Oleh Sarwa Sigid
Kini konon era disrupsi. Kekacauan dan perubahan cepat adalah ciri khas era ini.
Muaranya adalah internet. Jiwa internet adalah kecepatan dan individualistis. Inilah yang membuat semua media yang ditambah platform massa menjadi uzur, garing dan gamang di ujung jaman.
Mereka yang bangga dengan ke-massa-an dan kepublikannya itu akan segera mampus saat usia pelanggan sebayanya juga lampus. Mengapa? Karena mereka -media massa itu- harus menyesuaikan diri, membaca kebutuhan massa, berusaha memuaskannya, baru membuat sajian kontennya. Padahal saat konten siap disajikan, massa sudah berubah lagi minatnya.
Majalah nyaris sudah almarhum semua. Koran kini tinggal menunggu tintanya mengering. Media massa cetak cepat tamat karena koran berbahan kertas yang tak bisa di-dudul-dudul, dan dipilih-pilih sesuka hati yang membaca. Koran tidak bisa mendesah, tidak bisa menyanyi, dan tidak mungkin diajak bicara. Orang milenial yang “kesepian” tak mungkin mengajak koran jalan-jalan.
Kini televisi siaran juga harus tergerus. Selama pengelola stasiun penyiaran televisi masih berfikir televisi adalah kotak ajaib di ruang keluarga milenial, maka ia sedang menggali kuburnya sendiri. Mungkin lubang itu siap dimasuki 5 tahun ke depan.
Penonton televisi kini memilih isi siaran, bukan stasiunnya. Tak peduli terestrial, digital atau komunal. Terestrial jelas pakai pemancar. Digital pakai internet dan pemancar. Komunal itu nonton bareng pakai layar lebar. Tapi tetap saja yang ditonton isi sajian atau konten tertentu. Bisa sepakbola, atau wayang kulit lucu macam dalang Ki Seno. Nggak mungkin wayang mantan anggota DPR yang nggak lucu sangat itu.
Isi siaran televisi jaman now bagi penonton milenial harus bisa dilihat di layar hape, kapan saja, di mana saja, yang penting ada quota dan sinyal. Mereka bukan tipe orang yang setia. Orang milenial tidak pernah nonton lebih dari 16 menit. Ganti topiklah. Bosan.
Bagaimana dengan TVRI? Rebranding TVRI menyisakan tanda aman, dan sekaligus lonceng kematian kreativitas produksi.
“… Dibanding orang dalam yang memilih damai dalam pensiun, penyedia konten dari luar lebih siap untuk memenuhi standar global, tak ada tempat untuk coba-coba dalam bisnis yang mahal ini.”
Aman, karena TVRI mulai bermain di konten. Tandanya adalah masuknya jejaring Discovery dalam siarannya. Timbal baliknya, mungkin…. Suatu ketika isi siaran TVRI diakses Discovery secara global.
Sedihnya, proses kreativitas internal akan mati karena tuntutan pasar dan kualifikasi teknisnya. Cepat atau lambat, penyedia konten siaran TVRI akan banyak dari luar TVRI. Dibanding orang dalam yang memilih damai dalam pensiun, penyedia konten dari luar lebih siap untuk galak memenuhi standar global. Tak ada tempat untuk coba-coba dalam bisnis yang mahal ini.
TVRI pasti akan tersesat di lorong masa kalau masih ingin menyasar usia 50-an sambil merayu kaum muda. Umur itu hanya akan relevan 10 tahunan lagi. Teman sebaya yang menonton TVRI segera akan punah.
Adakah yang tersisa dan bertahan? Ada. Yaitu kepentingan.
TVRI harus fokus pada video on demand, pada konten per kepentingan. Interest demi interest. Tak perlu mikir rating lagi, karena nantinya orang muda nonton sesempatnya, kalau perlu diulang-ulang.
Bicara kepentingan, salah satu kepentingan yang abadi bagi manusia adalah pangan. Selama masih ada rasa lapar, kekhawatiran akan ketersediaan pangan akan selalu ada. Celakanya, tempat produksi pangan itu ada di pedesaan. Tempat dan komunitas yang jarang atau bahkan tak pernah dilirik penyelenggara siaran berbasis bisnis.
Bila kah TVRI hidup bersama orang desa? Membela sumber pangan, dan kepentingan produsen pangan?
Tulisan ini segini saja ya. Ibaratnya ngomyang saja.
Kalau ada yang bilang, “Wah bagus,” lalu usul, “Mbok dikirim ke Monitor.”
Nah yang usul pasti umurnya 50-an. Tadi kan sudah dibilang, tabloid itu sudah mati. Kalau masih ada tabloid semacam Monitor, itu pasti pemborosan. Sudah repot, mahal, gak dibaca pula. Jadul amat…
Kok gak pakai PDF saja dan di-share ke hape? Begitulah disrupsi.
sstvriYk24082019