Kolom Mohamad Cholid
Kabinet Presiden Abraham Lincoln pada masa pemerintahan 1861-1865 berisi tiga orang mantan rivalnya saat pemilu 1860. Mereka adalah Attorney General Edward Bates, Secretary of the Treasury Salmon P. Chase, dan Secretary of State William H. Seward.
Dalam perjuangannya menghapus pebudakan dan untuk menyiapkan kemenangan Perang Sipil, Presiden Lincoln memulai langkahnya dengan memenangi diri sendiri, mengalahkan egonya. Dia merangkul tokoh-tokoh politik yang sebelumnya, menurut media massa/opini publik saat itu, mereka dijagokan sebagai kandidat yang lebih kuat untuk menjadi presiden.
Ada yang menyebutkan, di tengah ketegangan Perang Sipil dan upaya mengatasi para jenderal yang kurang kompeten, Presiden Lincoln telah membentuk “kabinet sumbang”. Sejarah membuktikan, Abraham Lincoln berhasil memimpin bangsanya memasuki tahapan baru yang lebih baik dan dia menjadi salah satu dari beberapa presiden AS paling hebat dan sangat dihormati.
Susunan kabinet suatu pemerintahan disebut “sumbang” atau dapat diandalkan ditentukan oleh keberhasilan mereka secara efektif memimpin perubahan positif dalam jangka panjang. Bukan ditentukan oleh opini dan pendapat “experts”.
Hari-hari ini sejumlah kalangan bergegas membangun persepsi, membentuk asumsi, dan menonjolkan perspektif masing-masing untuk menakar keandalan para anggota kebinet yang mungkin saja mereka anggap “sumbang”– karena ada orang-orang yang mereka nilai “kontroversial”.
Apakah benar demikian? Kenapa tidak sabar menunggu mereka bekerja dulu?
Menakar para pemimpin di pemerintahan, dalam lingkungan bisnis, dan kegiatan nonprofit, sejauh mana mereka efektif bekerja sesuai fungsi masing-masing untuk tujuan-tujuan mulia, dapat dilakukan dengan sejumlah cara.
Satu di antaranya — yang tampaknya unik, di luar yang sudah kita kenal — dapat meminjam perspektif Connie Dieken. Ia berpengalaman 20 tahun sebagai wartawati broadcasting media, memperoleh lima Emmy Awards, inducted into the Radio/Television Broadcaster’s Hall of Fame dan mulai bisnis tahun 2000 di bidang executive education, sebagai thought leader dan executive coach.
Connie Dieken, social scientist yang menggunakan 20 tahun hidupnya mendalami perihal influence, sudah menulis dua buku bestsellers, “Talk Less, Say More” dan “Become the Real Deal”, keduanya diterbitkan Wiley.
Berdasarkan matrik yang dibuatnya, Connie memilah-milah perilaku kepemimpinan seseorang dan kemampuan masing-masing membangun pengaruh, meraih goal, ke dalam empat kuadran.
Selama 20 tahun bersama tim sosiolog dan psikolog melakukan riset, Connie menemukan dua variabel cara orang-orang membangun sukses.
Mereka dapat di-plot ke dalam two by two matrix: poros vertikal adalah gain (keuntungan). Apakah keuntungan itu untuk diri sendiri (self-centered), sepihak, atau mutual gain. Poros horizontal adalah sustainability, dengan kata lain, sejauh mana perubahan yang dipimpinnya bertahan. Untuk jangka pendek atau berhasil sebagai perubahan berkelanjutan?
Dari pola itu ada empat gaya atau cara manusia meraih goal: dominators, manipulators, persuaders, dan influencers.
Para dominators ada di kuadran sisi kanan bawah. Mereka berupaya keras membuat impact jangka panjang, tapi hanya untuk diri sendiri. Lantas main paksa, orang lain harus menuruti apa mau mereka. Ini menimbulkan “catastrophic change”. Contohnya adalah sosok semacam Kenneth Lay dan Bernie Madoff – kalau Anda cek di Google, akan lebih gamblang bagaimana sepak terjang mereka dan dampak negatifnya bagi kehidupan.
Kategori berikutnya, di sisi kiri bawah, adalah manipulators. Golongan ini akan melakukan pembelokan (fakta) atau menggunakan tekanan untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Mereka menggunakan power play dan hissy fits (ledakan marah atau tantrum). Segala cara mereka pakai untuk mendapatkan yang diinginkan–dan semuanya jangka pendek. Silakan cek manusia seperti Elizabeth Holmes (masih ingat kasus Theranos, kan?) atau Billy McFarland (Fyre Festival).
Sisi kiri atas matrix Connie Dieken adalah persuaders. Kelompok pemimpin yang merasa menjadi influencer, padahal mereka baru di tahap berperilaku persuasif dan hasil yang dicapai kurang bisa bertahan lama.
Mereka mengandalkan “kerumunan para pekerja yang rajin”, daya tarik retorika, karisma, dan lainnya untuk membuat orang-orang lain menuruti kemauan mereka saat ini.
“The issue is that leaders are often under the illusion that they’re influencing when they’re just being persuasive,” kata Connie. Ini bisa jadi jebakan, apalagi ketika ada orang lain yang lebih lihai dalam persuasi muncul.
Gaya kepemimpinan semacam itu tidak efisien, kurang efektif, dan melelahkan, karena si pemimpin ibarat akan terus-menerus harus menciptakan roda.
Para pemimpin sejati sepantasnya berupaya keras ambil posisi sebagai influencer, di kanan atas dalam matrix Connie Dieken. Di situlah ujiannya: bagaimana mengangkat derajat manusia dan memimpin perubahan positif yang berkesinambungan.
Bagaimana menurut Anda, bisakah kita menilai kabinet dan jajaran pemimpin kita dalam penyelenggaraan negara, serta mengevaluasi para pemimpin organisasi, berdasarkan empat kuadran Connie Dieken di atas?
Pemerintahan sekarang di mata sebagian orang mungkin dianggap ditopang oleh “kabinet sumbang”. Tapi kalau orang-orang yang dipercaya memimpin tersebut berani, bersungguh-sungguh dan sanggup, serta mau berubah menjadi para influencers, bagaimana? Sebagaimana Presiden AS Abraham Lincoln, yang membangun tim dengan para rivalnya, lalu berhasil menghapus perbudakan, mempersatukan Amerika, dan memperbaiki ekonomi.
Kita tunggu setahun ke depan ini, sejauh mana mereka, orang-orang yang diharapkan sebagai pemimpin tersebut, mampu melaksakan amanah. Memimpin perubahan positif untuk jangka panjang, bukan sekedar transaksional. Masing-masing akan menjemput takdirnya.
Sementara itu, sebelum menilai para pemimpin (di pemerintahan, di lingkungan bisnis, dan lembaga nonprofit), kita evaluasi diri kita sendiri. Karena, sebagaimana kata Connie Dieken, “The first person you have to influence is you.”
Di manakah kecenderungan diri kita menentukan posisi, apakah sudah puas sebagai persuader? Bagaimana pula organisasi kita, apakah masih membiarkan kecenderungan perilaku “manipulator”, seolah-olah berbuat baik untuk seluruh tim, tapi melakukan sandiwara demi mempertahankan ego dan kepentingan silo (divisi) masing-masing? Amit-amit juga untuk bersentuhan dengan perilaku “dominator”.
Untuk dapat menilai diri kita secara cermat, beranikan melihat cermin lebih mendalam, “legowo” menerima masukan para stakeholder (sejawat, para direct sports, atasan). Sebagaimana praktik pengembangan kepemimpinan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC).
Supaya kita terbukti sungguh-sungguh bersyukur atas karunia Tuhan, yang antara lain berwujud dalam bentuk diri yang sehat, pintar, dan dipercaya memimpin tim untuk membangun usaha menjadi lebih berprestasi. Bukankah Anda ingin berkontribusi positif buat kehidupan, agar menjadi lebih indah?
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman