Rabu, Desember 25, 2024

Kekerasan di Papua

Must read

Bisa Menjadi Lebih Buruk

Oleh Sidney Jones

Sebuah provinsi yang digelontori dengan uang tunai telah mendorong masuknya pendatang dan memberikan sumber pemasukan baru bagi gerakan kemerdekaan. Kekerasan telah melanda Papua Indonesia pada enam minggu terakhir, disebabkan oleh ejekan rasis kepada mahasiswa Papua di Jawa Timur, dan kembali ke Papua di mana protes melawan rasisme berubah menjadi demonstrasi pro-kemerdekaan yang lebih besar.

Pada 28 Agustus, polisi menembaki para demonstran di Deiyai, sebuah distrik terpencil di dataran tinggi tengah, setelah tentara Indonesia dibunuh dengan panah. Delapan orang Papua mati ditembak. Hari berikutnya, demonstrasi lebih besar terjadi di Jayapura yang dikoordinir oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB), kembali terjadi kerusuhan, di mana orang Papua membakar gedung kantor-kantor pemerintah dan para pendatang pemilik toko. Gelombang penangkapanpun terjadi.

Pada 23 September, berita tentang ujaran rasis oleh seorang guru pendatang di Wamena – yang menurut polisi hal seperti ini tidak pernah terjadi – beredar cepat, dan mahasiswa Papua kembali turun ke jalan, membakar harta benda milik warga pendatang. Setelah itu, ada lebih 30 orang meninggal dunia dan kebanyakan dari mereka adalah pendatang yang dibakar sampai mati di toko mereka. Kekerasan sporadis terus berlanjut di mana-mana di daerah pegunungan bagian tengah, yang menurut laporan digerakkan oleh kelompok pro-kemerdekaan.

Pemerintah di semua tingkat gagal mengantisipasi dan mencegah kekerasan sporadis ini. Kekerasan tesebut telah menghasilkan dua versi peristiwa yang sangat berbeda, yang dimainkan oleh dua audien yang sangat berbeda.

Yang satu, yang ditujukan kepada audien internasional secara luas, adalah narasi operasi masyarakat Papua oleh Pemerintah Indonesia dengan menonjolkan kebrutalan aparat keamanan; sejarah rasisme dan diskriminasi; daftar panjang pelanggaran hak-hak asasi manusia yang tidak pernah diselesaikan; dan peminggiran masyarakat Papua asli di tanah mereka karena mereka dibanjiri oleh para pendatang dari berbagai daerah di Indonesia.

Yang kedua, yang ditujukan kepada audien Indonesia, adalah ceritera tentang para pendatang pekerja keras yang dibakar hidup-hidup pada tanggal 23 September di Wamena, kota terbesar di dataran tinggi Papua bagian tengah dan rumah-rumah serta usaha-usaha yang dihancurkan oleh sekelompok orang Papua yang mengamuk. Program-program berita televisi, dengan latar belakang musik yang bernada sedih mempertontonkan barisan panjang orang Indonesia yang naik pesawat militer untuk evakuasi.

Photo by Asso Myron on Unsplash

Dua narasi ini benar, namun keduanya tidak tersambung. Audien dalam negeri pada umumnya hanya memiliki sedikit apresiasi terhadap sumber-sumber kebencian orang Papua atau kemarahan yang dihasilkannya, misalnya, perbedaan kecepatan pendokumentasikan polisi tentang penghancuran harta benda oleh sekolmpok orang Papua pada tanggal 29 Agustus di Jayapura, dan lambatnya pengakuan akan adanya kematian orang Papua di tangan aparat keamanan di Deiyai sehari sebelumnya.

Ini adalah ceritanya bagaimana Papua selama dua dekade terakhir ini telah menjadi provinsi yang dibanjiri uang tunai, dengan cara mereka sendiri keduanya memacu masuknya pendatang dan tersedianya sumber pemasukan baru untuk gerakan kemerdekaan, khususnya di daerah dataran tinggi di Papua bagian tengah.

Sebaliknya, audien internasional hanya mendengar sedikit tentang intimidasi dan kekerasan oleh pendukung gerakan pro-kemerdekaan melawan para pendatang. Mereka yang dibunuh kebanyakan dari Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan; sembilan orang Papua yang meninggal kebanyakan karena ditikam masyarakat pendatang yang ingin mempertahankan diri dari serangan. Banyak laporan internasional mengasumsikan bahwa semua korban adalah orang Papua.

Pemimpin kemerdekaan mengklaim, setelah kerusuhan di Jayapura, bahwa mereka tidak mempunyai masalah dengan para pendatang, kecuali mereka yang bekerja sebagai mata-mata aparat kemanan. Pada kenyataannya, gerakan pro-kemerdekaan selalu memiliki dimensi anti pendatang. Asal muasal dari kebencian ini terjadi pada program transmigrasi era Suharto yang membawa ribuan orang Jawa dan orang Indonesia lainnya ke Papua, demi kepentingan pembangunan ekonomi dan politik, dan seringkali memindahkan mereka ke tanah adat Papua tanpa konsultasi atau kompensasi.

Namun demikian, situasi saat ini telah berubah, dan ini membawa pada narasi ketiga, yang hilang dari dua narasi tersbut tetapi yang menghubungkan keduanya. Ini adalah narasi tentang bagaimana orang Papua pada dua dekade terakhir, yang telah menjadi provinsi yang digelontori uang yang dapat menyebabkan masuknya pendatang ke tanah Papua dan memberikan sumber dana segar yang baru bagi gerakan pro-kemerdekaan, khususnya di dataran tinggi di bagian tengah Papua.

Uang berasal sebagian dari dana yang disediakan berdasarkan Undang-Undang Otonomi Khusus tahun 2001, dan sebagian berasal dari program di tingkat kabupaten dan desa yang didesain untuk memberikan bantuan pendidikan dan pembangunan infrastruktur. Semakin banyak penduduk, semakin banyak dana yang digelontorkan, entah menghitung siswa di sekolah atau kepala keluarga di desa. Para elit Papua, khususnya di daerah-daerah terisolir di dataran tinggi bagian tengah mebuat ratusan desa, kecamatan dan kabupaten, yang pada umumnya didasarkan pada data penduduk yang sepenuhnya fiktif yang tak seorangpun di Jakarta yang mempunyai waktu dan tenaga atau insentif untuk mengecek (kebenaran data tersebut).

Tolikara adalah salah satu kabupaten yang dibuat pada tahun 2002. Pada waktu itu, memiliki 4 kecamatan dan 10 desa. Sekarang kabupaten tersebut mempunyai 46 kecamatan dan 545 desa. Pada pemilihan umum tahun 2019 ini, jumlah suara untuk Presiden Joko (Jokowi) Widodo 230.765, sementara menurut Biro Statistik Nasional (BSN) total penduduk – laki-laki, perempuan dan anak-anak – hanya di bawah 140.000. Masalahnya adalah bahwa data yang digunakan untuk pemilihan umum dan program-program pemerintah tidak berasal dari BSN; namun dari kantor catatan sipil Kementerian Dalam Negeri, yang banyak kemungkinan dimanipulasi oleh pejabat pemerintah setempat.

Data penduduk palsu telah menciptakan jaringan ketidak-hadiran pemerintah, tetapi mereka yang bertanggungjawab di atas, lebih senang menghabiskan uang untuk membeli barang dan jasa yang disediakan oleh para pendatang. Pemerintah tidak mengirimkan ribuan orang Indonesia ke Wamena 20 tahun terakhir ini. Mereka datang atas inisiatif mereka sendiri, tahu ada uang yang bisa dihasilkan di sana. Bukti anekdotal, menunjukkan bahwa sebagian uang ini telah membuka jalan bagi gerakan pro-kemerdekaan dari para pejabat terpilih yang simpatik, yang memungkinkan KNPB menjadi organisasi yang berpengaruh dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) mendapatkan uang untuk membeli peluru dan senjata.

“… badan intelijen mendorong fragmentasi administratif dan melihatnya sebagai salah satu cara untuk mematahkan gerakan kemerdekaan dan memelihara persaingan lokal.”

Dalam hal tertentu, badan intelijen mendorong fragmentasi administratif dan melihatnya sebagai salah satu cara untuk mematahkan gerakan kemerdekaan dan memelihara persaingan lokal. Namun para politisi di dataran tinggi tersebut cerdik menggunakan kekuasaan politik dan uang untuk merebut kendali dari para elit tradisional daerah pesisir, namun yang terjadi sebaliknya. KNPB, yang didominasi oleh orang-orang Papua dari gunung, telah menjadi organisasi kemerdekaan yang terbesar di Papua, dan sentimen pro-kemardekaan menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Beberapa pendukung kemerdekaan menuduh Jakarta secara sengaja menyembunyikan jumlah pendatang yang sebenarnya, untuk mengaburkan jumlah sebenarnya tentang marjinalisasi penduduk Papua asli. Misalnya, setelah kekerasan di Wamena, seorang pastor berpengaruh yang pro-kemerdekaan, menulis.

“Penduduk asli Papua Barat telah menjadi saudara dengan para pendatang di seluruh tanah Papua, dari Sorong hingga Merauke, sejak 58 tahun yang lalu. Maka harus ditanyakan, pendatang dari kelompok etnis apa dan di daerah mana yang menjadi musuh bagi penduduk asli Papua? Kita harus memiliki data sehingga kita tahu siapakah pendatang yang hidup di tanah Melanesia Papua Barat yang membawa pedang dan pisau serta senjata tajam untuk membunuh masyarakat asli Papua yang memiliki tanahnya sendiri?”

Jika pemerintah Jokowi serius untuk menangani masalah Papua, ia harus menghitung secara akurat dan mendokumentasikan jumlah pendatang yang sebenarnya, seperti yang orang Papua tuntut, namun juga mengekspos jumlah penurunan penduduk Papua asli yang telah terjadi dalam statistik lokal, khususnya di dataran tinggi. Pemerintah mempunyai peluang dengan sensus penduduk tahun depan, namun harus bergerak cepat untuk mendapatkan sumber daya ekstra, pelatihan dan ketersediaan personil, dan pada awal Oktober ini tidak terjadi apa-apa.

Sementara itu, pemerintahan Jokowi tidak menunjukkan tanda-tanda yang menghargai bahaya meningkatnya ketegangan masyarakat. Lebih banyak serangan pembakaran property pendatang terjadi di Oksibil, ibu kota Pegunungan Bintang di dataran tinggi pada tanggal 26 September, dan dua pendatang dari Sulawesi Selatan tewas di dekat bandara Puncak pada tanggal 28 September. Karena sebagian besar korban adalah Muslim, serangan itu menarik perhatian para aktivis Muslim di luar Papua, seperti halnya serangkaian kekerasan sebelumnya di Tolikara pada Juli 2015. Kekerasan ini dapat menyebar ke luar Papua.

Penanganan preventif pada kepolisian tidak ada, sebuah faktor yang mungkin menyebabkan pemecatan Kapolda pada tanggal 27 September dan menggantinya dengan yang paling senior orang Papua asli di kepolisian, Paulus Waterpauw. Polisi itu lebih banyak mencurahkan waktu untuk mengumpulkan demonstran daripada menghentikan bentrokan antara pendatang dan penduduk asli, menambah luka hati mereka dengan memaksa mereka yang ditangkap untuk mendengarkan lagu-lagu Indonesia patriotik di tahanan mereka. Mereka gagal memberikan data yang valid tentang jumlah orang Papua yang dibunuh, oleh siapa dan dalam situasi seperti apa.

Belum ada tinjauan prosedur operasi standar untuk menangani kerusuhan, meskipun Kapolri Tito Karnavian, telah membuat sejumlah rekomendasi dalam sebuah buku yang berjudul “Pembelajaran” setelah masa jabatannya sebagai Kapolda di Papua dari 2012 hingga 2014. Halnya juga termasuk perlunya intelijen yang akurat untuk menilai potensi masalah, menyusun rencana keamanan berdasarkan skenario terburuk, tindakan paliatif langsung ketika korban terlibat, dan rapat evaluasi terus menerus untuk menilai dan mengatasi dampak. Tampaknya langkah-langkah ini tidak diadopsi oleh penggantinya.

Jawaban standar pemerintah terhadap para simpatisan kemerdekaan adalah mengintensifkan fokusnya pada simbol-simbol republik Indonesia – memaksa menaikkan bendera merah putih, membagi ikat kepala warna merah putih, bahkan melukis di atas makam seorang tokoh kemerdekaan, Kelly Kwalik, dengan simbol merah-putih. Tidak ada yang bisa diperhitungkan bahwa ini akan semakin mengasingkan simpatisan kemerdekaan.

Jokowi mengumumkan bahwa pada tanggal 30 September ia akan berbicara dengan warga Papua yang pro-kemerdekaan. Ini hanya akan dimainkan sebagai kemenangan gerakan kemerdekaan dan bukti bahwa hanya dengan kekerasan akan menghasilkan konsesi. Ia hendaknya lebih fokus pada situasi di lapangan:

  • Memberikan perintah kepada polisi untuk mendakwa orang Papua hanya dengan pelanggaran pidana biasa, termasuk pembakaran dan vandalisme di mana ada bukti kuat keterlibatan mereka – tidak untuk makar, yang akan menjebloskan mereka menjadi tahanan politik.
  • Memastikan investigasi sepenuhnya bagi mereka yang meninggal dan bagimana meninggalnya, dengan mendorong sebuah diskusi tingkat tinggi tentang bagaimana kepolisian dapat ditingkatkan.
  • Memberi kompensasi yang adil/seimbang dan transparan.
  • Mendorong laporan yang seimbang baik oleh media dalam maupun luar negeri, termasuk dengan memberikan akses lebih kepada para wartawan ke Papua.
  • Memastikan alokasi langsung dana darurat untuk Biro Statistik Nasional untuk peningkatan pelatihan, transportasi dan pengambil data untuk sensus 2020, dengan perhatian khusus untuk memastikan penghitungan data penduduk di wilayah dataran tinggi bagian tengah yang dapat diverifikasi.

Jokowi tinggal lama dalam kunjungannya yang sering dilakukan di Papua dan proyek-proyek infrastrukturnya sebagai bukti bahwa ia sedang mengatasi masalah Papua. Sejauh ini, ia telah menunjukkan sedikit keinginannya soal isu-isu keamanan, karena percaya pembangunan ekonomi akan mengatasi masalah politik.

Gaya retorika Orde Baru tentang persatuan Indonesia dan upacara rekonsiliasi yang dipentaskan tidak akan membantu. Narasi yang sangat berbeda tentang kekerasan orang Papua menunjukkan keseriusan masalahnya. Ini waktunya untuk mengadakan koreksi secara serius.

Terjemahan bebas oleh Adrianus Suyadi SJ dari tulisan Sidney Jones dari sumber The Lowy Institute

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article