Kamis, Desember 19, 2024

Menjemput takdir cara Tamakoce Te’Hila

Must read

Kolom Mohamad Cholid

#Leadership Growth: Against All Odds, Finish Strong 

Lap terakhir final lomba lari 10.000 meter di Tokyo hari itu bagi Billy Mills dan di mata jutaan orang yang menontonnya adalah sebuah drama dalam dunia olah raga. Billy Mills bukan pelari unggulan dan pada putaran-putaran sebelumnya tidak pernah di deretan depan. Namun dengan berlari sekuat tenaga, sekencang-kencangnya, Billy Mills menyalip para finalis yang diunggulkan.

Pada Olimpiade Tokyo 1964, Billy Mills memenangi medali emas untuk lari 10.000 meter. Kalangan orang berbahasa Inggris mengatakan: “His 1964 victory is considered one of the greatest Olympic upsets because he was a virtual unknown going into the event.” Dalam sejarah Olimpiade, ia juga menjadi satu-satunya atlet Amerika yang meraih emas untuk nomor lari jarak jauh ini.

William Mervin Mills lahir 30 Juni 1938 di Pine Ridge Indian Reservation, Dakota Selatan dari puak Oglala Lakota. Nama asli Billy Mills adalah Tamakoce Te’Hila, dapat diartikan “mencintai negaranya” atau “menghormati tanah air”. Pada usia 12 tahun ia yatim. Saat remaja Billy Mills mendapatkan bea siswa sebagai atlet (pelari lintas alam) untuk kuliah di University of Kansas.

Billy Mills kemudian menjemput takdirnya.

Lulus sebagai sarjana bidang physical education, Billy Mills masuk Korp Marinir AS. Ia Letnan Satu Marinir saat meraih medali emas lari 10.000 meter di Olimpiade Tokyo. Kisah Billy Mills telah difilemkan, Running Brave (1983), disutradarai Donald Shebib dengan nama lain “D. S. Everett”.

Semangat meraih kemenangan “against all odds”, atau kendati dengan probabilitas kecil sekalipun, sebagaimana dilakukan Billy Mills, selalu memberikan inspirasi. Peradaban umat manusia diwarnai oleh para pemenang, manusia-manusia yang berupaya extraordinary — kendati menurut kalkulasi umum dianggap mustahil. Dan sesungguhnya kita semua punya peluang untuk melakukan hal semacam itu.

Kuncinya adalah push forward, dengan intensitas penuh dan fokus.

Pada putaran terakhir itu, kata Billy Mills, “Saya tidak mendengar keriuhan sorak-sorai penonton. Saya hanya dengar degup jantung saya sendiri dan merasakan sensasi di ujung lengan. Saat itu, pikiran saya yang sebelumnya mengatakan one more try, one more try saya ubah menjadi I can win…I can win…walaupun saya di posisi ketiga. Lantas saya ganti lagi jadi I won ….I won, saya menang…”

Gambar oleh Gino Crescoli dari Pixabay

Proses semacam itu lazim dialami oleh orang-orang yang bekerja sangat fokus, mengerahkan potensi-potensi terbaik dirinya, seolah-olah lepas dari batasan ruang dan waktu – dan diri ini lantas mampu menyerap energi alam semesta.

Psikolog Mihaly Csikszentmihalyi (lahir 29 September 1934 di Fiume, Croatia) menyebutkan, kondisi seperti dicapai Billy Mills itu merupakan moment ketika kita memasuki fase “flow”. Kondisi ketika kita “being in the zone.”

Bukankah kita pernah atau mungkin juga sering mengalaminya, terutama saat-saat menyelesaikan suatu tugas atau proyek yang sangat kita sukai, kita upayakan rampung sebelum batas waktu dengan hasil prima? Kita bekerja dengan konsentrasi tinggi, jeda saat tertentu, tidur pun rata-rata empat jam per hari, tapi rasanya fisik tetap fit. Pikiran fokus. 

Mihaly Csikszentmihalyi, alumnus University of Chicago, mempopulerkan “flow” atau “being in the zone” pada 1975. Namun konsep “menyelaraskan diri dengan energi semesta alam” sesungguhnya sudah dilakukan umat manusia sejak ribuan tahun silam, antara lain dalam tradisi Buddhism.

Di lingkungan seni bela diri, tahapan flow antara lain dikenal dengan sebutan “budo”. Ada juga istilah lain. Juara karete dan mix martial art Lyoto Machida selalu melakukan meditasi untuk meraih “mushin” – kalau berdasarkan paparannya, itu tahapan “flow” atau ”being in the zone” — sebagai bagian persiapannya tiap sebelum menghadapi kompetisi.

Ciri-ciri yang sama dari orang-orang yang meraih tahapan “flow” adalah, mereka semua hyperfocus. Bagi setiap orang yang menyatakan dirinya profesional di bidang dan tugas masing-masing, memperkuat fokus pada setiap proses kegiatan utamanya, tentu merupakan kebutuhan mutlak.

Sebaliknya, kalau berani mengaku eksekutif profesional tapi sering membiarkan diri hanyut dalam arus distraksi media sosial, hiburan, dan saat meeting bahkan buka gadget ngintip gosip di w a, please bercermin lagi dengan lebih baik.

Pembelajaran dari Billy Mills: Di posisi mana pun Anda sekarang dalam menghadapi kuartal terakhir 2019, target organisasi dengan izin Tuhan dapat dicapai asal Anda dan tim sungguh-sungguh memperkuat fokus, mengoptimalkan waktu, dan memperbaiki cara kerja menjadi lebih efektif. Bahkan mungkin saja Anda bisa saja melampaui target.

Tentu diperlukan tim yang saling mendukung, fokus pada upaya-upaya perbaikan ke depan, dan diharamkan saling menghakimi atau mengungkit hal-hal yang sudah lewat yang tidak bisa kita stel ulang. Ini diperlukan perilaku kepemimpinan yang lebih efektif.

Untuk menjadi eksekutif dan leader yang lebih efektif, sangat baik kalau Anda selalu ingat dan mengimplementasikan kata-kata Management Guru Peter F. Drucker: “ … the test of organization is not genius. It is its capacity to make common people achieve uncommon performance.” (The Effective Executive).

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article