Senin, November 18, 2024

John Kerry Si Pengkhianat Cinta

Must read

Kolom Idrus F Shahab

Cinta John Kerry kepada Israel sebenarnya tidak lekas luntur. Mengunjungi negeri itu pada 1986, ia menyimpan baik-baik ingatan mengenai negeri kecil demokratis yang dikelilingi negara-negara Arab yang memusuhinya. Ia terpesona. Ya, Kerry bagian dari politikus Amerika, dari Partai Demokrat dan Republik, yang cinta buta kepada Israel. 

Tiga puluh tahun berselang, pada akhir 2016, tepatnya tiga minggu sebelum kariernya sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat berakhir, Kerry bersama Presiden Barack Obama didudukkan Israel sebagai pengkhianat cinta. Di antara para diplomat, Kerry berbicara panjang dan lantang, mengeluhkan pemerintah Israel “yang paling ’kanan’ yang dimotori elemen-elemen paling ekstrem dalam sejarah Israel”.

Dalam pidatonya sepanjang 72 menit, ia berbicara layaknya seorang Palestina. Menunjukkan gencarnya Israel membangun permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur belakangan, Kerry mempertanyakan kesungguhan Israel berdamai dengan Palestina. Keresahan Kerry menjadi-jadi setelah Dewan Keamanan PBB, kali ini tanpa veto Amerika, menyetujui Resolusi 2334.

Kendati resolusi ini tak mendatangkan sanksi apa pun bagi Israel, di mata seorang Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan kawan-kawan koalisinya, keengganan Amerika menggunakan hak veto merupakan pengkhianatan dari seorang kakak yang selama ini melindungi adiknya tanpa syarat.

Israel seperti memiliki privilese untuk tidak dinilai menurut ukuran masyarakat internasional. Sejak 1970, Amerika telah menggunakan 39 kali veto untuk melindungi Israel dari resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk atau mengecam tindakan atau sikapnya yang tak mengindahkan hak asasi orang Palestina. Kalaupun itu sampai lolos –ini sangat jarang terjad– Amerika tetap melindungi Israel yang mengabaikan resolusi. Dimanja dengan kondisi ini, Israel menjadi negara yang sukar mendengarkan pendapat yang berbeda dengan kepentingannya. 

Kini Israel merasa ditinggalkan Amerika, meski kodisi ini tak berlangsung lama. Ketika pemerintah Donald Trump menggantikan Barack Obama pada 20 Januari, segalanya kembali “normal”. “Tetap bertahan, Israel. Tak lama lagi tanggal 20 Januari,” kata Donald Trump dalam cuitannya di Twitter, sebelum Kerry menyampaikan pidatonya. Sebuah isyarat jelas bahwa Trump akan meninggalkan politik luar negeri yang ditorehkan oleh Barack Obama selama ini. “Terima kasih atas hangatnya persahabatan dan dukungan yang tegas terhadap Israel,” sambut Netanyahu, juga via Twitter.

Puncak kehangatan Israel-Amerika terjadi tatkala pemerintahan baru Presiden Donald Trump memberikan dua hadiah istimewa kepada Israel: pemindahkan kedutaan besar Amerika ke Yerussalem, dan pengakuan bahwa pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah-wilayah setelah Perang Enam Hari 1967 “tidak ilegal.” 

Pemindahan kedutaan merupakan pengakuan simbolis Amerika bahwa Yerussalem ibu kota Israel. Sedangkan “pembenaran” atas pemukiman Yahudi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, tak ayal lagi merupakan keberpihakan yang tentu saja akan menenggelamkan setiap usaha perdamaian yang berasas “dua negara yang berdampingan” (two state solution). 

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article