Kolom Farid Gaban
Dukungan terhadap KPK tidak sekuat dulu, sehingga kali ini presiden dan parlemen bisa relatif mudah mengebirinya. Ini juga sukses sebuah propaganda sistematis memburukkan citra KPK: KPK, katanya, sudah disusupi (bahkan dikuasai) oleh Taliban dan HTI yang pro-khilafah.
KPK, katanya, dikangkangi oleh muslim radikal-fundamentalis yang bercelana cingkrang, berjanggut, serta anti-Pancasila dan NKRI. Varian lain dari tudingan seperti ini adalah “ditunggangi ISIS”.
Propaganda seperti itu sebenarnya sangat jahat, tapi mudah dipercaya oleh publik yang tidak punya latar-belakang cukup tentang apa yang dituduhkan; tentang Taliban, ISIS atau HTI. Karena kurang pengetahuan, publik mudah menelan propaganda bahwa negeri kita sedang terancam menjadi Afghanistan, Suriah atau Saudi. Menurutku, jauh panggang dari api.
Taliban adalah fenomena politik khas Afghanistan, produk dari Perang Dingin (Soviet vs Amerika). Amerika mencetak mujahidin dukungan Saudi utk melawan Soviet (dari sinilah Al Qaedah-nya Usamah bin Laden muncul).
Setelah Soviet mundur, kaum mujahidin ini bertengkar satu sama lain dalam perang saudara berkepanjangan.
Taliban (mahasiswa) yang muak dengan kondisi itu tampil menjadi kekuatan baru utk menjaga order/tatanan atas dasar Islam. Dalam praktek, mereka menerapkan ajaran Islam secara ekstrem, yang hanya bisa dipahami dalam konteks situasi sosial-politik di sana.
Apakah Indonesia bisa mengalami Talibanisasi?
Bisa, jika syarat-syaratnya terpenuhi: Perang Dingin, perang saudara, radikalisasi agama untuk tujuan perang (mengusir Soviet), kesulitan ekonomi akibat konflik, maraknya bisnis narkotika, yang saling berkelindan satu sama lain.
Adakah syarat-syarat tadi berlaku untuk Indonesia masa kini? Menurutku, tidak. Potensi Indonesia untuk menjadi Afghanistan kecil. Hal serupa juga berlaku apakah Indonesia akan menjadi Suriah atau Mesir.
Memang, ada trend kuat Islamisasi di Indonesia, dan pasang naik paham khilafah. Tapi, menurut saya, ini lebih merupakan fenomena sosial: backlash dari kegagalan sistem demokrasi dan sistem ekonomi sekular.
Fenomena sosial itu sulit terwujud dalam politik. Sudah terbukti, politik Islam tidak laku di Indonesia. Bahkan yang laku pun akhirnya masuk mainstream politik. Partai dan ormas Islam berkolaborasi dengan kekuatan nasionalis sekuler.
HTI bukan organisasi besar, baik secara internasional maupun nasional. Kekhawatiran Indonesia akan menjadi kekhalifahan adalah berlebihan.
Memakai stigma Taliban atau HTI untuk memburukkan citra orang atau lembaga adalah copy-paste dari cara Orde Baru memakai tudingan komunis untuk meredam kritik terhadap pemerintah serta oligarki sekelilingnya.
Lebih buruk, tuduhan Talibanisme dan khilafah dikonotasikan sebagai tindakan terorisme. Bahkan kalaupun ada kecenderungan ke arah sana, berpikiran mendukung sistem khilafah bukanlah kejahatan.
Pikiran dan pandangan politik/ideologi tak bisa dipidana. Mau jadi Islamis, komunis atau kapitalis tak bisa dipenjara. Bercelana cingkrang atau berjanggut juga bukan kejahatan.
Kembali ke tudingan terhadap KPK, stigma Taliban, cingkrang, dan janggut tak hanya jahat tapi juga merusak cara berpikir kita; mengajak kita untuk bersikap intoleran kepada keragaman pikiran dan ideologi.
Di sisi lain, sukses propaganda terhadap KPK, membuat kita mudah terjebak mendukung aparat polisi, lembaga yang dianggap bisa membasmi radikalisme dan terorisme.
Membuat kita mudah terjebak untuk mendukung persekusi dan pembantaian terhadap orang-orang yang belum tentu bersalah. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak dari kita mengamini pembantaian polisi terhadap TERDUGA teroris.
Tersangka saja belum, sudah dibunuh. Dalam bahasa hukum ini disebut extra-judicial killing yang dilakukan aparat negara. Pelanggaran HAM yang sangat serius.
Banyak dari kita juga cenderung memberi blangko kosong untuk tindakan polisi yang sewenang-wenang dan cenderung abuse of power.