Mohamad Cholid, Practicing Certified Executive and Leadership Coach
“Mastering others is strength. Mastering yourself is true power.” — Laozi
Majalah TEMPO sempat dikenal dengan kata-kata pemikat ini: Enak Dibaca dan Perlu. Selama sekian puluh tahun, sebelum teknologi digital diandalkan oleh media cetak untuk meningkatkan jangkauan penyebarannya, kalangan pembaca TEMPO selalu merasa perlu membaca majalah berita mingguan tersebut – tirasnya pernah mencapai 150.000 eksemplar/ minggu, terbesar di ASEAN waktu itu (sampai 1990-an).
Para pembaca, menurut survei, menyukai TEMPO karena cara penulisan beritanya lebih seperti cerita atau kisah manusia, rileks, kadang jenaka, dan tetap dengan Bahasa Indonesia yang tertib. Enak dibaca dan perlu memang.
It was. Itu dulu. Hari ini, silakan Anda – yang masuk generasi kolonial sampai milenial – memberikan penilaian dan persepsi masing-masing tentang TEMPO.
Hukum alam menegaskan, perubahan merupakan hal yang tetap selama kita hidup. Sedangkan perkara yang bersifat tetap lainnya hanya ada di alam sesudah kamatian. Dengan kata lain, manusia yang malas berubah menjadi pribadi yang lebih baik, sama saja seperti sudah mematikan dirinya sebelum ajal.
Majalah TEMPO sudah mengalami sejumlah perubahan sesuai dengan tuntutan pasar dan kompetisi di antara media besar. Dalam proses tersebut tidak dimungkiri terjadi ketegangan-ketegangan di dalam organisasinya.
Tarik menarik antara masa lalu dengan masa kini, ketegangan antara pentingnya bobot/ kedalaman cerita dengan kecepatan terbit, antara kebebasan ekspresi dan kebutuhan komersial, antara ketulusan dan hipokrisi beberapa personnya, dan seterusnya. Semuanya itu sesungguhnya fun, menyenangkan jika kita dapat mengelolanya dengan cermat dan menyikapinya dengan waras dan cerdas.
Ketegangan atau tension antara kesinambungan values dengan perubahan dalam suatu organisasi adalah bagian dari hukum alam juga, mesti dihadapi, bukan dihindari. Itu ketegangan yang enak dan perlu–kalau mau pinjam istilah TEMPO.
Menjemput masa depan adalah kerja kreatif, berkesinambungan, ada discovery dan ada invention. Karena manusia adalah “proyek Tuhan yang belum selesai” (Jim Rohn), sejumlah hal mesti kita upayakan, seperti mengembangkan kompetensi kepemimpinan, membangun jembatan, memperluas pasar, dan seterusnya.
Kadang muncul kondisi perturbation. Dalam proses ini yang sangat diperlukan adalah kecerdasan intelektual, spiritual, dan sosial. Selalu sigap untuk menjaga keseimbangan. Dalam tradisi pemikiran China, kita mengenal yin dan yang, yang berputar tarik-menarik, saling mengisi, membangun keseimbangan. Dalam ketegangan adu gagasan, utamanya untuk menghadirkan produk dan jasa yang excellent, kita memerlukan kelenturan berpikir.
Dao De Jing (道德經) karya Laozi (sering dituliskan juga sebagai Tao Te Ching, oleh Lao Tzu), yang terbit lebh dari 2000 tahun silam, sudah mengajarkan perilaku kepemimpinan (leadership behavior) dalam memimpin tim menghadapi realitas yang tidak nyaman, utamanya dalam proses perubahan menjemput takdir.
Dalam ajaran moral dan spiritual berbasis pada Taoism — yang dipengaruhi Confucianism dan Buddhism – tersebut, ujaran Laozi yang relevan untuk diimplementasikan dalam pengembangan kepemimpinan utamanya ini: “Mastering others is strength. Mastering yourself is true power. He who conquers others is strong; he who conquers himself is mighty.”
Kenapa itu tetap relevan sampai sekarang? Hari ini masih sering dapat kita temui para eksekutif dan yang merasa diri sebagai leader, kondisinya jauh di bawah spec yang digambarkan Laozi. Mereka gagap menghadapi dirinya sendiri. Bagaimana pula mau mengendalikan tim secara efektif dan memimpin organisasi tumbuh?
Berdasarkan survei yang diolah Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) terhadap 200 eksekutif sukses di sejumlah negara, ada 20 perilaku tidak efektif yang dapat menghambat mereka menjadi lebih baik dan naik ke level sukses berikutnya.
Perilaku-perilaku sembrono (flaws) dalam interaksi antar manusia yang “mewabah” di kalangan eksekutif (sukses) dan tidak mereka sadari tersebut, dapat menimbulkan bottleneck proses bisnis, menghambat kemajuan dan upaya-upaya perubahan menjadi lebih baik, serta merusak team engagement.
Contoh dari perilaku tidak efektif tersebut antara lain: making destructive comment (sarkasme yang tidak perlu, hanya untuk memperlihatkan diri kelihatan cerdas); speaking when angry (memanfaatkan emotional volatility sebagai alat manajemen); negativity (umumnya seperti ini: “Let me explain why that won’t work.”); dan passing the buck (ada kebutuhan untuk menyalahkan semua pihak, kecuali dirinya sendiri).
Para eksekutif dan yang mengaku sebagai leader melakukan hal-hal yang tidak efektif, bahkan kalau berkepanjangan bisa sangat destruktif, mungkin karena mereka merasa perlu harus memperlihatkan eksistensinya. Pemicunya bisa macam-macam, yang sering adalah symptom bottom line –yang mereka anggap belum optimal– tanpa mau tahu penyebabnya dan melihat trend positifnya.
Akibat mudah terpicu symptom dan kurang menggali ke akar persoalan yang sebenarnya, selain cenderung bereaksi dengan gegabah mereka juga mudah terjebak pada “band air solution” yang bahkan bisa lebih mahal ongkosnya.
Kalau saja mereka bersedia menjaga keseimbangan diri, berperilaku lebih matang saat menghadapi ketegangan/ketidaknyamanan dalam proses perubahan, benefit yang diperoleh signifikan. Utamanya, meningkatkan kepercayaan dan engagement tim. “Happy are they that can hear their detractions and put them to mending,” kata William Shakespeare (“Much Ado About Nothing”) sekian abad silam dan tetap dapat kita terapkan sampai hari ini.
Agar memimpin lebih efekif, diperlukan sikap rendah hati dan keberanian mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada diri sendiri. Seperti ini: “Untuk akselerasi pertumbuhan, apa saja perilaku kepemimpinan selama ini yang harus saya hentikan, saya ubah?”
Diperlukan juga kemampuan mendengarkan tim, membaca realitas dan menerjemahkannya dengan maximum clarity untuk kepentingan masa depan. Supaya aman, tidak terjebak “one fit for all solution”. Eksekutif secerdas Anda tentunya memilih solusi lebih strategis, memberikan positive impact jangka panjang.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment.
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman