Kolom Mohamad Cholid
Li Jinbao melumpuhkan 25 orang tentara Mongol dalam upayanya melindungi Kuil Wudang. Namun kemudian ia terpojok dan dipenjara. Dalam upaya melarikan diri, Li Jinbao membunuh sejumlah orang lagi, salah satunya adalah anak seorang jenderal yang sangat berjasa bagi Kublai Khan.
Di mata Kublai Khan itu merupakan tindakan kriminal tak termaafkan, “Crime beyond crime,” katanya. Hukuman untuk itu, saat ditangkap lagi, Li Jinbao, dalam keadaan leher dipasung dan tangan terikat, matanya disemprot bisa langsung dari mulut seekor ular kobra. Li Jinbao buta.
Usai kemarahan Kublai Khan reda, dalam salah satu dialog sembari main bidak dan minum anggur, Li Jinbao, yang kondisinya sudah pulih, diingatkan, “Kamu dihukum karena membunuh anak Sobotai, salah seorang jenderal andalanku, ya.”
Kublai Khan seperti ingin menjelaskan rule of the game pemerintahannya, sekaligus memberikan isyarat telah memaafkan Li Jinbao membunuh sejumlah anggota pasukan Mongol lainnya.
Li Jinbao tertawa. “Kamu telah memberiku hadiah. Menjadi buta malah membuatku mampu melihat dengan seratus mata.” Li Jinbao lantas memainkan salah satu bidaknya, menyerang posisi bidak Kublai Khan. Perbincangan saat itu tampak akrab, sekaligus lugas, to the point. Kublai Khan mau merangkul Li Jinbao agar bekerja sama, antara lain jadi pelatih kung fu calon putra mahkota.
Itu petikan adegan “One Hundred Eyes”, satu episode film kisah-kisah yang menggambarkan penaklukan Mongolia atas China dibawah Kublai Khan diiringi upaya menyatukan budaya dan menghargai tradisi setempat. Film tersebut ada di Netflix.
Dalam sejarah China yang sangat panjang, pemerintahan Kublai Khan, yang bersedia mempelajari tradisi pemikiran di wilayah taklukannya itu, di kemudian hari dikenal banyak memberikan kontribusi.
Setelah melumpuhkan Dinasti Song, Kublai Khan mendirikan Dinasti Yuan (1279 – 1368) dan menyatukan China, serta membangun Beijing sebagai pusat pemerintahan. Kublai Khan dianggap berjasa pula untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pemberlakuan uang kertas yang didukung oleh cadangan emas.
Kisah Li Jinbao menjadi Pendekar Seratus Mata, justru setelah buta, mungkin saja dramatisasi pergulatan batin seorang praktisi seni bela diri papan atas dalam berinteraksi dengan realitas dan perubahan sejarah. Itu merupakan ilustrasi menarik menggambarkan upaya-upaya manusia menembus keterbatasan. Dalam kondisi buta, Li Jinbao mengembangkan jurus-jurus baru dan mematangkan diri.
Kata Li Jinbao, para rahib di Wudang menggunakan waktu mereka untuk menuju “kasunyatan”, puncak kekosongan. Melumpuhkan ego pribadi, menggapai Langit. Li Jinbao sendiri merasa kurang pas disebut tidak takut mati. Ia lebih senang disebut, “tidak terikat pada hidup.” Jalan keabadian yang indah hanya bisa ditempuh setelah seseorang berhasil mengatasi dirinya, lepas dari nafsu keduniaan.
Akhirat lebih indah dari kegemilangan dunia, menurut ajaran Islam.
Sekarang, untuk memacu kompetensi diri, mampu “melihat dengan seratus mata” seperti Li Jinbao, kita tentunya tidak harus buta (atau membutakan diri terhadap dunia). Barangkali lebih tepat tidak mabok atau lupa diri pada kesementaraan. Untuk menjadi diri kita yang lebih baik, lepas dari self-limiting belief atau batasan-batasan semu yang kita ciptakan dalam angan-angan, rasanya kata-kata Lao Tzu pas untuk kita terapkan: “When I let go of what I am, I become what I might be.”
Bahasa lugasnya barangkali begini: Kalau Anda mau memperoleh yang lebih baik dari sekarang, lebihkan diri sendiri dulu – dengan meningkatkan kompetenssi dan kesiapan diri, mengubah menjadi eksekutif lebih efektif, memantaskan diri.
Dari proses yang dilakukan Kublai Khan dalam upayanya membangun China, hal mendasar yang tetap relevan untuk menghadapi situasi sekarang adalah bahwa kepemimpinan bukan sekedar penaklukan suatu wilayah (organisasi).
Kenapa penting? Sampai hari ini masih dapat kita temukan para eksekutif yang mendapatkan kepercayaan memimpin suatu organisasi, datang dengan semangat menaklukkan. Energi mereka lebih banyak untuk mendongkrak ego, mengumbar kemarahan, membanggakan prestasi sebelumnya – padahal tidak ada jaminan cara-cara kerja di tempat sebelumnya dapat diandalkan untuk memimpin wilayah tanggung jawab sekarang dengan baik, apalagi excellent.
Kublai Khan memang menegakkan rule of the game, tapi selalu membuka diri mempelajari, merangkul potensi budaya dan memanfaatkan kekuatan resources wilayah yang dipimpinnya. Dia dinilai berhasil menyatukan China, memberikan kontribusi positif dalam pengembangan peradaban – tentu dengan sejumlah catatan, upayanya tidak selalu mulus.
Eksekutif yang berhasil keluar dari keterbatasan masa lalu dan egonya, menjadi pemimpin efektif, lazimnya fokus pada kekuatan diri dan tim, untuk memberikan kontribusi positif bagi kemajuan organisasi.
Sebaliknya, masih sering terjadi, orang-orang pintar yang menjadi eksekutif terjerumus ke dalam kesia-siaan, atau kegagalan. Ini akibat perilaku kepemimpinan mereka masih belum mampu keluar dari hiruk-pikuk kesibukan trivial, arus rentetan kejadian, “operating”.
Kata Peter Drucker, “Effectiveness is a habit. That is a complex of practices. And practices can always be learned.”
Meningkatkan kompetensi agar mampu “melihat dengan seratus mata”, sanggup memimpin secara efektif, dan berkontribusi untuk menuju perubahan positif, tentunya merupakan kebutuhan setiap individu yang dipercaya menjadi leader di organisasi, profit dan nonprofit. Dari level supervisor sampai CEO.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman