Kolom Mohamad Cholid
Gordon Bethune menyelamatkan Continental Airlines dari nyaris bangkrut menjadi maskapai yang profitable. Di bawah kepemimpinannya, harga saham Continental meroket, dari US$ 2 menjadi lebih dari US$ 50. Semua dilakukannya tanpa tambahan sarana dan dengan tim yang sama – kecuali yang anti perubahan, diminta mengundurkan diri.
Dari maskapai yang selalu berada di urutan terbawah untuk semua kategori, saat dipiloti Gordon Bethune, Continental memenangi J.D Power & Associates awards untuk Customer Satisfaction lebih banyak dibanding maskapai mana pun di dunia. Selama enam tahun berturut-turut, majalah Fortune menilai Continental memenuhi syarat masuk 100 Best Companies to Work di AS.
Pada tahun terakhir kepemimpinan Gordon Bethune (CEO Continental Airlines 1994 – 2004), Fortune pada 2004 juga menobatkan Continental sebagai No. 1 Most Admired Global Airline – gelar yang juga diperoleh Continental pada 2005, 2006, 2007, dan 2008.
Perilaku kepemimpinan seperti apa yang dikembangkan Gordon Bethune sehingga dapat menjadikan Continental Airlines kinerjanya meningkat secara fenomenal?
Sebelum Gordon Bethune pegang kendali sebagai CEO, lantai 21 gedung pusat Continental Airlines merupakan “wilayah keramat”, tempat Frank Lorenzo, CEO pendahulu Bethune, berkantor. Kamera keamanan ada di setiap sudut. Petugas keamanan bersenjata juga rajin kontrol. Tidak sembarang orang memiliki akses ke situ. Minimal Senior Vice President yang dibolehkan masuk ke kawasan tersebut.
Anda barangkali langsung dapat menyimpulkan, perilaku kepemimpinan seperti itu merupakan indikasi perusahaan mengalami krisis kepercayaan. Bahkan ada cerita, saat terbang dengan Continental, Frank Lorenzo kabarnya selalu harus membuka sendiri minuman kaleng yang dihidangkan, karena dia tidak percaya aman kalau sampai ke tangannya sudah dalam keadaan terbuka.
Perilaku kepemimpinan para bos bercorak kolonialis dan feodalistis tersebut dirombak total oleh Gordon Bethune.
Sebagai CEO, Bethune memposisikan diri incredibly accessible – lantai 21 dapat diakses siapa saja, tidak ada lagi petugas sekuriti hilir mudik. Bahkan biasa pula bagi Bethune untuk tiba-tiba muncul di antara para petugas yang menangani bagasi di bandara, lalu dia ikut sibuk. Ia menganggap semua tim adalah anggota keluarga dan sama-sama kerja.
Bethune melakukan itu semua bukan untuk pencitraan, tapi sebagai upaya membangun budaya kerja baru mengajak para karyawan fokus pada hal-hal yang paling utama dalam bisnis penerbangan. Satu di antaranya adalah lepas landas tepat waktu, karena ini punya dampak signifikan pada performa usaha.
Pada awal 1990-an, sebelum Bethune dipercaya pemegang saham untuk jadi CEO, Continental memiliki rating terendah dalam ketepatan waktu di antara 10 maskapai terbesar. Kepada seluruh anggota tim, Bethune mengatakan, jika Continental setiap bulan persentasi on-time-nya masuk top five, setiap orang akan mendapatkan insentif US$ 65.
Pada 1995 karyawan Continental 40.000 orang. Berarti untuk menebus prestasi on-time setiap bulannya, perusahaan mesti merogoh cash US$ 2,5 juta. Menurut kalkulasi Bethune itu lebih menguntungkan, ketimbang harus membayar ongkos-ongkos keterlambatan per bulan yang bisa sampai US$ 5 juta – antara lain untuk miss-connections dan biaya menginap para penumpang.
Lebih penting dari itu adalah, puluhan ribu orang, termasuk para bosnya, jadinya bekerja fokus pada tujuan yang sama. Ini pertama kali terjadi dalam sejarah Continental.
Bonus US$ 65 tersebut tidak ditambahkan ke gaji, tapi diberikan dengan cek tersendiri, sebagai simbol kemenangan, disertai ucapan: Thank you for helping make Continental one of the best.
Untuk meraih prestasi selalu on-time dan the best adalah tanggung jawab semua orang. Para karyawan secara bersama-sama dapat mengontrol langkah-langkahnya. “We make the stakes something the employees would win or lose on together, not separately,” kata Bethune (Start with Why, Simon Sinek).
Untuk menjaga semangat saling percaya di antara karyawan dan antara karyawan dengan dewan direktur, semua level jabatan diperlakukan sama. Ada seorang eksekutif yang menahan Continental terbang gara-gara dia terlambat tiba di bandara, keesokannya diminta oleh Dewan Direksi untuk mengundurkan diri.
Total 39 orang, dari 50 top executives, yang juga diminta mundur karena tidak bisa menyesuaikan dengan budaya baru Continental. Sehebat apa pun pengalaman mereka kalau tidak bisa menjadi team player diminta keluar.
Bethune meyakini bahwa membangun tim bukan dengan pidato motivasi yang gegap-gempita dan bonus diberikan hanya pada eksekutif senior saat revenue mencapai target. Baginya, untuk membangun the real team yang mampu sukses berkesinambungan, semua orang harus merasakan bahwa mereka bekerja bukan untuk bos, untuk pemegang saham, bahkan tidak pula hanya untuk para pelanggan, tapi mereka bekerja meraih kemenangan untuk mereka sendiri.
Membangun budaya kerja yang saling percaya dan saling menolong di antara anggota tim, didukung oleh transparansi dan satu set angka-angka yang menjadi target bersama, juga dilakukan oleh Alan Mulally saat mengubah Ford Motor Company dari merugi belasan milyar dolar AS bebalik mampu meraih profit.
Alan adalah klien Marshall Goldsmith sejak 2001 ketika memimpin divisi komersial Boeing. Kemudian, ketika jadi CEO Ford (2006 – 2014), ia mempraktikkan secara konsisten Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching.
Ford pada 2000-an sempat oleng kena imbas resesi. Alan Mulally berhasil memulihkan kondisi perusahaan dan meraih untung, dengan dukungan tim yang sama — kecuali dua orang anggota direksi yang merasa tidak bisa mengikuti cara kerjanya. Transparansi, saling percaya di antara anggota tim, saling menolong, ikut menentukan Ford berhasil sebagai satu-satunya perusahaan otomotif AS yang bangkit kembali tanpa menggunakan bailout fund dari pemerintah.
“An important part of leadership is being able to hold two things in your mind at once: Dealing with the reality, whatever it may be, and focus on hope for the future. Any leader helping an organization through challenges needs to be able to do both,” kata Alan Mulally.
Bagi Anda yang merasa pantas jadi pemimpin, di level supervisor sampai (apalagi) direktur utama, sebagai Kepala Desa apalagi setingkat Presiden, keberanian menghadapi realitas apa adanya merupakan kebutuhan mutlak. Barbasis pada fakta kita akan mampu menata ulang langkah-langkah baru menjemput sukses.
Face the brutal facts, kata Jim Collins, profesor pasca sarjana bisnis Stanford University, AS. Pernyataan Jim Collins berdasarkan hasil riset atas 11 organisasi yang nilai sahamnya terus naik selama 20 tahun. Perilaku kepemimpinan para CEO-nya bermiripan: selain punya courage menghadapi fakta dan sigap melakukan perubahan, mereka umumnya juga rendah hati menerima perspektif beda, meningkatkan kompetensi, serta memiliki professional will yang kuat.
Ke-11 organisasi tersebut diukur dan dibandingkan dengan 11 organisasi di industri sejenis, pada periode yang sama (artinya menghadapi tantangan pasar yang sama). Pada perusahaan pembanding yang sekedar bagus, atau bahkan pada akhirnya gagal, umumnya perilaku para bos mereka tinggi hati (Good to Great, Jim Collins).
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman