Catatan Bahrul Ilmi Yakup
Virus sengkarut Pilpres, akhirnya menyeret BUMN khususnya terkait status Kyai Haji Ma’ruf Amin (KHMA) sebagai Dewan Pengawas Bank Syariah. Segelintir politisi dan sarjana hukum mendadak “menjadi pakar” BUMN, seraya mengumbar berbagai opini sesat ke publik. Celakanya, oleh karena gerbong opini yang dirilis tersebut sarat kepentingan politik, maka opini yang dimunculkan bukan saja parsial dan tidak sahih secara teori dan norma hukum, lebih dari itu memunculkan sesat paham terhadap BUMN sebagai badan usaha milik negara, yang secara aktual dan potensial dapat merugikan kepentingan BUMN.
Sebagai badan usaha milik negara, BUMN Indonesia dapat dipahami dalam 3 level, yaitu ideologi ekonomi, UUD 1945 sebagai konstitusi negara dan norma undang- undang terkait, serta praktik pengelolaan BUMN dan anak perusahaannya.
Ideologi Mix Economy dan BUMN
Pada level ideologi, ekonomi dunia secara ekstrim terbagi dalam 2 kelompok, yaitu sosialisme dalam berbingkai sistem politik komunisme, dan kapitalisme dalam bingkai sistem politik liberalisme. Kedua ideologi ekonomi tersebut sejak abad ke 18 sampai dengan abad ke 20 terus bertarung dalam proses dialektika sistem politik.
Oleh karena itu, di negara-negara berideologi politik liberal yang melahirkan dan menganut demokrasi sebagai metode pengisian jabatan politik dan pengambilan keputusan politik, baik yang menganut sistem pemerintahan parlementer maupun presidensial, seperti Inggris dan negara-negara jajahannya, Amerika dan Perancis, BUMN diperlakukan sebagai badan hukum “swasta”, dalam konstruksi hukum demikian, relasi negara dengan BUMN hanya sebatas negara sebagai pemegang saham perseroan. Kewenangan negara terhadap BUMN hanya terbatas pada kewenangan pemegang saham. Negara tidak memiliki wewenang publik yang bersifat memaksa yang bersumber dari kedaulatan negara terhadap BUMN.
Oleh karena itu, pada negara-negara liberalisme, sebutan yang digunakan untuk BUMN umumnya adalah “State Owned Enterprise (SOE)” atau “State Owned Company (SOC)”. Mereka tidak menggunakan sebutan “State Enterprise” (SE) yang mencerminkan relasi publik antara negara dengan BUMN. Dalam konteks demikian, relasi negara dengan BUMN diukur dan dipolakan dalam teori-teori perusahaan modern, seperti Agency Theory (Teori Keagenan) dan Teori Kontrak (Contract Theory).
“… Relasi negara dengan BUMN adalah relasi yang bersumber dari kedaulatan negara yang bersifat publik yang dijelaskan dengan Teori Komuniter (Communitaire Theory).”
Sebaliknya, negara-negara yang menganut ideologi politik absolutisme berbingkai sistem politik komunisme, BUMN diperlakukan sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan publik yang bersifat memaksa. Relasi negara dengan BUMN adalah relasi yang bersumber dari kedaulatan negara yang bersifat publik yang dijelaskan dengan Teori Komuniter (Communitaire Theory). Oleh karena itu, pada negara-negara komunis yang menganut sistem ekonomi sosialisme, seperti Tiongkok dan Uni Soviet, BUMN memonopoli kegiatan ekonomi negara.
Namun negara-negara Skandinavia mengembangkan pola lain dalam menata hubungan negara dengan BUMN, yaitu relasi campuran. Ada BUMN yang memiliki kewenangan publik yang bersifat memaksa, khususnya untuk BUMN yang menguasasi sektor strategis, seperti energi, telekomnukasi, dan ada BUMN yang diberi status sebagai perusahaan swasta. Oleh karena itu, relasi negara dengan BUMN di negara-negara skandinavia, umumnya dijelaskan dengan Teori Konsesi (Concession Theory).
Sejak berkembangnya teori ekonomi campuran (Mix Economy Theory) yang dikembangkan oleh Friedmann tahun 1970-an, relasi negara dengan BUMN mengalami pergeseran ke arah teori Konsesi. Amerika mulai membentuk dan menempatkan BUMN sebagai instumen negara, seperti Overseas Private Investment Company (OPIC). Sementara Tingkok mengembangkan BUMN dalam frame Multi Tasking Theory, yang menggeser BUMN dari lembaga negara yang bersifat publik, menjadi badan usaha yang bersifat privat dan publik.
Konstruksi Hukum BUMN Indonesia
Dalam rangkaian perdebatan Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bulan Mei-Juni 1945, para pendiri negara tegas menolak sistem ekonomi liberalism maupun sosialisme berbingkai komunisme. Tanpa menyebut sistem ekonomi campuran yang saat itu memang belum populer, para pendiri negara, khususnya Mohammad Hatta menggagas negara memiliki kedaulatan di bidang ekonomi agar negara dapat memberi kemakmuran kepada rakyat.
Gagasan tersebut kemudian diformulasikan dalam norma Pasal 33 UUD 1945 naskah awal. Paradigma dan substansi original intent UUD 1945 jelas menganut ideologi ekonomi campuran, yang menata relasi negara dengan BUMN berdasarkan teori Konsesi. BUMN sebagai pelaku usaha yang mengemban dan mengembang hak menguasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang dalam berbagai putusan Mahakamah Konstitusi dirinci menjadi kebijakan, pengurusan, pengaturan, pegelolaan dan pengawasan terhadap sumber daya ekonomi berupa bumi, air, udara, dan kekayaan alam yang dikandunganya.
Namun gagasan konstitusional tersebut, dalam praktiknya tidak terformulasi dan tidak diwujudkan secara baik dan konsekuen, dikarenakan 3 alasan; (1). Pada awal kemerderkaan tidak dibentuk undang-undang sebagai payung hukum yang mengatur dan memberi pola badan hukum BUMN, (2). Awalnya BUMN dibentuk secara sporadik tanpa konstruksi dan pola tertentu yang menyebabkan BUMN Indonesia multipolar, (3). BUMN Indonesia banyak yang berasal dari perusahaan asing hasil nasionalisasi yang beragam bentuk seperti perusahaan perorangan, firma, atau perseroan terbatas. Akibatnya, pada periode 1945-1960, BUMN Indonesia bersifat multipolar tanpa memiliki konstruksi hukum yang baku.
Penataan dan pembakuan pengaturan BUMN Indonesia baru dimulai tahun 1960 seiring terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.19 Tahun 1960 yang diundangan dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1961 tentang Penetapan Perppu No.19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara Menjadi Undang- Undang yang mengintrodusir satu matra BUMN yaitu perusahaan yang modalnya berasal dari keuangan negara tanpa mengubah bentuknya yang multipolar.
Penataan dan pembakuan bentuk badan hukum BUMN baru muncul dengan terbitnya Perppu No.1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Perusahaan Negara yang membagi Perusahaan Negara ke dalam 3 bentuk, yaitu Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum, dan Persero. Perjan adalah Perusahaan Negara yang didirikan dan diatur menurut ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Indonesische Bedrijvenwet. Perum adalah Perusahaan Negara yang didirikan dan diatur berdasarkan ketentuan- ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 19 Prp. tahun 1960. Persero adalah penyertaan negara dalam perseroan terbatas seperti diatur menurut ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
Pola badan hukum BUMN tersebut kemudian disederhanakan menjadi 2, yaitu Perum dan Persero oleh UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN yang mendefinisi BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan modal secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Sengkarut Pengelolaan BUMN
Konstruksi yuridis BUMN senyatanya belum dipahami secara tepat, baik oleh pemerintah maupun para pengelola BUMN, akibatnya muncul sengkarut pada level pengaturan teknis maupun pada level praktik pengelolaan BUMN, contohnya muncul Surat Edaran Meneg BUMN No.1 Tahun 2019 yang mengatur sekaligus menyamakan kedudukan BUMN dengan anak perusahaan BUMN. Sesat paham terhadap BUMN juga terjadi pada proses penegakan hukum pidana yang secara serampangan mematrakan keuangan BUMN sebagai keuangan negara.
Dalam konstruksi hukum, status anak perusahaan BUMN (subsidiary) berbeda dengan BUMN. Anak perusahaan BUMN bukan merupakan BUMN. Oleh karena relasi BUMN dengan anak perusahaannya hanya sebatas BUMN sebagai pemegang saham yang wewenangnya bersifat privat tidak publik.
Namun demikian, bukan berarti BUMN Persero maupun anak perusahaannya sama sekali tidak mengelola keuangan negara dan tidak memiliki wewenang publik. Wewenang publik dan keuangan negara pada BUMN Persero maupun pada anak perusahannya tidak dapat digeneralisir melainkan haruslah dilihat secara kasuistis, berdasarkan open legal policy pemerintah terhadap BUMN Persero atau anak perusahaanya. Oleh karena itu, BUMN maupun anak perusahaannya dapat memiliki wewenang publik dan mengelola keuangan negara manakala mengemban penugasan negara atau melaksanakan public service obligation.
Bahrul Ilmi Yakup – Doktor Hukum BUMN, Dosen Pascasarjana Universitas Jayabaya