Kolom Mohamad Cholid
Erik Weihenmayer buta, tapi dia telah membantu orang melek di banyak negara dapat melihat dunia dengan lebih baik. Menjelang remaja, Erik dipagut retinoschisis, penyakit yang sangat langka dan membuatnya buta total saat ia memasuki usia 14 tahun. Fakta tersebut tidak menghalangi Erik melakukan kegiatan-kegiatan sebagaimana orang melek, termasuk naik sepeda, mendaki gunung, dan aktif di olahraga gulat.
Pada 25 Mei 2001 Erik menjadi orang buta pertama di dunia yang berhasil mendaki puncak Everest. Majalah Time menghargai keberhasilannya dengan cover story bertajuk Blind Faith.
Keteguhan mental Erik, kedisiplinan tim dalam berkolaborasi menuju puncak Everest dan pulang semua selamat, telah menjadi inspirasi pembelajaran pengembangan organisasi dan kepemimpinan, menyodorkan bukti-bukti pentingnya disiplin dan fokus untuk meraih sukses. Satu di antaranya pelatihan The 4 Disciplines of Execution (Chris McChesney, Sean Covey, Jim Huling).
Tahun 2008, Erik (kelahiran September 1968) berhasil menyelesaikan Seven Summits, masuk dalam deretan hanya 150 orang yang berhasil mencapai tujuh puncak gunung tertinggi di benua masing-masing. Erik kemudian menjadi narasumber di mana-mana, termasuk diwawancarai Larry King di CNN, jadi tamu Oprah, serta motivator speaker di banyak perusahaan dan organisasi nonprofit.
Dengan tujuan membantu lebih banyak manusia dapat melihat kehidupan secara lebih baik, Erik ikut mendirikan No Barriers, institusi nonprofit, gerakan merangkul orang-orang yang mengalami keterbatasan (karena ketidaklengkapan fisik dan mental kurang kuat) agar mampu membangun tekad, disiplin, dan strategi mengolah realitas, mengatasi tantangan hidup. Tampil sebagaimana manusia berindera lengkap.
Motto No Barriers adalah “What’s Within You Is Stronger Than What’s In Your Way.” Untuk mempertegas tekadnya itu, September 2014 Erik mendayung kayak secara solo sepanjang 277 mil di Sungai Colorado, menembus Grand Canyon.
Erik buta, tapi telah mengajari kita melihat hidup secara lebih dalam.
Secara visual Erik bisa jadi hanya memiliki satu dimensi, flat. Tapi kemampuan audio, radar penciuman, ketajaman batin, kemampuan olah pikiran, daya kinetik dan indra-indra lainnya telah dia latih bertahun-tahun menjadi efektif, menembus segala batasan semu rekaan manusia sendiri.
Apakah dalam setiap aktivitas, utamanya di alam bebas dengan banyak hal tak terduga, tidak pernah membuatnya grogi? Rasa takut dan was-was ya ada, kata Erik. Itu manusiawi. Tergantung bagaimana kita mengolahnya menjadi energi untuk terus maju. “Saya terbiasa untuk mengendalikan ego, selalu minta bantuan ke teman-teman dan mempercayai tim,” katanya. “Plus, clear mind.” Fokus.
Ketika mengarungi Sungai Colorado yang deras itu, misalnya, di sejumlah titik ada teman-temannya yang selalu memberi aba-aba, untuk belok kanan, dayung keras ke kiri, atau melaju kencang, charge…. Apalagi saat mendaki Everest, disiplin dan kekompakan tim, kesungguhan menjalani tahapan latihan, menjadi andalan keberhasilan mereka.
“… Orang-orang melek seperti kita, yang mampu menikmati keindahan dunia dan isinya secara visual, mestinya makin tidak pantas menyiakan-nyiakan peluang yang diberikan oleh Tuhan untuk melakukan pendakian masing-masing.”
Erik menghasilkan buku: Touch the Top of the World: A Blind Man’s Journey to Climb Farther Than the Eye can See: My Story (2002) dan The Adversity Advantage: Turning Everyday Struggles Into Everyday Greatness (bersama Paul Stoltz dan Steven R. Covey, 2010), dan No Barriers: A Blind Man’s Journey to Kayak the Grand Canyon (bersama Buddy Levy, 2017). Di luar itu ada sejumlah buku, video, dan publikasi yang diproduksi pihak lain.
Orang-orang melek seperti kita, yang mampu menikmati keindahan dunia dan isinya secara visual, dikaruniai pula kelengkapan fisik dan indera lainnya, mestinya makin tidak pantas menyiakan-nyiakan peluang yang diberikan oleh Tuhan untuk melakukan pendakian masing-masing. Naik ke puncak karir, pendakian bersama tim meningkatkan kinerja organisasi, meraih prestasi lebih excellent, mendaki jenjang spiritualitas, menjadi pribadi-pribadi yang lebih relevan dengan zaman, memimpin dengan lebih efektif, dll. Apalagi bagi pejabat publik.
Kenyataannya, banyak di antara kita masih melakukan sabotase diri, memelihara self limiting belief, membangun benteng pembatas, ego, gengsi, prasangka negatif terhadap lingkungan, inertia, kemalasan, tidak disiplin.
Ditambah pula dengan sekat-sekat generasi, batasan usia, pembutaan diri terhadap fakta bahwa di dunia ini kenyataannya masih banyak orang-orang berusia diatas 70 tahun tetap berprestasi di bidangnya dan banyak juga yang berhasil memimpin organisasi, sebagai CEO atau Chairman.
Jebakan yang juga berbahaya adalah rasa puas diri telah meraih (atau bahkan melebihi) target bisnis atau tangga karir.
Rasanya kita perlu meresapi bisikan yang diberikan koordinator pendakian kepada Erik Weihenmayer saat menuruni Everest 2001: Ingat, puncak di belakang itu bukanlah pendakianmu terakhir.
Dalam pengembangan organisasi, success delusion merupakan wabah yang bisa menjebak kalangan eksekutif, menjebabkan seseorang atau suatu organisasi kehilangan relevansi dan efektivitasnya menghadapi realitas sekarang. Dr. Marshall Goldsmith, #1 Executive Coach di dunia selama beberapa tahun belakangan, mengingatkan dengan gamblang melalui “What Got You Here Won’t Get You There” (2007) – #1 Wallstreet Journal Business Bestseller.
Metode pengembangan kepemimpinan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) telah membantu puluhan ribu eksekutif di 55 negara di dunia, termasuk di lingkungan Fortune 500 companies, agar mereka terus menjadi lebih efektif memimpin. Menjalankan prinsip No Barriers secara sistematis dan terukur.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman