Kolom M. Kholid Syeirazi
Setelah melalui kontestasi yang melelahkan, saya bersyukur Jokowi-KMA akhirnya menang melawan narasi politik identitas. Unggul 55 persen boleh dibilang tidak setimpal dibandingkan dengan apa yang sudah dicapai Jokowi selama 4,5 tahun. Bandingkan dengan kemenangan SBY di periode kedua yang menyentuh angka 66 persen.
Kerja-kerja nyata Jokowi, yang secara teori adalah aset paling tangible untuk dibarter dengan dukungan elektoral seperti pembangunan infrastruktur yg massif, bagi-bagi sertifikat, segala jenis Kartu Indonesia Sejahtera, dan lain-lain, ternyata sama sekali tidak dibeli oleh rakyat Indonesia. Jokowi menang bukan karena itu semua.
Bahkan fakta bahwa Jokowi berhasil menyingkirkan keluarganya dari arena kekuasaan, sesuatu yang sering menjadi titik lemah dari seorang pemimpin, kalah digilas oleh isu-isu edan tentang asal-usul keturunannya.
Jokowi menang di tengah politik pasca kebenaran yang basisnya bukan data dan fakta, tetapi rumor dan opini yang yang diracik dengan bumbu-bumbu agama. Bagi saya kinerja Jokowi patut diapresiasi, meski tidak sempurna, tetapi Jokowi tidak dipilih lagi karena prestasinya. Jokowi dipilih lagi karena dia adalah lawan dari politik identitas yang kental di kubu lawannya.
Dan di titik ini, pilihan Jokowi menggandeng KMA adalah pilihan terbaik. Saya merasa pilihan itu tidak lahir dari kalkulasi politik an sich, tetapi dari firasat, insting, krenthek atau khatharat yang dibimbing dari ketajaman visi seorang pemain politik ulung.
Andaikata bukan KMA, sebelum dipinang sebagai Cawapres adalah simbol tertinggi kepemimpinan NU, saya tidak bisa membayangkan Jokowi bisa bertahan dari bulan-bulanan agresi politik identitas yang mengerikan.
Jokowi menang karena keunggulan di dua basis wilayah gemuk di mana NU dan kelompok nasionalis kuat yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setahu saya, baru kali ini NU nyaris solid dalam kontestasi Pilpres. Nahdliyin yang terafiliasi dengan partai pendukung Paslon 02 mungkin pengecualian.
Kita juga tidak menutup mata adanya sejumlah Kiai dan Gus yang sejak lama berteman dan mendukung Prabowo. Ada juga petualang politik yang hobi dengan bola-bola pendek.
Tetapi, menurut saya, jumlah mereka relatif kecil. Jumhur (mayoritas) Nahdliyin, elite dan massanya, bukan hanya mendukung, tetapi aktif mengajak orang untuk memenangkan Paslon 01.
Faktor bahwa Jokowi menggandeng KMA, bekas simbol tertinggi organisasi NU, adalah hal penting. Tetapi, yang lebih penting lagi, NU bergerak karena adanya ancaman terhadap narasi kebangsaan yang selama ini menjadi misi kembar NU, yaitu mas´uliyah diniyah (tanggung jawab keagamaan) dan mas´uliyah wathaniyah (tanggung jawab kebangsaan).
Faksi dan narasi kubu sebelah adalah reinkarnasi gerakan 212 yang dianggap bertolak belakang dengan dua misi ganda NU, karena itu Nahdliyin aktif di seluruh tingkat melawan arus mereka.
Saya tahu ada pihak yang mengecilkan faktor NU dalam kemenangan Jokowi dengan mencuplik data parsial untuk men-justifikasi klaimnya itu. Tujuannya jelas, agar NU tidak terlalu ikut mengatur pemerintahan.
Saya kira anggapan itu salah. NU adalah kekuatan civil society. Tugas NU mengantarkan kepemimpinan nasional ke tangan orang yang tepat, yang kompatibel dengan misi keagamaan dan kebangsaan NU. Setelah itu NU balik kandang, melakukan fungsi sosial keagamaan dan kekuatan sipil yang mengontrol dan mengawasi pemerintahan.
NU tidak perlu pengakuan karena semua orang mengakui NU sebagai organisasi besar yang setia mengawal NKRI. Andaikata NU diam, jarak Indonesia dengan Suriah dalam hal nasib mungkin tinggal sekian senti di tengah meruyaknya pekik-pekik takbir. Di titik ini saya tidak terlalu kaget.
Seorang sangat senior di kantor saya, seorang pemeluk Katholik, tiba-tiba menyalami saya dengan cara membungkukkan badan dalam-dalam. Saya terkejut karena nyaris mencium tangan saya. Tentu saja ini tidak patut.
Dia mengucapkan selamat dan terima kasih. Andaikata bukan karena NU yang berjibaku dan pasang badan, “Saya tidak tahu bagaimana dengan nasib Jokowi,” katanya.
Saya lebih percaya pengakuan jujur masyarakat umum seperti ini ketimbang persepsi tendensius seorang partisan atau pengamat. NU mungkin bukan penentu kemenangan Jokowi — anggap saja kita ikut dawuh pengamat itu — tetapi tanpa NU, Jokowi akan tumbang digilas politik pasca kebenaran.