Catatan Ananda Sukarlan
Opini saya diterbitkan di Harian Kompas, 23 Mei 2019, dengan editan dan pemotongan yang cukup signifikan , yang tentu saya maklumi karena keterbatasan ruang dan pertimbangan pembaca yang dituju. Berikut ini saya persembahkan artikel saya yang asli:
Sebuah hasil penelitian di laman The Australian Policy Unit (aspi.org.au) menyatakan bahwa ada tiga karakteristik umum dari kaum muda yang menjadi ekstremis agama:
- Kebutuhan pemapanan identitas dan tujuan.
- Kebutuhan untuk memiliki, diakui atau menjadi bagian dari satu komunitas, tapi,
- Mereka telah mengalami rasa ketidakadilan atau penghinaan yang menimbulkan rasa rendah diri.
Tentu itu semua bukan alasan untuk menjadi ekstremis bahkan teroris, bahkan dua kebutuhan pertama sebetulnya adalah kebutuhan kita semua juga. Tapi dengan mengetahui elemen pemicunya yaitu poin nomor 3, kita bisa mencegah seorang anak tumbuh menjadi teroris.
Jika sudah telanjur, selalu ada cara untuk menghentikannya, dan itu dimulai dengan pemahaman tentang akarnya, bersama dengan strategi jangka panjang untuk merongrong penyebabnya. Karena sebagian besar teroris “tumbuh di rumah” (dilahirkan dan dibesarkan di negara yang kemudian mereka serang sendiri), apa yang mereka dapatkan di pendidikan dasar mereka menjadi sangat penting.
Tapi, melihat bahwa banyak teroris adalah kaum berpendidikan, berarti ada yang salah atau kurang dalam pendidikan ini.
Rasa memiliki adalah kebutuhan psikologis dasar dan kelompok yang kita terafiliasi dengannya membentuk siapa dan menjadi apa kita. Sekolah yang hanya menghargai prestasi akademik yang tinggi akan menciptakan “eksklusivitas” di mana perundungan (bullying) dan marginalisasi dapat berkembang.
Pengucilan sosial dari lingkungan yang tidak inklusif akan mengikis perasaan memiliki, harga diri, persepsi kontrol atas lingkungan, dan mengantar kepada krisis keberadaan. Pada akhirnya, semua siswa perlu percaya bahwa keberadaan mereka penting dan kontribusi serta opini mereka dihargai. Ini yang menjadi sulit jika satu sekolah berasal dari satu ragam agama, suku atau pandangan tertentu. Mereka boleh memakai seragam, tapi keseragaman yang paling penting adalah keberagaman.
Dan keberagaman bisa dipupuk dengan cara membebaskan mereka berekspresi. Dan ekspresi yang paling bebas adalah melalui seni. Mereka tidak perlu diarahkan bahwa menggambar daun itu harus diwarnai dengan hijau, atau langit biru. Ada, bahkan banyak, yang lebih suka mewarnai langit dengan warna gelap, atau berwarna-warni saat matahari terbenam. Apa mereka salah? Aneh? Kalau Anda menjawab “iya” itu bukti bahwa ada bibit intoleransi dalam diri Anda.
Masalahnya, saya yakin sebagian besar pembaca ini akan menjawab “iya”, karena memang bibit intoleransi itu ada dalam setiap diri kita, hanya saja sebagian dari kita sudah disadarkan bahwa hal itu salah
Seni bukan masalah salah atau benar, juga bukan “multiple choice” di mana hanya ada satu jawaban yang benar. Pendidikan itu lebih dari sekadar menghafalkan fakta dan lulus ujian. Karena standarnya tidak cukup mudah untuk diterapkan, maka seni dianggap sebagai “kurang penting” karena berbagai ukuran kualitas dan nilainya “kurang jelas”.
Apakah lukisan Van Gogh lebih tinggi nilainya ketimbang Picasso? Apakah musik Beethoven lebih baik daripada Mozart? Dsb, dsb. Padahal pendidikan adalah tentang mempelajari cara tumbuh sebagai pribadi dan belajar hidup bersama, bukan hanya apa yang dipercaya tentang diri sendiri, tetapi juga apa yang kita percayai tentang orang lain.
Kalau sekolah menggunakan pendekatan proaktif untuk pembelajaran sosial dan emosional, mereka mendorong anak-anak untuk mencari tahu kesamaan apa yang mereka miliki dari perbedaan yang ada, menjadikannya lebih berat rasanya untuk menghakimi orang lain.
Hal itu membawa kita ke poin berikutnya, yaitu “penajaman rasa empati”.
Sekolah harus bertujuan untuk mengidentifikasi nilai-nilai dan kekuatan positif setiap anak, dan membantu anak-anak untuk memahami bakat dan keterampilan masing-masing yang diperlukan untuk membangun hubungan yang sehat, termasuk pengembangan empati.
Kerja sama melalui seni adalah kerja sama yang paling efektif meruntuhkan tembok perbedaan, misalnya seorang anak menggambar, yang lainnya membuat cerita atau puisi dari gambar itu, dan yang lainnya membuat musik dari gambar atau puisi itu. Tema atau subyek yang sama diinterpretasi dengan berbeda, dan tidak ada yang salah, bahkan semuanya indah.
Dalam bidang yang sama, misalnya musik, anak berlatar belakang, beragama atau pandangan berbeda yang bermain bersama-sama membentuk grup atau orkes kecil akan bisa berkomunikasi dengan baik, karena tujuan utamanya adalah bagaimana menghasilkan musik yang sinkron dan harmonis. Itu berarti mereka harus saling mendengarkan, keras-lembutnya harus diatur sesuai dengan rekan sebelahnya, dan ekspresinya harus jelas—bukan dijelaskan dengan kata-kata, tapi dengan musik
Ketika anak-anak diberi kesempatan untuk memahami lebih banyak tentang emosi mereka, mereka akan memahami lebih baik tentang mengapa mereka merasakan apa yang mereka lakukan, dan juga menemukan cara yang aman untuk mengekspresikan perasaan tanpa dihakimi. Mereka juga mulai menghargai bagaimana emosi mereka dapat ditangkap oleh orang lain. Di sinilah empati mulai terasah.
Sayangnya pembelajaran sosial dan emosional tidak memiliki tempat di sebagian besar sekolah di Jakarta dan kemungkinan besar seluruh Indonesia di mana hasil akademik adalah prioritas utama.
Kaum muda sering kali adalah idealis yang ekstrem, keinginan didengar dan kepercayaan bahwa “aku bisa membuat perbedaan” cukup kuat.
Sering kali mereka sulit mendengarkan orang lain, apalagi kritikan bahwa tidak semua pendapat mereka benar. Dan penelitian menunjukkan bahwa teroris muda memiliki motivasi yang sama, tapi tersalurkan secara negatif karena tidak diterimanya keberadaan dan opini mereka oleh kalangan mereka.
Sekolah dapat memberikan saluran konstruktif yang melibatkan murid secara positif dengan komunitas mereka dengan cara yang memberi mereka harga diri lewat kreasi seni mereka.
Dari kreasi itu juga kita bisa lihat aspirasi mereka yang terlalu dalam untuk bisa mereka ekspresikan lewat kata-kata: apakah rasa kecewa, kemarahan, kesepian dan lain-lain. Berbagai perasaan tersebut sebetulnya adalah bibit-bibit negatif yang bisa tumbuh menjadi terorisme jika tidak disalurkan, misalnya lewat seni.
Proses pembelajaran ini membutuhkan keterlibatan aktif dengan kegiatan ekstrakurikuler maupun kegiatan keluarga karena ini bukan ilmu, tapi kesadaran, empati, toleransi dan “welas asih”. Dan ini semua berdasarkan keinginan mereka menciptakan karya seni yang baru dan berkualitas, yang akan menaikkan harga diri mereka tanpa harus membuktikannya dengan hal-hal negatif misalnya mengumbar kebencian lewat media sosial atau bahkan melukai atau membunuh orang lain.
Memang ada masalah dalam penyediaan guru kesenian yang mendalami bidangnya. Apalagi masih cukup umum pendapat di masyarakat kita bahwa seni adalah satu hal yang mudah.
Saya tidak bisa hitung berapa puluh (ratus?) ibu-ibu yang datang ke saya dan bilang “mas, bagaimana caranya supaya anak saya bisa main piano dalam 6 bulan (atau kadang-kadang, ehm.. bahkan 3 bulan tapi maksimal 1 tahun lah)”.
Juga tidak terhitung orang-orang yang memperkenalkan diri (atau keluarga, teman) mereka sebagai “saya penyanyi, penari” dll., dan hanya mempelajarinya dalam waktu senggang. Tidak ada orang yang mengaku “saya matematikawan, saya ilmuwan, saya astronom”, padahal bidang-bidang itu kita pelajari semua di SD sampai SMA.
Harus ada semacam penataran dan pembaruan persepsi tentang seni yang intensif ke para guru kesenian terutama SD, dalam hal seni visual, musik, tari bahkan kuliner, juga untuk anak-anak dengan disabilitas, baik oleh seniman maupun psikolog.
Pengalaman saya sendiri dalam melibatkan para pemuda/i dalam segala proyek kesenian ini adalah bahwa hal itu bersifat transformatif—dalam cara mereka melihat diri mereka sendiri, potensi mereka, komunitas yang bekerja dengan mereka dan kemampuan mereka untuk berkontribusi pada sesuatu.
Seamatir apa pun dia, untuk pertama kalinya dia merasa menjadi signifikan. Dan itu akan meningkatkan kualitas kerjanya dalam proyek itu, dan saya yakin nantinya dalam kehidupannya.
Saya sangat berterima kasih, banyak sekali masukan dan komentar setelah tulisan saya itu terbit di Kompas.
Saya mau menyebut satu, yaitu dari twitter @hardofggmanik: “Seni menghaluskan rasa, bs mendorong kontemplasi ditngah ledakan informasi skrg ini. Kebencian bisa luruh krn seni.”
Jawaban saya (bisa dibaca di @anandasukarlan): Sebetulnya tidak menghaluskan rasa. Bahkan dalam seni, rasa itu justru diperkuat karena kita harus “mendefinisikannya”, bukan lewat kata-kata tapi lewat lukisan, musik, dan sebagainya.
Seni MENYALURKAN rasa, termasuk rasa2 negatif spt marah, kecewa, bahkan benci yg sangat manusiawi.
Ananda Sukarlan
Komponis, pianis dan aktivis kebudayaan. Penerima Anugerah Kebudayaan RI 2015. Satu-satunya orang Indonesia dalam 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century, terbitan Cambridge.