Catatan Wimpie Pangkahila
Sebuah berita menyenangkan beredar di media massa dan sosial. Dua siswa asal Palangka Raya meraih medali emas di World Invention Creativity Olimpic (WICO) di Seoul, Korea Selatan. Tetapi berita itu tiba-tiba menjadi mengkhawatirkan karena ada kalimat “menemukan obat penyembuh kanker dari akar tumbuhan Bajakan”.
Berita ini menjadi semakin heboh karena diberitakan oleh televisi sebagai sesuatu yang luar biasa. Terus terang saya takut masyarakat yang menderita kanker, kemudian berlomba-lomba menggunakan tanaman itu, dan meninggalkan pengobatan yang berbasis bukti ilmiah dan telah diakui secara internasional.
Tiba-tiba saya teringat tragedi beberapa orang yang mengidap kanker, yang menolak saran dokter spesialis kanker hanya karena lebih percaya kepada iklan penjual herbal. Salah satu korban, bahkan seorang dokter, yang mengidap kanker payudara stadium 1.
Sesuai prosedur yang diakui secara internasional, dokter spesialis menyarankan untuk operasi. Tetapi keluarga menolak, dia menolak, karena lebih percaya pada iklan seru ramuan herbal. Akhirnya dia kembali lagi kepada dokter spesialis yang tidak mampu berbuat apa-apa lagi karena sel ganas telah menyebar ke mana-mana.
Penelitian herbal tingkat awal seperti yang dilakukan oleh kedua siswa itu memang baik dan perlu dilakukan. Tetapi bukan berarti hasil penelitian pada binatang begitu saja dapat langsung diterapkan pada manusia. Inilah yang harus diketahui oleh masyarakat termasuk para jurnalis media massa dan media sosial.
Ada tahapan penelitian pada manusia atau uji klinik yang harus dilalui, sebelum suatu produk diakui manfaatnya. Jadi pernyataan produk herbal mampu menyembuhkan suatu penyakit, apalagi kanker, tanpa uji klinis yang luas, sesungguhnya merupakan sebuah kesalahan besar. Banyak penelitian herbal yang dilakukan di Program Studi Magister dan Doktor yang kebetulan saya bimbing dengan hasil yang baik. Tetapi itu juga baru pada binatang. Maka saya selalu ingatkan bahwa penelitian ini baru pada binatang. Bagi yang berminat untuk melanjutkan pada manusia, ya silakan, dan saya pasti mendukung.
Kebetulan saya pernah melakukan uji klinis beberapa produk herbal yang telah beredar resmi. Produk yang memang menunjukkan manfaat, ternyata dicampur bahan obat keras. Jadi produk itu sesungguhnya bukan herbal. Akhirnya ditarik juga dari peredaran. Maka jangan heran kalau setiap tahun, BPOM menarik ratusan produk herbal dan kosmetik karena mengandung bahan berbahaya.
Sebagai contoh, pada tahun 2018 BPOM menarik dari peredaran 115 obat tradisional dan suplemen kesehatan karena ternyata mengandung bahan obat keras. Sudah berapa banyak warga masyarakat yang tertipu bahkan mungkin telah menderita akibat terpapar bahan beracun yang dicampur di dalamnya? Masalahnya, sangat banyak masyarakat yang tidak mengetahui mengenai pembohongan atas nama herbal seperti ini.
Seharusnya media massa juga semakin rajin memberitakan kebohongan seperti ini untuk melindungi masyarakat. Bukan sebaliknya, malah memberitakan dengan riuh rendah sesuatu yang belum apa-apa. Kasihan masyarakat yang memang tidak mengerti, seolah diberi harapan padahal hampa dan palsu. Jangankan masyarakat kita, seorang Amerika yang terkenal di seluruh dunia pun mendadak menjadi bodoh karena tidak mengerti dunia kedokteran.
“… seseorang boleh pintar di bidangnya, tetapi belum tentu pintar di bidang lain, dan internet dapat berakibat pembodohan bila informasi yang disampaikan berasal dari sumber tidak benar.
Siapa yang tidak kenal nama besar Steve Jobs? Dia adalah CEO dan salah seorang pendiri Apple Inc yang sampai sekarang menguasai dunia komputer dan telepon mobil. Steve meninggal pada usia 56 tahun, di bulan Oktober 2011 akibat kanker kelenjar pankreas yang telah menyebar ke seluruh tubuh.
Terdengar sangat aneh, seorang Amerika, pintar dan kaya raya, meninggal karena terlambat menerima pengobatan kanker. Inilah tragedi Steve Jobs. Dia menolak saran dokter spesialis untuk menjalani operasi dan chemotherapy sebagai pengobatan kanker itu.
Tahukah Anda mengapa seorang Steve yang berkelas dunia menolak tindakan yang disarankan oleh dokter spesialis kanker? Menurut sang istri, Laurene Powel, Steve tidak bersedia tubuhnya dibuka oleh pisau operasi karena tubuh harus melayani jiwa. Mungkinkah dia takut jiwanya melayang lewat luka operasi? Ah, kasihan sekali kau, Steve.
Kemudian dia menempuh jalannya sendiri: pengobatan alternatif akupuntur, minum jus buah-buahan khusus, mendatangi para spiritualis, dan beberapa cara yang didapat melalui internet. Saran keluarga dan temannya tidak mampu mengubah pendiriannya.
Akhirnya ketika sel ganas telah menyerang seluruh tubuhnya, Steve masih sempat menyatakan penyesalannya. Kepada temannya, Walter Isaacson, Steve menyatakan menyesal karena telah melakukan kesalahan, yaitu tidak mengikuti saran dokter.
Tragedi Steve Jobs meninggalkan catatan di benak saya. Pertama, seseorang boleh pintar di bidangnya, tetapi belum tentu pintar di bidang lain. Kedua, internet yang telah menguasai dunia dapat berakibat pembodohan bila informasi yang disampaikan berasal dari sumber tidak benar. Ketiga, kalau orang Amerika sekelas Steve Jobs percaya begitu saja dengan informasi internet, bagaimana orang yang kurang terdidik, termasuk dari Indonesia yang terbukti percaya hoaks?
Pada akhir catatan ini, saya ingin menyerukan kepada seluruh warga bangsa: pertama, jangan percaya begitu saja pada iklan pengobatan di media sosial dan TV. Kedua, tidak semua informasi yang ada di internet benar dan dapat dipercaya. Ketiga, untuk masalah penyakit atau gangguan kesehatan, dan peningkatan kualitas hidup, dokterlah ahlinya.
Gedung Grasia lantai 3, 14 Agustus 2019