Kolom Hersubeno Arief
Anti Klimaks! Tak bisa dipercaya! Hanya itu kata yang paling pas untuk menggambarkan keputusan Prabowo membubarkan Koalisi Adil Makmur. Anggota koalisi, Partai Demokrat, PAN, PKS, Partai Berkarya, dan tentu saja Gerindra dibebaskan untuk menentukan pilihan politik masing-masing.
Mau tetap mengambil peran sebagai oposisi, monggo. Mau bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi, silakan.
Dengan catatan kalau diajak. Dengan catatan kalau tawaran untuk bergabung diterima. Dengan catatan kalau deal-deal, tawar menawarnya cocok.
Ketentuan itu berlaku untuk semua partai. Ketentuan itu —sekali lagi— tentu saja berlaku juga untuk Gerindra.
Keputusan yang diambil hanya selang dua hari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) menolak gugatan Prabowo-Sandi ini disambut dengan perasaan campur aduk.
Banyak yang marah, menangis, memaki-maki, kecewa, namun ada juga yang hanya bisa terlongong-longong, tidak bisa memahami realitas politik yang berubah begitu cepat.
Kemana janji Prabowo yang diucapkan di Hotel Sahid Jaya Jakarta 14 Mei lalu? Menolak kecurangan, tidak bisa menerima ketidakadilan dan ketidakjujuran. Dan yang lebih penting lagi “akan timbul dan tenggelam bersama rakyat.”
Rakyat belum move on, masih ingin terus mempersoalkan kecurangan Pilpres, tiba-tiba Prabowo membubarkan koalisi. Tiba-tiba mempersilakan parpol koalisi menentukan pilihan politik masing-masing, tanpa “konsultasi” terlebih dahulu dengan rakyat pendukungnya.
Apakah Prabowo sudah lupa dengan para buruh migran yang menyerahkan ratusan juta uang tabungannya untuk kampanye. Rizal karyawan bengkel di Padang yang mengikhlaskan uang tabungannya untuk dana perjuangan.
Apakah Prabowo tidak ingat bagaimana dia diaduk-aduk rasa haru dan meneteskan airmatanya ketika Gendis seorang bocah kelas 3 SD di Medan menyerahkan celengan kepadanya.
Apa Prabowo bisa begitu cepat melupakan perjuangan emak-emak, para relawan, para simpatisan yang mengelu-elukannya dalam setiap kampanye. Apakah dia tak lagi terbayang wajah-wajah jutaan rakyat yang penuh harap terjadi perubahan?
Agar tak terlalu terkejut lagi, pendukung Prabowo mulai hari ini sebaiknya bersiap-siap menerima kemungkinan munculnya kejutan baru: Prabowo dan Gerindra bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi!
Ketika hal itu akhirnya benar-benar terjadi, para pendukung, apalagi emak-emak, tak perlu marah-marah, maki-maki, dan menangis tidur tengkurap memeluk bantal semalaman.
Cukup dimaklumi saja : Yah namanya juga politisi. Jangan terlalu dibawa main hati. Ini benar-benar urusan politik. Tak ada kaitannya dengan nilai-nilai etik dan moral.
Orang sekelas Donald Trump, seorang Presiden AS yang dianggap paling memalukan sepanjang sejarah saja sampai berkata: One of the key problems today is that politics is such a disgrace, good people do not go into government.
Salah satu masalah utama saat ini, bahwa politik telah menjadi aib, sesuatu yang memalukan. Orang baik tidak ada yang mau masuk ke dalam pemerintahan.
Aksi Jalanan
Bahwa semua partai termasuk Gerindra bergabung dengan pemerintah, sesungguhnya bukan persoalan 01, 02. Bukan persoalan sentimental, melankolis. Apalagi persoalan pendukung paslon 02 yang tidak bisa move on.
Ini adalah masalah kelangsungan kehidupan demokrasi. Penting untuk kebaikan kehidupan berbangsa negara, bahkan untuk kebaikan pemerintahan Jokowi sendiri. Itu kalau para politisi masih percaya bahwa demokrasi adalah satu-satunya pilihan terbaik.
Lain masalahnya jika para politisi menganggap bahwa demokrasi, pemilu hanya sekedar justifikasi telah memperoleh mandat rakyat.
Para elit yang tadinya tampak bermusuhan, tiba-tiba bisa dengan mudahnya bagi-bagi kekuasaan di belakang punggung rakyat.
Demokrasi semu (Ersatz Democracy). Hanya bersifat prosedural dan artifisial. Yang penting pemilu telah berjalan. Pilpres telah dilaksanakan.
Tak penting siapa yang menang, siapa yang kalah. Setelah itu baku atur. “Saya dan kami dapat apa. Kamu dan kalian kebagian apa?”
Sebelum melangkah lebih jauh, please dipertimbangkan lagi beberapa hal berikut ini:
Pertama, tanpa oposisi pemerintahan Jokowi akan kehilangan partner sekaligus lawan yang diperlukan di luar pemerintahan. Oposisi bisa membantunya melakukan kontrol terhadap kinerja aparat pemerintah, dan para pembantunya.
Seperti seorang petinju, untuk mejadi juara, dia membutuhkan seorang partner latih tanding (sparing partner). Bahkan bila tidak ada lawan latih tanding, seorang petinju perlu terus berlatih melawan bayangan (shadow boxing).
Hanya dengan cara seperti itu, seorang petinju bisa kuat, tekniknya meningkat dan menjadi juara.
Kedua, oposisi penting untuk menjaga agar Jokowi tidak tergelincir dari seorang demokrat menjadi otoriter.
Jangan sampai Jokowi —tokoh populis yang hanya bisa tampil ke tampuk elit kekuasaan karena proses demokrasi— kemudian malah membunuh demokrasi.
Periode kedua ini harus benar-benar dimanfaatkan Jokowi untuk meninggalkan warisan (legacy) sebagai seorang kepala negara. Ingin seperti apa dia akan dikenang.
Ketiga, oposisi sangat diperlukan oleh pemerintahan Jokowi sebagai kanal resmi perlawanan rakyat menyalurkan aspirasinya.
Bila aspirasi mereka tersumbat karena tak ada kelompok oposisi di parlemen yang menyuarakannya, perlawanan rakyat bisa berubah menjadi aksi jalanan.
Rakyat tak lagi percaya kepada para politisi, lembaga-lembaga resmi pemerintah, dan pranata-pranata lainnya.
Terjadi pembangkangan massal (people disobedience). Di media sosial sudah muncul wacana menolak membayar pajak, menarik dana dari bank-bank pemerintah dan milik konglomerat dan berbagai aksi vandalisme lainnya.
Bila itu terjadi, yang rugi juga pemerintah sendiri. Akan terjadi instabilitas. Situasi politik akan terus bergolak, dan pemerintahan biasanya menggunakan tangan besi untuk meredamnya. Jelas hal itu tidak baik bagi citra pemerintah.
Untuk menjaga kewarasan nalar dan akal sehat bangsa, tidak perlu lah pemerintahan Jokowi menggoda, memecah belah oposisi. Toh posisi partai pendukung pemerintah sudah cukup kuat.
Total kursi di parlemen lebih dari 60 persen. Sudah lebih dari cukup untuk memuluskan setiap kebijakan pemerintah. Tinggal menjaga soliditas.
Bila oposisi, apalagi Gerindra sebagai pemilik kursi kedua terbanyak di parlemen bergabung, maka jatah kursi partai pendukung di kabinet akan berkurang. Mereka harus rela berbagi. Jelas hal itu akan menimbulkan ketidakpuasan dan mengganggu soliditas.
Bagi oposisi khususnya Gerindra, jika akhirnya memutuskan bergabung dengan pemerintah, dalam jangka panjang akan merugikan.
Keputusan itu akan menjadi bunuh diri politik, bagi Prabowo dan bagi Gerindra. Modal sosial dan politik puluhan tahun dibangun Prabowo hancur hanya dalam sekejap. Digantikan dengan sumber daya ekonomi di pemerintahan yang tidak seberapa.
Perjuangan puluhan tahun menegakkan reputasi dan kredibilitas Prabowo akan hancur hanya karena kenikmatan sesaat yang sesat.