sangat positif, memberikan impact yang baik. Tapi ….” Hardland terdiam sejenak.
“Tapi kenapa?” Pamannya bertanya.
“Saya tidak tahan menghadapi kondisi keesokan harinya,” kata Hardland. Setiap usai pesta malam tahun baru, esok pagi sampai siang, kadang bisa seharian, Hardland mengaku selalu menghadapi kehampaan.
Rasa kosong itu seperti menghardik, menekan, dan mengocok pikiran Hardland. Sesudah semua kegembiraan dan kemewahan itu, lantas dihadang kelengangan hati keesokannya membuat Hardland tersiksa — itu terjadi setiap tahun. Akhirnya dia tidak mau lagi ke pesta tahun baru, di mana pun juga. Bahkan di rumah Mr. M.
Ketika beberapa tahun kemudian menjadi direktur sebuah perusahaan investasi asing, Hardland mesti main golf — bahkan hampir selalu ikut turnamen — bersama dengan relasi bisnis dan pelanggan. Tentu semua itu penting untuk menjaga keakraban dengan mitra usaha, dan for fun, tanpa berniat menjadi juara turnamen – handicap-nya masih di atas 10.
Setiap usai turnamen golf, yang biasanya baru bisa pulang ke rumah saat menjelang sore, malam harinya Hardland dihadang lagi oleh kehampaan yang sama seperti pada hari-hari di tahun baru setelah malamnya ikut pesta. Hantaman rasa kosong itu makin menyesakkan bagi Hardland, yang sudah menikah dan menjadi ayah, utamanya ketika dia menyadari waktu akhir pekan bersama istri dan anak-anaknya ternyata termakan nyaris habis di lapangan golf.
Hardland Sumekar memilih mengubah haluan dan pola hidupnya. Main golf hanya sekali-sekali, tanpa bersedia ikut turnamen lagi.
Setelah lebih dari lima tahun menjadi direktur perusahaan investasi asing itu, Hardland minta untuk aktif di luar struktur organisasi, proses bisnis sehari-hari ditangani general manager yang baru direkrut. Hardland memilih sebagai konsultan di perusahaan tersebut, agar lebih banyak waktu untuk keluarga dan mengembangkan diri.
Lebih dari dua tahun belajar dari tokoh bisnis yang lebih senior, para mentor, bahkan kalangan business coach, plus profesor di pasca sarjana bisnis, Hardland kemudian menyadari perlu melakukan revolusi, mengubah perspektif dalam menginterpretasikan kehidupan. Kehampaan dan rasa kosong setiap usai pesta malam tahun baru atau sehabis menikmati keceriaan di arena turnamen golf, rupanya ibarat puncak Iceberg dari urusan lebih dalam.
Hardland, menurut para mentor dan profesor di pasca sarjana bisnis itu, terkena sindrom yang menjangkiti kalangan profesional, eksekutif senior, bahkan pengusaha di banyak negara di dunia. Mereka mendaki tangga karir dan meraih sukses, namun sampai di puncak kejayaan hanya uang dan kemewahan material yang mereka dapat – tidak ada nilai lebih dari itu.
Antara lain dialami seorang fund manager dengan penghasilan lebih dari US$ 20 juta setahun, tapi tidak bisa menyebutkan satu hal pun dalam hidupnya yang membuatnya happy.
Ia memang mengakui, anak lelakinya merupakan alasannya membangun karir. Kenyataannya jarang sekali dia menikmati waktu bersama anaknya itu. Karena selalu harus mengelola dana orang-orang yang mempercayainya.
Untuk meningkatkan kualitas hidupnya, setahun lebih dia jadi klien Dr. Steven Berglas, mantan faculty member Harvard School’s Department of Psychiatry selama 25 tahun, belakangan jadi executive coach dan corporate consultant berbasis di Los Angeles (Stay Hungry & Kick Burnout in the Butt, Steven Berglas, 2018).
Di sekitar kita masih ada kecenderungan para eksekutif montang-manting kerja, berharap menghasilkan KPI terpuji, namun akhinya mengalami burn out. Ada juga kasus, seorang CEO sebuah multinasional berbasis di Eropa dengan karyawan 60 ribu orang, mengaku gamang, tidak tahu harus berbuat apa setelah masa tugasnya rampung pada usia 66 tahun.
Setelah berproses melalui berbagai benturan dan pembelajaran, Hardland menemukan why dan life purpose-nya. Menemukan alasan dan landasan filosofis membangun usaha dan apa pentingnya keberadaan dirinya di Bumi ini.
Hardland Sumekar aktif kembali di dunia usaha dengan paradigma baru dan perspektif lebih progresif – ibarat komputer, ia sudah rebooting the operating system.
Atas izin Tuhan, perubahan fundamental yang dilakukannya jadi proses yang propagating, membuahkan benefit dan peluang baru berkelanjutan. Sekian tahun ini, setiap hari ia berupaya menjadi versi terbaik diri sendiri dalam interaksi dengan keluarga, mitra bisnis, tim, dan masyarakat sekitarnya.
Kalau kita tidak berevolusi menjadi lebih baik, atau bahkan melakukan revolusi jika perlu, mengubah paradigma dan memperbaiki perspektif dalam menafsirkan perkembangan zaman, kita bisa punah – atau minimal tidak relevan lagi dengan realitas sekarang. Ini hukum alam.
Bagi orang-orang yang berhasil mengembangkan perilaku kepemimpinan baru, sebagaimana Hardland, pergantian tahun hanya perubahan angka, yang implikasinya pada pembukuan hasil usaha, tidak perlu benar untuk dirayakan dengan mewah – apalagi masih banyak orang susah di sekitar kita, termasuk akibat bencana alam. Bagi Hardland, pesta tahun baru mengandung kemungkinan merayakan kehampaan.
Perubahan angka yang memiliki arti signifikan adalah di bottom line organisasi. Score hasil turnamen golf tidak dianggap punya makna penting lagi. Lebih diutamakan adalah angka-angka di dashboard setiap divisi yang memperlihatkan peningkatan prestasi tim.
Mohamad Cholid
Practicing Certified Executive and Leadership Coach