Jumat, November 15, 2024

Pidato Kebudayaan Visi 100 Tahun Indonesia

Must read

Islam, Keindonesiaan, dan Kiblat

Oleh Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA

Pada hari ini, 22 Oktober 2019, 74 tahun yang lalu, KH. Hasyim As’yari mengeluarkan fatwa yang dikenal sebagai Resolusi Jihad. Dalam fatwa tersebut, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa fardhu ‘ain bagi setiap muslim untuk turun melawan penjajah. Fatwa inilah yang menjadi dasar bagi arek-arek Suroboyo dan sekitarnya untuk melakukan pertempuran melawan Sekutu. Semula Bung Tomo berencana untuk melakukan penyerbuan kepada Belanda pada tanggal 9 November. Namun, Kiai Hasyim As’ary meminta untuk menundanya. Alasannya, karena Kiai Abbas Abdul Jamil yang dikenal sebagai Singa dari Jawa Barat belum sampai ke Surabaya.

Setibanya di Surabaya, Kiai Abbas dan Bung Tomo bersepakat untuk melakukan penyerbuan terhadap penjajah. Dengan teriakan Takbir, Allahu Akbar, Kiai Abbas dan Bung Tomo bersama arek-arek Suroboyo dan sekitarnya melawan Sekutu NICA. Pekikan takbir Allahu Akbar bukan untuk menyerang sesama anak bangsa, bukan pula untuk menebar kebencian. Tetapi, untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap penjajah. Akibatnya, pemimpin NICA, Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby tewas di tangan santri Tebuireng bernama Harun, yang selanjutnya melahirkan pertempuran 10 November 1945.

Fakta sejarah ini merupakan bukti kuat dan nyata bahwa santri, para kiai, dan Nahdlatul Ulama memiliki komitmen kebangsaan dan komitmen keindonesiaan yang kokoh. Dan peristiwa sejarah itulah yang dijadikan momentum ditetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.

Gambar oleh Mufid Majnun dari Pixabay 

Hari santri ini diperingati untuk membangkitkan semangat perjuangan melawan penjajah, meneguhkan komitmen kebangsaan, dan melunasi janji para pendiri bangsa, yang telah diteladankan oleh para santri- santri terdahulu.

Abdul Hamid yang dikenal sebagai Pangeran Diponegoro adalah santri tulen. Ia mondok pertama kali di KH. Hasan Besari Tegalsari, Jetis Ponorogo. Ia juga berguru kepada KH. Taftazani Kertosono, belajar kitab Tafsir Jalalain kepada KH. Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang. Bahkan, jika kita pergi ke Magelang dan melihat kamar Pangeran Diponegoro di eks-Karisdenan Kedu, kita dapat menemukan 3 peninggalan Pangeran Diponegoro; al-Qur’an, Tasbih, dan Kitab Fathul Qorib.

Santri juga membangun fondasi kebangsaan dan pendidikan Indonesia melalui tokoh yang bernama Suwardi Suryaningrat yang dikenal dengan panggilan Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar sempat mondok dan belajar al- Qur’an kepada Kiai Sulaiman Zainuddin Kalasan-Prambanan. Pengalaman baik di pesantren inilah yang menjadi inspirasi Ki Hajar Dewantara untuk merumuskan pokok-pokok pikirannya tentang pendidikan. Bahwa tujuan pendidikan bukan semata-mata menciptakan orang-orang yang pintar, melainkan juga harus memiliki budi pekerti yang baik. Menurut Ki Hajar:

Sekolah itu harus pula mendjadi rumahnya guru. Itulah tempat tinggal jang pasti; rumah itu diperuntuki nama guru, atau lebih baik dikatakan orang menjebut pondoknja itu namanja. Dari dekat dan djauh datanglah murid kepadanja; bukan dia jang pergi ke murid. Kita berkata: ia bukan ‘sumur lumaku tinimba’ (sumber bedjalan, tempat umum mengambil air). Seluruh suasana paguron itu diliputi semangat pribadinja (Ki Hajar Dewantara, 1962)

Bahkan, lagu “Syukur” yang sering kita nyanyikan itu adalah ciptaan santri, keturunan nabi, berasal dari Semarang, yang bernama Habib Husein Muthahar. Tak hanya menciptakan lagu, Habib Husein juga merupakan Bapak Paskibraka. Dialah yang memiliki ide bahwa pengibaran bendera merah putih dilakukan oleh para pemuda yang berasal dari berbagai daerah.

Keempat tokoh di atas, KH. Abbas, Pangeran Diponegoro, Ki Hajar Dewantara, dan Habib Husein Muthahar, hanyalah salah satu contoh betapa perjuangan dan kontribusi para santri kepada bangsa dan negara sangat besar. Bahkan, sejumlah santri tewas di medan tempur demi mencapai dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kiai Haji Zainal Musthofa dari Tasikmalaya bukan hanya lantang menyuarakan semangat perlawanan terhadap penjajah melalui mimbar-mimbar pidato, tetapi juga turun ke jalan memimpin pertempuran melawan Jepang.

Kiai Ilyas dari Lumajang yang dikenal dengan Kapten Ilyas memimpin ratusan santri dan masyarakat untuk melakukan penyerbuan terhadap benteng-benteng Belanda. Ia wafat pada 2 April 1949 melalui pengarahan serdadu Belanda yang sangat besar. Begitu juga dengan Mayor TNI Hamid Roesdi, Malang, yang selain aktif di militer juga menjadi pengurus organisasi pemuda yang bernama Pandu Ansor yang sekarang bernama GP Ansor. Ia dengan gigih melakukan perlawanan terhadap Belanda penumpasan pemberontak PKI. Ia pun tewas di usia ke-38 karena ditembak oleh Belanda di pinggir sungai Wonokoyo, Kedungkandang Malang, yang kemudian makamnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Suropati Malang.

Gambar oleh Mufid Majnun dari Pixabay 

Hadirin, hadirat, bapak/ibu yang saya hormati,

Dan pada hari ini, 22 Oktober 2019, saya ingin mengajak para hadirin dan seluruh bangsa Indonesia untuk berefleksi, memikirkan dan berimaginasi tentang Islam dan muslim serta Keindonesiaan di masa- masa yang akan datang, terutama pada saat Indonesia berumur 100 tahun, yakni 2045. Ini penting dilakukan atas dasar beberapa hal.

Pertama, pada akhir-akhir ini, penggunaan sentimen agama dalam ruang politik semakin menguat, dimulai dari peristiwa Pilkada DKI yang melahirkan gerakan politik 212 sampai pada pemilihan presiden kemarin. Politik identitas yang memanfaatkan kedangkalan pemahaman beragama tampaknya akan terus digunakan oleh kekuatan-kekuatan politik untuk meraih kekuasaannya.

Kedua, eksklusifitas, intoleransi dan radikalisme beragama, khususnya di kalangan umat Islam, semakin hari semakin menguat. Sejumlah laporan penelitian telah menunjukkan peningkatan intoleransi dan radikalisme beragama. Laporan survei Wahid Foundation, misalnya, menyebutkan bahwa pada tahun 2017 mayoritas muslim dan muslimah (57,1%) bersikap intoleran kepada kelompok yang tidak disukai. Persentase tersebut meningkat jika dibandingkan dengan survei tahun 2016 sebesar 51,0%. Bahkan, sejumlah aparat sipil negara, TNI-polri, BUMN mulai terpapar paham radikal.

Eksklusivitas, intoleransi dan radikalisme beragama ini bukan saja merusak agama (Islam) tetapi juga merusak kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenapa disebut merusak agama, karena pada prinsipnya Islam menghargai kebhinekaan. Karena intoleransi dan radikalisme inilah, sesama anak bangsa saling mengkafirkan, saling menyalahkan, bahkan saling memusuhi.

Ketiga, kelompok yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara juga mengalami peningkatan. Mereka berpandangan bahwa Pancasila itu bertentangan dengan Islam. Padahal, melalui Mukmatar NU di Situbondo, para kiai telah memutuskan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan, sila-sila yang ada dalam Pancasila merefleksikan nilai-nilai Islam. Karena itulah, Nahdlatul Ulama menjadi organisasi pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasinya.

Keempat, dengan melakukan refleksi dan imaginasi tentang Islam, muslim dan Indonesia menuju usia 100 tahun berarti kita sedang menjalankan amanah untuk menjaga Islam, mempertahankan NKRI dan kedaulatan bangsa Indonesia.ِ

“Kehancuran agama dari para pembela yang tidak tahu caranya membela itu lebih besar daripada kehancuran agama dari para pencela.”

Hadirin, hadirat, bapak/ibu yang saya hormati,

Karena empat hal tersebut, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan empat sub pokok pikiran. Keempat pokok pikiran ini, saya kira akan menjadi fondasi kuat untuk menyongsong 100 tahun Indonesia. Ini penting karena, pada tahun 2045, sejumlah lembaga telah memprediksi masa emas Indonesia. Pada tahun 2045, Indonesia diprediksi akan menjadi negara maju, dengan kekuatan ekonomi dunia kelima, dengan dominasi kalangan usia produktif.

Namun, cita-cita Indonesia maju, Indonesia emas, pada tahun 2045 ditentukan oleh bagaimana kita mempersiapkan di hari ini, terutama bagaimana pandangan dan sikap keagaman kita: apakah menjadi penopang kemajuan Indonesia ataukah justru bersifat destruktif.

Karena itu, keempat pokok pikiran ini harus menjadi perhatian seluruh komponen bangsa baik dari kalangan pemerintah, para pengusaha, media, tokoh-tokoh agama, serta masyarakat secara umum. Jika keempat hal ini diabaikan, Indonesia emas atau Indonesia maju dengan menjadi kekuatan ekonomi nomor lima dunia yang ditopang oleh bonus demografi hanya akan menjadi mimpi belaka.

Pertama, Islam dan kebudayaan; bagaimana Islam memandang kebudayaan serta bagaimana menjadikan Islam sebagai sarana atau alat untuk transformasi kebudayaan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Kedua, Islam dan kemajemukan; dengan kajian terhadap Islam yang mendalam, baik yang bersumber dari al-Qur’an, Hadist dan Sunnah Nabi maupun pendapat para ulama, kita dapat menemukan betapa Islam sangat menghargai kemajemukan. Ketiga, Islam dan negara; bagaimana pandangan Islam terhadap negara. Keempat, bagaimana menjadikan Islam Indonesia yang toleran, damai, saling menghargai ini menjadi kiblat atau rujukan bagi umat Islam dunia.

Gambar oleh Ebrahim Amiri dari Pixabay 

Hadirin, hadirat, bapak/ibu yang saya hormati,

Islam dan Kebudayaan

Islam turun di tanah Arab bukan untuk melakukan judgment terhadap kebudayaan, seakan-akan Islam dan budaya berada pada oposisi biner, atau berhadap-hadapan, tetapi untuk melakukan transformasi kebudayaan, dengan cara melakukan afirmasi dan akomodasi terhadap kebudayaan-kebudayaan yang sudah ada. Karena itulah, tak heran jika sejumlah tradisi tetap dipertahankan bahkan disyariatkan. Sekedar contoh, rukun Islam kelima, yaitu haji, adalah ritual yang berisi napak tilas perilaku para nabi seperti Nabi Adam, Nabi Ibrahim, dan Nabi Ismail. Begitu juga dengan ibadah puasa yang sudah dijalankan oleh para nabi dan umat-umat terdahulu seperti Nabi Musa dan Siti Maryam.

Begitu juga, ketika Islam datang ke Nusantara. Islam yang dibawa dan diajarkan oleh para Walisongo bukan dengan cara memberangus kebudayaan dan tradisi yang ada, melainkan menjadikan kebudayaan sebagai instrumen dakwah, sehingga Islam dapat bersatu dan bersenyawa dengan kebudayaan setempat. Dalam kerangka inilah, Islam Nusantara dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama.

Kebudayaan dan tradisi yang berkembang di masyarakat tidak serta merta ditolak, tetapi justru menjadi infrastruktur dakwah. Misalnya, Menara yang banyak kita jumpai dari masjid-mesjid, pada mulanya bukan arsitektur Islam, melainkan berasal dari agama Zoroaster. Apa yang dilakukan oleh Islam adalah tidak serta merta menolak keberadaan Menara, tetapi memodifikasinya sehingga Menara sampai hari ini tetap digunakan sebagai arsitektur masjid pada umumnya. Padahal arti kata “manarah” sendiri berarti “tempat api”

Allah berfirman dalam surat al-An’am ayat 108:

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

Hadirin, hadirat, bapak/ibu yang saya hormati,

Hari ini, kita menghadapi sebagian kelompok yang suka mempertentangkan apakah tradisi tertentu sesuai dengan Islam atau tidak. Akibatnya, kelompok ini suka menghakimi suatu tradisi dengan vonis sesat, syirik, bid’ah bahkan kafir. Sekedar contoh, tradisi masyarakat yang membaca al-Qur’an, sholawat serta bacaan tahmid, tahlil, tasbih dan istighfar yang oleh masyarakat Indonesia sebut sebagai tahlilan, sering dianggap sesat dan bid’ah. Begitu juga, ketika masyarakat berkumpul untuk belajar dan membaca sejarah nabi seperti dalam tradisi mauludan dan barzanji dianggap bid’ah. Penyebabnya sederhana, sejarah yang dibaca adalah dalam Bahasa Arab. Jika saja dibaca terjemahnya dalam versi Bahasa Indonesia, maka saya yakin tidak akan muncul tuduhan bid’ah.

Pengkafiran, dan tuduhan sesat terhadap tradisi-tradisi tersebut akan menjadi hambatan signifikan bagi kemajuan kebudayaan di Indonesia. Karena itulah, saya mengajak para hadirin semua dan seluruh bangsa Indonesia untuk bersama-sama mengembangkan kebudayaan di Indonesia.

“Sebuah bangsa akan lestari, langgeng, dan abadi karena ketinggian peradaban dan kebudayaannya. Ketika kebudayaan dan peradaban mereka dekaden, maka bangsa itu akan lenyap dan sirna.”

Hadirin, hadirat, bapak/ibu yang saya hormati,

Islam dan Kebhinekaan

Manusia terlahir dari satu bapak dan ibu, kemudian turun-temurun menjadi banyak suku bangsa, berbeda dalam warna kulit, bahasa, adat istiadat, dan agama. Di negara tercinta ini, kita memiliki ratusan suku,َ beragam agama dan kepercayaan, dan ratusan bahasa. Bahkan, tak ada negara yang lebih beragam dari Indonesia.

Kerukunan dalam kebhinekaan ini harus terus kita jaga sebagai wujud dari implementasi ajaran agama juga sebagai komitmen anak bangsa untuk melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa ini. Pada prinsipnya tidak ada agama yang menghendaki perpecahan, mengajarkan permusuhan, mengajak saling bertikai. Karena itulah, Islam memandang bahwa kebhinekaan ini merupakan tanda-tanda kebesaran Allah.

Sekalipun Allah mampu, Allah tidak menjadikan segenap manusia secara seragam, melainkan beragam. Ini jelas sekali difirmankan oleh Allah dalam surat Yunus ayat 99:

Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?

Tujuan dijadikannya manusia berbhineka ini bukan untuk saling menegasikan, saling berperang, melainkan untuk saling mengenal, saling kolaborasi, saling kerjasama untuk menjalankan amanah dan mandat Allah kepada manusia sebagai penguasa yang bertanggungjawab di muka bumi ini.

Karena itulah, melalui forum ini, saya ingin menegaskan bahwa Islam memberikan jaminan akan tumbuh kembangnya kebhinekaan. Maka dari itu, saya ingin mengajak seluruh pemuka agama untuk saling bergandengan tangan, bekerja sama untuk menciptakan Indonesia dan dunia yang damai, tentram, dan rukun.

Hadirin, hadirat, bapak/ibu yang saya hormati,

Islam dan Negara

Sebagaimana yang telah disebutkan di awal pidato, bahwa akhir-akhir ini suara penolakan Pancasila dan nafsu untuk menerapkan formalisasi syariat Islam dalam kehidupan bernegara atau yang kerap kita sebut sebagai NKRI bersyariah, semakin hari semakin meningkat. Kelompok ini membangun argumen teologis dari sejumlah ayat al-Qur’an dan perjalanan sejarah nabi.

Salah satu ayat al-Qur’an yang sering mereka jadikan dasar adalah surat al-Maidah ayat 44: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

Tak hanya al-Qur’an, kelompok ini juga mendasarkan argumennya kepada Hadist Nabi, salah satunya adalah:

Diriwayatkan dari Nafi’ ia berkata, Abdullah bin Umar ra berkata kepadaku, saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, barang siapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka kelak pada hari kiamat akan bertemu Allah tanpa hujjah, dan barang siapa yang mati sedangkan tidak ada baiat pada pundaknya maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah. (H.R. Muslim)

Dalil-dalil al-Qur’an dan Hadist Nabi di atas dipahami sebagai kewajiban untuk menegakkan khilafah Islamiyah sebagai syarat untuk menerapkan syariat Islam. Saya tidak mengerti, apakah kelompok ini lupa atau sengaja mengabaikan sejumlah fakta sejarah dan dalil-dalil lain. Tidak ada rujukan yang sahih perihal bagaimana model kepemimpinan dalam Islam, seperti apa teknis pemilihannya, dan bagaimana perannya. Setelah Nabi Muhammad wafat, mekanisme pemilihan pemimpin mulai dari Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali IbnAbi Thalib tidaklah sama.

Islam hanya memberikan prinsip-prinsip dasar bagaimana kepemimpinan dilakukan harus melindungi segenap warganya, mengangkat harkat dan martabat bangsanya, menjamin pemenuhan hak-haknya. Karena itulah, Piagam Madinah memberikan perlindungan kepada kelompok agama dan etnis yang berbeda.

Piagam Madinah

Artinya, “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengikat di kalangan mukminin dan muslimin (asal) Quraisy, (asal) Yatsrib (Madinah), serta pihak lain yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka. Sungguh, mereka semua adalah satu bangsa (satu visi dan satu cita-cita), di samping bangsa-bangsa lainnya.

Karena itulah, setelah mengkaji sejumlah dalil baik dari al-Qur’an, Hadist Nabi maupun pandangan para ulama, para kiai di Nusantara ini tidak mempermasalahkan bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hadirin, hadirat, bapak/ibu yang saya hormati,

Pancasila yang dijadikan dasar negara sama sekali tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam. Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa berkaitan dengan prinsip tauhid, yang terdapat disejumlah ayat al-Qur’an seperti An-Nahl 22, al-Baqarah 163, Al-Hasyr 22-24, dan lain sebagainya. Sila kedua, kemanusian yang adil dan beradab. Jelas sekali bahwa Islam turun untuk mengangkat derajat kemanusiaan. Salah satu ayat yang terkait dengan kemanusiaan ini adalah surat An- Nahl 90. Begitu juga dengan sila ketiga, Persatuan Indonesia. Islam sangat melarang keras adanya perpecahan, bahkan Islam membolehkan memerangi kelompok-kelompok separatis.

Begitu juga dengan sila keempat. Islam sangat menjunjung tinggi prinsip “musyawarah” untuk memutuskan beragam persoalan, sebagaimana firman Allah pada surat Asy-Syuara ayat 38:

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.

Dalam hadist nabi yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah bersabda: “Saya tidak pernah melihat seseorang yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya dibanding Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (HR. Tirmidzi)

Sila kelima yang berbunyi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia juga tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadist Nabi.

NU dalam rentetan sejarah telah menegaskan komitmen hubungan Islam dan negara, atau antara Islam dan demokrasi. Sebagai contoh, NU turut serta dalam menghapus 7 kata dalam Piagam Jakarta, dan menerima Asas Tunggal Pancasila. Hubungan Islam dan negara (demokrasi) adalah kompatibel bukan alternatif. Hubungan Islam dan negara (demokrasi) adalah saling menguatkan untuk kemaslahatan bersama. Islam bukan merupakan sistem spesifik yang menolak segala sistem yang lain. Ke depan, dalam percaturan di tingkat nasional, regional, dan internasional, kita harus menegaskan posisi demikian.

Hadirin, hadirat, bapak/ibu yang saya hormati,

Islam Indonesia Sebagai Rujukan

Islam yang dijalankan di Indonesia merupakan representasi visi rahmatan lil ‘alamin. Kita menjadi representasi dari komitmen dan sikap beragama yang menekankan moderasi, toleransi, dan perdamaian. Peradaban yang dibangun agama (Islam) di dunia ke depan akan merujuk kepada praktik beragama yang kita laksanakan di Indonesia. Yakni, praktik beragama yang sangat menghargai keragaman dan kebudayaan.

Photo by Adli Wahid on Unsplash

Ini yang sering kita sebut sebagai Islam Nusantara. Islam Nusantara bukan aliran, paham, sekte, atau mazhab baru yang dikembangkan di Indonesia. Islam Nusantara adalah Islam yang diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan sesuai karakteristik masyarakat dan budaya di Nusantara sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Kita dapat mencontohkan bagaimana Islam bisa masuk dalam budaya Indonesia, seperti dalam penggunaan beduk untuk penanda waktu salat. Beduk semula merupakan alat musik, kemudian diterima oleh para alim ulama, kegunaannya diganti untuk memulai waktu salat. Islam Nusantara juga menyatu dengan nasionalisme. Nasionalisme harus diberi semangat Islam. Ini yang diajarkan oleh Hadlratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari “hubbul wathon minal iman”, yang artinya: nasionalisme adalah bagian dari iman.

Oleh karena itu, kita bersama-sama harus mendorong praktik Islam Indonesia agar menjadi rujukan keberagamaan (Islam) di dunia. Bukan hanya kepada negara-negara muslim dunia. Namun, juga kepada negara-negara non-muslim yang menerapkan sistem demokrasi. Saat ini, kita dapat berbangga menjadi negara demokrasi terbesar di dunia. Pelaksanaan pemilu yang rumit di antara berita-berita yang cenderung mengedepankan pola post truth dan ujaran kebencian, alhamdulillah tetap dapat dilaksanakan dengan damai dan menghasilkan pilihan rakyat yang demokratis.

Mengapa ini bisa terjadi. Atas berkat rahmat Allah dan didorong oleh keinginan luhur yang mendasarkan kepada komitmen dan praktik keagamaan (Islam) yang moderat, toleran, dan damai. Keadaan demikian akan menjadi pusat belajar demokrasi terhadap negara- negara demokrasi lain, yang justru menghasilkan pemimpin produksi hoaks (berita dan opini bohong). Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, yang telah menunjukkan bukti adanya hubungan agama dan negara (demokrasi) yang harmonis, kokoh dan saling menguatkan. Dan karena itu, kita adalah rujukan dunia yang sesungguhnya.

Hadirin, hadirat, bapak/ibu yang saya hormati,

Wal-hasil, pandangan Islam tentang kebudayaan, negara dan kebhinekaan secara tepat akan menjadi modal penting dalam membangun Islam Indonesia sebagai rujukan dunia. Dan saya yakin, santri-santri yang dilahirkan dan ditempa di pesantren memiliki pemahaman tentang Islam, kebudayaan, negara dan kebhinekaan yang tepat sehingga di pundak santrilah masa depan Indonesia berada.

Nilai-nilai yang selama ini dimiliki oleh santri seperti integritas, kejujuran, akhlaqul karimah akan menjadi modal penting dalam menyongsong Indonesia emas pada tahun 2045. Tentunya, saya berpesan, santri perlu terus mengembangkan tradisi kreatif, inovatif, dan berpikir kritis. Karena itulah, melalui mimbar ini, saya ingin menghimbau kepada Bapak dan Ibu semua untuk melibatkan santri, menjadi subyek aktif, dalam seluruh proses pembangun bangsa dan negara. Santri mewarisi legacy yang ditinggalkan oleh para ulama di abad keemasan Islam. Karena itu, kebangkitan Indonesia dan Islam akan sangat ditentukan oleh kiprah dan peranan kaum Santri.

Menuju tahun 2045, kita juga menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0. Di era ini kita bisa mendapatkan manfaat, tetapi juga berpeluang mendapat efek negatif: menjadikan manusia terperangkap sebagai obyek kemajuan teknologi dan informasi. Kemajuan teknologi dan informasi dapat mengurangi hubungan dan kedekatan antar manusia (hablun min al-nas).

Santri memiliki modal yang besar untuk mendorong manusia tetap sebagai pusat (sentral) atas kemajuan teknologi dan informasi. Santri memiliki mekanisme agar hubungan antar manusia tetap kuat dan kokoh. Di antaranya Tahlilan, Yasinan, dan Barzanji. Di dalam tradisi keberagamaan tersebut, teknologi dan informasi merupakan instrumen bukan tujuan. Dengan demikian, seluruh produk peradaban diarahkan untuk menguatkan kualitas kemanusiaan kita.

Selamat Hari Santri 2019

Gedung Kesenian Jakarta, 22 Oktober 2019

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article