Kolom Farid Gaban
Belakangan ini banyak orang risau tentang apa yang mereka sebut sebagai radikalisme dan lunturnya kesadaran akan kebhinekaan. Termasuk di kampus-kampus. Secara spesifik, orang menyebut ancaman ideologi Wahabi, Salafi, ormas Hizbut Tahrir Indonesia, dan gerakan Tarbiyah yang termanifestasi dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Meski berbeda-beda, semua itu sering keliru disebut dalam satu nafas: radikalisme, yang berkonotasi kekerasan. Di sejumlah saluran media sosial, orang membagikan daftar apa yang mereka sebut ulama/ustadz HTI. Juga daftar kampus-kampus yang katanya “terpapar radikalisme”.
Tujuan menyebarkan daftar seperti itu mungkin agar orang tak mengundang tokoh HTI atau terpengaruh oleh mereka. Tapi, praktek seperti ini bisa tergelincir menjadi semacam “witch-hunting”.
Istilah “witch-hunting” populer di Abad Pertengahan Eropa. Orang yang diberi label “tukang tenung” atau “dukun santet” diburu, didaftar dan dibantai.
HTI kini disebut ormas terlarang, seperti halnya Partai Komunis Indonesia (PKI). Di masa lalu, dengan dukungan Orde Baru, tentara dan Amerika Serikat, orang membuat “daftar komunis”, untuk didiskriminasi, bahkan dibantai secara harafiah.
Sebagian korban diskriminasi dan pembantaian komunis itu adalah orang yang masuk daftar hanya karena sentimen pribadi atau hal yang tak ada kaitannya dengan ideologi.
Ironisnya, belum lama lalu, sebagian kelompok Islam di atas juga melakukan “witch-hunting”, membuat daftar orang-orang “kiri komunis” dan “Islam sesat”, yakni kaum liberal, pluralis, sekular, Ahmadiyah, maupun Syiah, untuk diwaspadai dan diberangus.
Secara keliru, saya pun pernah dimasukkan dalam daftar “tokoh Syiah” lulusan Qom, padahal ke Iran pun belum pernah.
Lomba “berburu dukun santet” ini punya konsekuensi yang jauh. Tak hanya memicu siklus kekerasan dan diskriminasi, tapi juga potensial menjadi perang saudara. Ini menunjukkan bahwa kita tak mampu belajar dari sejarah. Dan belum beranjak jauh dari kebiasaan primitif seperti itu.
Menganut ideologi atau agama tertentu bukanlah kejahatan. Menjadi komunis, kapitalis, wahabi, salafi, Islam, Ahmadiyah, Syiah, Kristen atau Kejawen, bukanlah kejahatan.
“… Dunia akademis, doktor dan profesor, punya kewajiban mengidentifikasi akar-akar fanatisme dan kekerasan untuk mencegah dan meminimalkannya.”
Bukan pula kejahatan mendirikan dan menjadi anggota ormas tertentu, seperti HTI atau Barisan Tani Indonesia (komunis), yang merupakan manifestasi sosial-politik dari ideologi.
Kebebasan berserikat diakui dan dilindungi oleh konstitusi. Larangan terhadap komunis maupun Hizbut Tahrir, seperti juga pemberangusan terhadap Ahmadiyah dan Syiah, adalah tindakan inkonstitusional.
Warga negara yang satu tak berhak memaksa cara berpikir warga negara yang lain. Negara tak boleh mengatur “ideologi dan pikiran orang”. Kalaupun mau dicoba, sudah pasti akan gagal.
Yang bisa diharapkan dari negara dan aparatnya adalah sikap tegas terhadap manifestasi kekerasan yang dilakukan oleh penganut ideologi manapun (termasuk penganut kapitalisme, misalnya).
Saya tak setuju wahabisme, Hizbut Tahrir dan komunisme. Tapi, penganut ideologi itu punya hak hidup sama seperti saya. Punya hak sama seperti juga anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah.
Ideologi, seperti paham agama tertentu, memang bisa mengilhami pikiran sempit (fanatik) dan cenderung pada kekerasan. Tapi, itu berlaku untuk semua ideologi, terutama ketika bercampur-aduk dengan kepentingan politik dan ekonomi.
Ancaman wahabisme dan komunisme, jika ada, tidak lebih besar atau lebih kecil dari ancaman kapitalisme.
Penggusuran paksa warga kota, petani dan nelayan atas nama investasi bisnis, yang merupakan manifestasi paham “fundamentalisme pasar”, juga merupakan bentuk kekerasan.
Globalisasi, atau penyeragaman dalam ideologi kapitalisme-pasar, sudah terbukti punya potensi pelanggaran hak asasi di mana-mana.
Ideologi tidak otomatis melahirkan kekerasan. Hizbut Tahrir, misalnya, justru punya prinsip nir-kekerasan atau non-violence. Mereka mempromosikan khilafah melalui dakwah secara damai. Lihat bedanya dengan perilaku Front Pembela Islam (FPI), milisi sipil Islam yang pada awalnya dibentuk oleh para jenderal Orde Baru.
Berbeda dari Hizbut Tahrir yang anti-politik dan pemilu, tokoh gerakan Tarbiyah memilih mendirikan partai politik, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mereka mengalami moderasi karena tuntutan pragmatisme politik; termasuk merangkul politisi non-Muslim di daerah-daerah tempat Islam menjadi agama minoritas.
Dalam soal kebijakan publik (ekonomi, transportasi, pertanian, energi), PKS tak ada bedanya dari Golkar maupun PDI Perjuangan.
Di sisi lain, pragmatisme politik pula yang mendorong partai nasionalis-sekular memanfaatkan jargon agama (Islam).
Perda-perda syariah hanya bisa lolos dengan persetujuan politisi nasionalis-sekular seperti Golkar dan PDI Perjuangan.
Otonomi syariah di Aceh dimulai pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri.
Pragmatisme politik pula yang mendorong Jokowi menggandeng Kiai Ma’ruf Amin, Ketua Dewan Syariah, menjadi wakil presiden.
Ancaman PKS dalam kehidupan bernegara, jika ada, tidak lebih dan tidak kurang mengerikan dibanding ancaman Gerindra maupun PKB.
Kita perlu lebih rileks melihat keragaman ideologi. Memberangus ideologi tertentu demi menjaga keragaman adalah kontradiksi.
Obsesi persatuan yang diilhami slogan “NKRI harga mati” cenderung menindas karena berupaya menyeragamkan pikiran dan interpretasi terhadap Pancasila. Bersatu dalam hal apa, menurut siapa?
Persatuan tidak dibangun atas dasar penyeragaman. Persatuan menuntut pengakuan dan toleransi atas pikiran berbeda. Jika semua sudah sama, apa pentingnya persatuan?
Alih-alih memberangus dan melakukan “witch hunting”, dunia akademis seperti kampus semestinya justru mengkaji dan memperdebatkan aneka ragam ideologi (termasuk agama dan mazhab) dalam tradisi ilmiah yang bermartabat. Serta menakar secara proporsional konsekuensi ideologi dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi negeri kita.
Fanatisme (pikiran sempit) yang cenderung pada intoleransi dan kekerasan memang mengkhawatirkan. Tak hanya fanatisme ideologi-agama, tapi juga fanatisme politik: ejekan dan cacimaki antar pendukung politisi idola selama pilihan presiden, misalnya.
Dunia akademis, doktor dan profesor, punya kewajiban mengidentifikasi akar-akar fanatisme dan kekerasan untuk mencegah dan meminimalkannya. Bukan jalan pintas memberangus keragaman ideologi dan pikiran.
Perbedaan adalah keniscayaan hidup. Kita tidak perlu merayakan kebhinekaan itu secara berlebihan. Cukup bersikap toleran terhadap perbedaan.