Kolom Mohamad Cholid
“When I let go of what I am, I become what I might be,” Lao Tzu.
Waktu dan ruang memungkinkan kita eksis. Menit-menit dan jam yang bergerak terus, angka-angka di kalender, pergantian siang menjadi malam dan malam bertukar kembali ke pagi, menghadirkan makna yang mendalam dan peluang bagi orang-orang yang menyadari, istilah Peter Drucker, “kemana waktu pergi.”
Itulah golongan para eksekutif yang berperilaku efektif. “They start with their time. And they do not start with planning. They start by finding out where their time actually goes,” kata Peter Drucker.
Di luar golongan itu, utamanya orang-orang berperilaku hubris, karena keangkuhannya atau akibat minder, pergantian tahun atau saat ulang tahun cenderung diartikan sebagai alasan perlunya pesta besar, perayaan, pengalihan masalah (denial), dan mengejar kehampaan. Semua itu penggalan events yang, jika dilakukan berlebihan, dapat menggerus kecerdasan.
Kelamaan di tahap itu dapat menyebabkan mereka mereduksi diri –rela pula mengerahkan resources (uang dan waktu)– untuk jadi mangsa entertainment industry. Mereka terancam tidak eksis.
Dr. Marshall Goldsmith dan Dr. Kelly Goldsmith beberapa tahun silam melakukan survei kaitan happiness dan meaning, untuk mengukur tingkat kepuasaan organizational dan personal dalam menjalani hidup.
Kelompok partisipan yang menghabiskan banyak waktu untuk hiburan yang memang fun, tapi tanpa makna, mengaku telah mengalami kedangkalan hidup. Mereka tidak merasa puas di tempat kerja dan juga di rumah.
Ini mengindikasikan, “an overpreoccupation with amusement may do harm than good,” tulis kedua Goldsmith (ayah dan anak perempuannya).
Di sisi lain, para responden yang menghabiskan waktu lebih banyak untuk aktivitas-aktivitas penuh makna, tapi tidak membahagiakan, pada merasa seperti martir. Artinya, kalau Anda jungkir balik berkejaran dengan waktu hanya melulu menjalankan tugas, karena khawatir dimarahi atasan atau karena ketakutan lain, dan Anda melakukannya dengan (setengah) terpaksa, maka siap-siap jadi martir.
Kelompok ketiga perlu kita cermati: Para responden yang tercatat secara konsisten merasakan kepuasaan hidup di lingkungan kerja dan di rumah, terbukti merupakan golongan orang yang selalu memanfaatkan sebagian besar waktu mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang jelas memberikan kebahagiaan dan makna hidup.
Pada tahap itu, kita baru benar-benar eksis. Anda setuju kan, bahwa menjadi bahagia dan bermakna merupakan hal terbaik yang pantas kita lakukan dalam hidup?
Excuse me, maaf, apakah di antara Anda sudah atau tengah menuju level itu? Berapa persen kira-kira di tempat kerja kita dan di lingkungan tempat tinggal kita orang-orang yang sudah berhasil benar-benar eksis?
Berapa sering pula kita dapati orang-orang di level eksekutif, atau mengaku dirinya sebagai leader, bekerja sangat keras –menghasilkan banyak uang– lantas menghibur diri mereka dalam pelukan alkohol (bahkan narkoba), sebagiannya menghanyutkan diri dalam kesenangan (termasuk seks) tanpa batas. Apakah mereka benar-benar bahagia dan mendapatkan makna hidup?
Kalau pun tidak hanyut dalam entertainment yang berlebihan, masih sering pula dapat kita temui kalangan eksekutif yang bekerja sangat keras kemudian mengalami burn out, seperti menghadapi jalan buntu.
Gejala yang kelihatan antara lain berupa perilaku disparage people – merendahkan pihak lain (tim) demi mengamankan jabatan, ego, dan (kemungkinan juga) kepentingan pribadi. Dampaknya antara lain: organisasi mengalami bottleneck. Masalah bermunculan dari pelanggan, rekan kerja, vendors, dan diri mereka sendiri (para eksekutif senior tidak aligned). Para line managers berada pada kondisi constant alertness, ini merupakan pemborosan kecerdasan.
Anda mengenali situasi atau kondisi seperti itu? Sekiranya di antara kita berada di dalam organisasi semacam itu, apalagi menjadi bagian dari unsur pimpinan di sana, apakah kita bisa hidup bahagia dan merasa bermakna?
Kalau mau meraih kebahagiaan dan menjalani hidup bermakna, ada baiknya mendengar Peter Drucker, yang sejak puluhan tahun silam sudah mengingatkan pentingnya setiap organisasi, dan kita sebagai pribadi, memiliki misi, life purpose. Dalam khasanah pemikiran Jawa disebut mampu memahami sangkan paraning dumadi dan bernyali mewujudkannya dalam tindakan sehari-hari.
Untuk memiliki misi yang efektif, diperlukan upaya sungguh-sungguh memadukan tiga hal ini: peluang-peluang di hadapan kita; tingkat kompetensi; dan komitment. Setiap pernyataan misi yang kuat mencerminkan ketiga hal tersebut.
Kenapa perlu nyali untuk mewujudkannya? Masih sering dapat kita jumpai organisasi (dan pribadi) yang membuat misi dan visi hanya untuk pajangan ruang rapat, dinding lobi, dan ruang kerja mereka. Praktiknya? Jauh panggang dari api.
Organisasi dan pribadi-pribadi yang konsisten pada misi mereka lazimnya memiliki keberanian (courage), sikap rendah hati, dan disiplin selalu melakukan asesmen ulang atas kompetensi masing-masing, bercermin diri, dan disiplin melakukan follow up setiap komitment. Misi utama bisa jadi tetap dipertahankan, tapi praktik operasional, budaya kerja, strategi, taktik, struktur, dan proses bisnis selalu berubah agar mampu menghadapi realitas sekarang.
Jika ada eksekutif ngotot mempertahankan perilaku kepemimpinan sekarang, dengan alasan “kalau berubah bukan saya lagi, dong”, sesungguhnya ia telah mengubur dirinya sendiri – dalam lingkungan manajemen disebut jadi “deadwood”.
Orang cerdas seperti Anda tentunya jauh lebih baik dari itu. Berani bercermin evaluasi diri, mampu menjadi eksekutif yang lebih efektif. Ujaran Lao Tzu lebih dari 2000 tahun silam tetap relevan sampai hari ini, “When I let go of what I am, I become what I might be.”
Performance Anda menjadi ukuran utamanya.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman