Mohamad Cholid *
“86% of employees at strong cultures feel their senior leadership listens to employees, compared with 70% of employees at non-winning cultures.” – CultureiQ.
Dalam keriuhan manusia di acara-acara pertemuan keluarga besar dan kalangan pejabat dengan para tamunya (termasuk para vendors) pada event Lebaran, umumnya hampir semua orang bicara. Di arena semacam itu, kita sulit sekali menemukan orang-orang yang sabar jadi pendengar dan sedikit bicara.
Hampir semua orang berebut memperlihatkan diri — utamanya di arena pertemuan anggota keluarga dan kerabat — bahwa dirinya sudah meraih jabatan baru di kantor, bercerita anak buahnya makin banyak, mobilnya tambah, dan sebagainya.
Sebagian kalangan menyebut Lebaran adalah “hari kemenangan”, kendati mungkin tanpa pemahaman yang jelas, kemenangan atas apa. Perilaku mereka sama saja antara sebelum puasa dan usai Ramadhan, yaitu: memperlihatkan bukti sukses hanya pada kepemilikan benda-benda baru atau jabatan. Lalu mengumbar omongan yang itu-itu saja nyaris pada setiap acara pertemuan.
Mungkin saja orang semacam itu tidak bermaksud sombong, hanya saja belum bisa bicara lebih dari urusan perut dan sekitarnya — kalaupun seolah-olah bicara situasi negara, isinya gosip tak keruan tentang sosok-sosok tertentu. Hanya itu.
Bayangkan apa jadinya jika kualitas pemikiran dan kematangan para manajer, kepala cabang, atau kepala unit di organisasi Anda hanya sebatas itu, sementara organisasi yang Anda nakhodai memberikan impact besar bagi ekonomi nasional? Mereka mungkin punya ketrampilan teknis. Tapi apa itu memadai untuk mendukung perubahan dan memacu kinerja organisasi agar jadi lebih kinclong?
Dua puluh tahun lalu barangkali Anda dapat mengandalkan para manajer dengan kualitas seperti itu, melulu mengandalkan ketrampilan teknis sesuai pelatihan skills dari organisasi dan menjalankan business as usual – tanpa bekal kompetensi kepemimpinan yang diperlukan untuk mengatasi tantangan perubahan global.
Para manajer yang hanya mengandalkan kemampuan teknis umumnya merasa paling jagoan di bidangnya, cenderung menepis masukan pihak lain atau sulit menjadi pendengar yang baik. Mereka lebih banyak melihat dunia sesuai dengan kondisi pikiran dan mental mereka; bukan meyimak apa adanya sesuai fakta.
Kalau para eksekutif (apalagi yang senior) terkena wabah preconceived notion, mau mendengarkan hal-hal baru hanya yang sesuai dengan yang sudah tergambar di benak masing-masing, dipastikan tidak ada perkembangan kompetensi kepemimpinan. Kondisi semacam itu yang berlarut-larut telah menyebabkan sejumlah organisasi kehilangan konteks kehadirannya di dunia.
“… Ketrampilan dan kesediaan mendengarkan dengan efektif belakangan ini memang merupakan kemewahan, apalagi di tengah banyak orang yang merasa sukses lantas berteriak-teriak melalui media sosial.”
Kemungkinan Anda sering melihat, orang-orang yang tidak bersedia mendengar realitas apa adanya, biasanya memaksakan kehendaknya dengan segala cara.
Bahkan ada yang kalau mendengar info tidak menyenangkan hatinya, kadang melempar telepon seluler yang kebetulan tengah digenggamnya kepada si penyampai pesan – ini terjadi di lingkungan sebuah organisasi non-bisnis, di mana orang yang merasa layak memimpin tersebut tumbuh di lingkungan para penggembira; bukan bersama tim/teman sejati yang siap menghadirkan fakta-fakta sepahit apa pun.
Di dunia bisnis, sebagaimana Anda ketahui, salah satu contoh klasik organisasi yang mengalami kesulitan berat akibat para eksekutif seniornya menolak perspektif baru dan menutup pintu inovasi adalah Kodak. Pada awal 2012 Kodak minta perlindungan pemerintah AS dari ancaman bangkrut – sebelum kemudian akhir 2013 berupaya bangkit kembali dengan fokus bisnis berubah, ke Digital Printing & Enterprise and Graphics, Entertainment & Commercial Films.
Kunci agar selamat dan meraih sukses berkesinambungan adalah bersedia mendengarkan pendapat berbeda, melihat fakta tanpa filter, dan berani membuka perspektif baru. Gagasan-gagasan yang “digalvanisasi” (galvanized) oleh pendapat-pendapat yang mungkin saja berbeda, asumsi-asumsi yang perlu selalu diuji ulang dengan perspektif alternatif, akan menghasilkan dinamika baru.
Itu perilaku kepemimpinan para manajer di organisasi-organisasi yang nilai sahamnya terus tumbuh selama belasan tahun (Good to Great by Jim Collins), para start up yang sukses menjadi unicorn, dan di organisasi-organisasi yang berkembang secara eksponensial, di antaranya Google, Haier, Xiaomi, Netflix (Exponential Organizations by Salim Ismail, Michael S. Malone, and Yuri Van Geest).
Rob Neil, CEO dan Associate Founder Singularity University menelaah kualitas kepemimpinan di organisasi-organisasi yang tumbuh secara eksponensial, mendapati enam karakter, yaitu: Visionary Customer Advocate; Data-Driven Experimentalist; Optimistic Realist; Extreme Adaptability; Radical Openness; dan Hyper-Confident.
Dua di antaranya, Extreme Adaptability dan Radical Openness jelas memerlukan kemampuan dan kemauan terus meningkatkan kompetensi, serta kesediaan Anda mendengarkan pihak lain dari luar organisasi. Ketrampilan dan kesediaan mendengarkan dengan efektif belakangan ini memang merupakan kemewahan, apalagi di tengah banyak orang yang merasa sukses lantas “berteriak-teriak” (melalui media sosial dan lingkungan pergaulan) memperlihatkan diri.
Di level negara, keberhasilan Winston Churchill memimpin Inggris menang menghadapi Hitler antara lain dengan membentuk tim khusus di luar jalur birokrasi, yang tugas utamanya memberi input informasi sesuai fakta apa adanya. Pahit sekalipun, tanpa polesan. Agar bisa menentukan eksekusi secara tepat, sesuai momentum.
Bagaimana mewujudkan minimal dua dari enam karakter kepemimpinan tersebut di atas agar lebih sukses lagi meningkatkan kualitas leadership team dalam kegiatan sehari-hari di organisasi Anda?
Saran saya, tahap pertama praktikkan saja tiga kebajikan dasar pijakan pengembangan kepemimpinan metode Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC), yaitu courage, humility, dan discipline. Ini sudah proven dipakai oleh ribuan organisasi, utamanya multinasional, di dunia – di antaranya Microsoft, Ford, GE, Apple, Citibank, dan Hyatt.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching, Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching, Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment, Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman