Oleh Mohamad Cholid
“Prejudice is a burden that confuses the past, threatens the future and renders the present inaccessible.” — Maya Angelou.
Bagi Anda yang melakukan traveling menikmati pojok-pojok Australia, pada wilayah tertentu akan menemukan tanda lalulintas warna kuning bergambar wombat. Ini binatang asli Australia, berkaki pendek, agak membulat dengan panjang badan sekitar satu meter. Para pengendara diminta waspada, jangan sampai bertabrakan dengan wombat.
Pada sebuah acara dialog interaktif di kantor Google AS dengan Executive Coach Michael Bungay Stanier, berasal dari Australia, wombat ditampilkan dan diartikan dengan beda. Oleh Michael Bungay, executive coach #8 di dunia, wombat diubah sebagai ringkasan “waste of money, bandwidth, and time.”
Michael Bungay mengingatkan para manajer, eksekutif, dan leader di organisasi-organisasi (bisnis, nonprofit, dan institusi pemerintah) yang berkecenderungan menghamburkan resources dan kelewat sibuk tanpa kendali diri, namun hasilnya minim atau belum signifikan.
Menyimak wombat dalam arti “waste of money, bandwidth, and time” lebih jauh lagi, saya teringat kondisi di sejumlah kantor dagang di kota-kota, juga di institusi-institusi pemerintah di pusat dan daerah, utamanya di kantor-kantor yang memberikan perizinan (kegiatan usaha).
Terkait investasi pemegang saham atau budget negara untuk pengadaan perkakas kerja, misalnya. Kalau perilaku para pelaksana diaudit per hari, berapa persen mereka menggunakan alat-alat kerja, khususnya personal computer dan laptop, sunggguh-sungguh fokus untuk kegiatan utama organisasi dan berapa persen untuk entertainment pribadi (media sosial, YouTube, dll)? Di organisasi Anda bagaimana, berapa persen personelnya terlibat wombat (wasting money, bandwidth, and time) setiap hari?
Pemahaman umum, bandwidth adalah luas atau lebar cakupan frekuensi yang dipakai oleh sinyal dalam medium transmisi, kapasitas maksimum dari suatu jalur komunikasi yang dipakai untuk mentransfer data dalam hitungan detik (bps).
Kalau perilaku para pengguna komputer/laptop/ponsel yang terhubung internet bersedia melakukan audit atas dirinya, berapa persen fasilitas tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan produktif dan berapa persen bandwidth terpakai untuk komunikasi nonproduktif (termasuk gosip dunia hiburan dan politik)?
Bagaimana kalau kita menggunakan istilah bandwidth untuk mengukur kapasitas intelektualitas kita, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan emosional kita dalam menerima arus data dan informasi untuk meningkatkan kompetensi?
Ayo kita take a hard look at ourselves, berpikir dan kontemplasi, berapa banyak bandwidth intelektualitas, spiritualitas, dan emosional telah kita biarkan dalam satu hari terpakai oleh arus pelbagai “data” yang sesungguhnya tidak relevan dengan realitas hidup kita?
Sebagian di antara kita bahkan punya kecenderungan menggunakan semua “data” dari pelbagai sumber yang tidak relevan tersebut untuk menyusun asumsi, bahkan prejudice, terhadap masa lalu diri sendiri dan orang lain. Di sisi yang lain, mereka menarik kesimpulan-kesimpulan berdasarkan perspektif masa lalu dan secara sepihak, berbasis perspektif tunggal, mereka-reka masa depan. Ugh.
Berapa jam waktu terpakai sia-sia untuk itu semua dalam satu hari? Berapa waktu yang tersisa untuk melaksanakan amanah masing-masing secara lebih profesional dan menghadapi realitas hari ini dengan lebih anggun?
“Prejudice is a burden that confuses the past, threatens the future and renders the present inaccessible,” kata Maya Angelou, penyair dan aktivis hak-hak sipil AS yang membacakan puisi “On the Pulse of Morning” saat pelantikan President Bill Clinton 20 Januari, 1993.
Dalam kegiatan organisasi bisnis, nonprofit, dan di lingkungan institusi pemerintah, termasuk di kalangan penyelenggara negara, belakangan ini prasangka telah berseliweran dengan kecepatan tinggi disebabkan oleh semburan “data” dan distraksi informasi yang kurang reliable. Sementara itu, di kalangan eksekutif organisasi-organisasi bisnis dan nonprofit terjadi bottleneck. Eksekusi-eksekusi penting terhambat. Semua akibat pemahaman realitas hari ini kurang dikelola dengan pikiran jernih.
Setiap divisi dan departeman membangun benteng melindungi kepentingan masing-masing, seolah-olah mereka bukan merupakan bagian dari satu organisasi yang sama. Para eksekutifnya saling menelikung, backstabbing, ini antara lain diceritakan oleh seorang direktur SDM sebuah organisasi yang berkantor gagah tidak jauh dari Istana Negara. Office politics membuat dirinya, orang baru di jajaran direksi, sangat cemas.
Kondisi semacam itu merupakan salah satu perkara yang menyebabkan organisasi-organisasi terjebak membangun solusi untuk mengatasi (mereka anggap) “problem”, padahal itu symptom-nya saja, bukan inti persoalan sebenarnya.
“… Bukankah hidup lebih bermakna kalau kita mampu mengimplementasikan ayat-ayat Tuhan dalam keseharian?”
Sedangkan para pengelola organisasi yang sukses tumbuh berkesinambungan, berhasil mengatasi tantangan setiap zaman, lazimnya berpegang pada prinsip kerja “nothing can change until the unsaid is spoken”. Para eksekutifnya dapat mengatakan fakta-fakta apa adanya dalam board meeting, lantas mereka saling membantu – bukan saling menghakimi seperti di organisasi yang gagal.
Di organisasi yang berkembang sehat, para eksekutif dan leader-nya memegang amanah sebagai sebuah kehormatan. Merangkul dengan mesra “waktu sekarang”, be present, dan efektif dalam setiap tugas. Mereka selamat dari wombat, “wasting money, bandwidth, and time”.
Bagi para eksekutif yang mampu bekerja efektif, setiap hari adalah a tribute, penghormatan atas eksistensi umat manusia. Bukankah hidup lebih bermakna kalau kita mampu mengimplementasikan ayat-ayat Tuhan dalam keseharian?
Untuk mencapai level tersebut, sebagaimana pada pendakian-pendakian menjadi pribadi yang lebih berwibawa menghadapi waktu, lebih efektif bekerja, dimulai dari kesungguhan, keterbukaan hati dan pikiran untuk melakukan re-edukasi berkesinambungan. Kaizen atau continuous improvement.
Program coaching, terutama yang proven membantu organisasi-organisasi multinasional, meng-akselerasi mereka menjemput hasil, bermental pemenang.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman