Oleh Nadirsyah Hosen
Belakangan ini kembali para pendukung khilafah mengelabui publik dengan mengklaim bahwa “kembalinya khilafah sebagai wujud kekuasaan umat Islam” merupakan janji Allah SWT dalam QS an-Nur ayat 55:
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal yang saleh bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi…”
Bahkan ada dari kalangan mereka yang berani mengklaim siapa yang tidak percaya dengan janji Allah akan kedatangan kembali Khilafah telah murtad. Benarkah klaim pro-khilafah ini? Kajian komparasi sejumlah kitab tafsir klasik dan kontemporer nyata-nyata menunjukkan bahwa pemahaman mereka KELIRU BESAR.
Kita mulai dengan asbabun nuzul ayat ini. Tafsir al-Munir karya Syekh Wahbah az-Zuhayli menyebutkan:
Ketika Rasulullah Saw bersama para sahabatnya sampai ke Madinah, dan disambut serta dijamin keperluan hidupnya oleh kaum Ansar, mereka tidak melepaskan senjatanya siang dan malam, karena selalu diincar oleh kaum kafir. Mereka berkata kepada Nabi: “Kapan engkau dapat melihat kami hidup aman dan tenteram tiada takut kecuali kepada Allah.” Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, sebagai jaminan dari Allah Swt bahwa mereka akan dianugerahi kekuasaan di muka bumi.
Pertanyaannya kapankah janji Allah ini terpenuhi? Pelacakan saya terhadap sejumlah kitab tafsir menunjukkan ada 3 pendapat.
Pertama, janji Allah ini telah tertunaikan pada masa Nabi Muhammad dalam peristiwa Fathu Makkah, di mana Nabi dan pasukannya memasuki kota Mekkah dengan tanpa perlawanan. Tafsir generasi awal cenderung memahaminya seperti ini. Lihat Tafsir Ibn Abbas (1/298) dan Tafsir Muqatil (3/206).
Kedua, sebagian kitab Tafsir mengatakan janji ini telah tuntas dipenuhi Allah pada masa Nabi Muhammad dan al-Khulafa ar-Rasyidun (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Lihat Ibn Katsir (6/77), Bahrul Ulum (2/52), al-Baghawi (3/426), al-Kasyaf (3/521), al-Baydhawi (4/112), an-Nasafi (2/515), Dar al-Mansur(6/215).
Alasan mereka adalah adanya Hadits Sahih di mana Nabi mengatakan kekhilafahan itu hanya berlansung selama 30 tahun. Dan itu terpenuhi dalam periode al-Khulafa ar-Rasyidun.
Tafsir at-Thabari menyebutkan ada yang membatasi periode janji Allah terpenuhi sampai tiba masa pembunuhan Khalifah Utsman. Karena kekecauan (fitnatul kubra) mulai terjadi sejak periode akhir Sayidina Utsman itu.
Tafsir ar-Razi malah menyebutkan pendapat yang membatasinya hanya pada 3 Khalifah pertama karena pada masa inilah ekspansi Islam meluas, namun pada masa Sayidina Ali disibukkan oleh perpecahan dan perang saudara.
Tafsir ar-Razi juga menyebutkan adanya pendapat yang menentang memasukkan period el-Khulafa ar-Rasyidun dalam kandungan ayat ini karena penggalan ayat selanjutnya “sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa,” padahal kekuasaan sebelum Islam itu tidak datang lewat kekhilafahan. Jadi ayat ini cukup hanya pada periode Nabi Muhammad saja. Penggalan ayat ini dimaknai sebagaimana kekuasaan Bani Israil dan para Nabi sebelumnya seperti Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman.
Ketiga, ada beberapa kitab tafsir yang meluaskan lagi kandungan ayat ini, yang tidak hanya terbatas pada masa Nabi Muhammad dan/atau al-Khulafa ar-Rasyidun, tapi juga pada masa-masa selanjutnya termasuk masa sekarang dan akan datang.
Tafsir Fathul Qadir (4/55) memaknai kekuasaan sebelum Nabi itu tidak hanya terbatas pada Bani Israil, dan karenanya juga tidak membatasi makna ayat ini pada masa Nabi di Mekkah dan khalifah yang empat, tapi menggunakan keumuman ayat. Tafsir al-Qurthubi (12/299) juga menyetujui keumuman ayat ini. Namun, apa implikasi dari keumuman ayat ini?
Sa’id Hawa dalam Asas at-Tafsir (7/3802) menganggap janji Allah dalam ayat ini akan terus berlangsung sampai semua akan masuk Islam. Tafsir al-Wasith (6/1457) karya Majma’ al-Bunuts Islamiyah di al-Azhar Mesir juga mengisyaratkan bahwa janji Allah ini terwujud ketika Islam tersebar di penjuru dunia timur dan barat. Jadi tidak dibatasi pada masa lalu saja. Berarti ini masalah dakwah, bukan soal kekhilafahan.
Nah, yang menarik, semua kitab tafsir di atas, termasuk mereka yang menganggap ayat ini berlaku umum, tidak satupun menyinggung akan kembalinya Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah seperti yang sering digelorakan oleh kelompok Pro-Khilafah. Para ulama tafsir itu bahkan tidak mengutip riwayat Musnad Ahmad soal ini, yang amat populer di kalangan HTI, namun sudah pernah saya jelaskan dengan tuntas dan detil bahwa sanadnya pun lemah dan bermasalah.
Kesimpulannya: QS an-Nur ayat 55 tidak bicara soal institusi atau sistem pemerintah khilafah. Al-Qur’an memang tidak pernah menyinggung sistem kenegaraan dengan detil. Ayat ini juga tidak bicara tentang akan kembalinya khilafah setelah bubar. Tidak ada janji Allah akan kembalinya sistem khilafah. Ini hanya halusinasi kaum HTI saja yang tidak bisa menerima kenyataan kita hidup damai dan aman di NKRI.
Umat Islam bisa berkuasa menurut ayat ini dan ayat selanjutnya dengan jalan beriman dan beramal soleh, tidak menyekutukanNya, menegakkan Shalat, membayar zakat dan taat pada Rasulullah Saw. Dengan jalan inilah Allah akan meridhai, memberi rasa aman dan memberi kita rahmat. Namun siapa yang kufur terhadap nikmat yang Allah berikan mereka itulah orang yang fasiq, sebagaimana dinyatakan dengan jelas oleh ayat ini.
Janganlah kita kufur terhadap nikmat Allah berupa hidup yang damai dan tentram di NKRI. Kita tinggal mensyukurinya dengan terus bekerja mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945.
Nadirsyah Hosen
- Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama
- Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School