Oleh Idrus F. Shahab
Lihatlah si Raja Dangdut berpose di depan kamera: rambut dan janggutnya sama-sama lebat, hitam, keriting, dan tidak tersisir rapi. Matanya mencoba menghindari kamera, menatap tajam ke satu titik, seakan-akan mau menunjukkan bahwa ia orang yang tengah membawakan misi penting. Tangan kirinya menggenggam sebuah gitar elektrik bertulisan nama grup musiknya: Soneta. Dan-ini yang menarik-tubuhnya, dari pinggang ke atas, tak terbungkus pakaian.
Dangdut Stories, yang ditulis profesor musik Andrew N. Weintraub dari Universitas Pittsburg, Amerika Serikat, memang tak mencoba menghindari kontroversi. Gambaran yang terpampang pada sampul Dangdut Stories di atas menunjukkan penampilan Rhoma Irama pada cover album perdananya hampir 40 tahun silam (Begadang). Ia, Andrew Weintraub, membedakan Rhoma Muda dan Rhoma Tua, lebih tepat lagi Rhoma sebelum dan sesudah naik haji. Rhoma sesudah naik haji adalah sosok yang kita kenal sekarang dan sudah pasti tak sudi mengenakan pakaian panggung seperti di atas.
Dengan kerajinan dan kecermatan yang mengharukan, profesor ini mengomentari karakter musik Rhoma, dari lagu ke lagu, yang ternyata tak banyak berubah. Ya, inilah dangdut yang telah meninggalkan alat musik akustik orkes melayu yang penuh sopan-santun, dan mengadopsi instrumen musik rock yang berisik dan menggetarkan. Namun, tentang lirik, Weintraub menemukan perubahan cukup berarti. Setelah perjalanan ke Mekah itu (masih pada 1975), Rhoma tidak lagi menggubah lirik yang mengetengahkan “darah muda” yang menggelegak, melainkan seruan untuk meninggalkan gaya hidup yang hedonistis.
Dangdut musik yang penuh kontradiksi. Hingga detik ini, begitu banyak lagu dangdut yang mengandung kombinasi aneh: lirik yang meratap dan melankolis, dan irama riang memancing goyang. Rhoma percaya bahwa lirik memainkan peran penting, tapi tidak demikian halnya dengan beberapa penggubah dangdut, seperti Mansyur S. Sosok yang dikenal piawai membubuhkan melodi manis tapi lumayan njlimet ini yakin dangdut itu enak didengar dan digunakan untuk mengiringi goyang. Namun Weintraub mengajukan keberatan: kalau bukan karena kekuatan lirik, apa yang membuat orang hafal setiap kata dalam lagu-lagu itu. Musik tak berhenti pada musik, begitu juga lirik.
Menggunakan pendekatan etnomusikologis, antropologis, media, dan kajian budaya, Weintraub percaya bahwa musik sederhana ini telah memiliki jangkauan yang amat luas: ikut membentuk gagasan tentang etnik, gender, dan kelas dalam Indonesia kini. Tampil sebagai instrumen vote getter dalam kampanye pemilihan umum, menjadi primadona industri rekaman sepanjang 1990-2000-an, memancing diskursus kontroversial panjang tentang etika dan estetika dengan erotismenya-semua ini menunjukkan bahwa dangdut merupakan bagian dari kehidupan ekonomi, politik, dan ideologi. Dari sini tampaklah sumbangannya membentuk identitas masyarakat negeri ini sekarang.
“… Dari pembentukan orkes melayu, hingga dangdut ‘naik kelas’ berpuluh tahun kemudian, banyak kejadian dan fenomena yang menimpa musik ini.”
Dangdut berawal dari kejadian politik ketika Presiden Sukarno berpaling dari Barat (baca: Eropa dan Amerika) ke Timur pada 1950-an. Secara kreatif para seniman musik Indonesia mulai belajar dan mengadopsi musik-musik yang dinyanyikan dalam film-film Mesir dan India yang merajai film impor kala itu. Dari pembentukan orkes melayu, hingga dangdut “naik kelas” berpuluh tahun kemudian, banyak kejadian dan fenomena yang menimpa musik ini. Weintraub mencoba menangkap ini dengan pendekatan antardisiplin akademisnya, seraya mewawancarai ratusan sumber, menyaksikan pertunjukan musik itu di pelosok-pelosok negeri, dan mendengarkan ribuan rekaman.
Tentu saja langkah ini layak membuat Dangdut Stories jadi rujukan bagi studi serupa tentang dangdut. Satu lagi yang patut dicatat adalah kerendahan hati Weintraub sewaktu membubuhkan judul yang membuka kemungkinan setiap orang mempunyai cerita sendiri tentang musik yang satu ini. Dangdut Stories berisi cerita orang, yang dalam penulisannya kemudian dimasak dengan teori formasi diskursif Michel Foucault khas Weintraub.
Dangdut Stories
Penulis: Andrew N. Weintraub
Penerbit: Oxford University Press, 2010
Tebal: 256 halaman