Kolom Mohamad Cholid
“There are some people that if they don’t know …and don’t know that they don’t know … you can’t tell them.” – Louis Armstrong.
Dalam Bahasa Indonesia ada kata yang sudah kita kenal: “terpaku” – dari kata dasar “paku”(nail). Misalnya, anak-anak terpaku pada tontonan di televisi. Atau, mata Anda terpaku selama 30 menit pada angka-angka laporan keuangan bulan ini. Atau, pandangan Anda terpaku pada gerak-gerik wanita di pojok café itu ya?
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak di antara kita yang pikiran dan perilakunya masih terpaku pada masa lalu. Bertindak dan mengambil keputusan berdasarkan kejadian-kejadian di masa yang sudah lewat. Padahal kenyataan di depan mata sudah berubah. Orang-orang yang sempat jadi bagian peristiwa di masa lalu pun sudah tumbuh, mungkin jadi lebih baik, dapat hidayah, dan tambah cerdas.
Manusia yang kebetulan tengah memegang hak untuk memutuskan bisa bertindak dzalim kepada manusia lain (anggota timnya), jika dia memberikan penilaian atas kinerja anak buahnya terpaku hanya pada kejadian di masa silam. Tanpa melihat perubahan/perbaikan yang terjadi dan realitas saat ini.
Bahasa keren cara penilaian yang hanya terpaku pada masa yang sudah lewat itu adalah berdasarkan KPI (Key Performance Indicator).
Kalau Anda, usai olah raga dan mandi, lantas naik ke timbangan dan melihat angka sekian kilogram, itulah gambaran KPI – hasil dari yang sudah dilakukan. Untuk itu ada istilah lag measure.
Rapat-rapat dewan direktur di organisasi sering menghabiskan lebih dari 50% waktu mereka untuk mengulik-ulik KPI, lag measure, fakta yang sudah terjadi. Bisa berupa revenue, profit, atau jumlah pelanggan dan pencapaian lainnya.
Tentu tidak ada yang salah dengan KPI. Tapi, karena KPI merupakan fakta setelah kejadian, end results, kalau kita terpaku pada hanya satu ukuran tersebut, akan menyebabkan misleading.
Kita bisa alpa pada yang lebih utama, yaitu perubahan perilaku, perlunya tindakan-tindakan baru yang prediktif untuk kita eksekusi, demi meraih hasil lebih baik. Misalnya, jika Anda ingin menurunkan berat badan dua kilogram, bisa jadi perlu rutin jogging lima kilometer dua kali seminggu selama tiga bulan. Terukur kan? Ini lead measure.
Dalam upaya pengembangan prestasi organisasi, action tersebut lazim pula disebut critical drivers, faktor-faktor yang demikian penting sebagai determinan dalam meningkatkan value dan perbaikan kinerja.
Kalau Anda manyadari pentingnya proses pengambilan keputusan yang lebih baik dan ada kebutuhan untuk meningkatkan business mastery, sebaiknya identifikasi dan ukur secara konsisten critical drivers secara periodik. Ini early warning system, sangat membantu kita memahami apa saja yang terjadi dalam proses bisnis sebelum laporan keuangan disajikan – pada akhir bulan, per kuartal atau di akhir tahun.
Terpaku pada persoalan, keluhan, dan kesibukan yang luar biasa tanpa fokus yang jelas, kenyataannya juga telah menyebabkan orang-orang cerdas dan dulunya pernah berprestasi, pikirannya mampat. Akibatnya gagal memimpin organisasi.
Manusia memiliki kecenderungan lebih betah hidup dalam “ketidaknyamanan kronis yang sudah mereka kenal” – seperti revenue dan profit yang “no up-up”, atau berupa batuk/pilek yang menahun, ketagihan rokok, alkohol, dan seks, serta kebiasaan menunda pekerjaan dan pulang malam – ketimbang harus berubah, melakukan hal baru yang belum mereka kenal.
Manusia golongan itu sering diibaratkan “menduduki paku” dan betah di tempat sama karena rasa sakitnya dapat mereka tolerir. Mereka malas pindah. Dalam pergaulan, orang yang lebih memilih menikmati rasa sakit yang mereka kenal ketimbang masuk ke wilayah baru, dianggap “sitting on nails.”
Mengubah perilaku, melaksanakan kerja dan menjalani hidup dengan disiplin baru yang, umumnya, counterintuitive, terasa berat buat mereka. Mereka tahu, itu sangat bermanfaat, memberikan positive impact. Tapi menolak berubah.
Benar, kan? Bukankah kondisi semacam itu ada di sekitar kita?
Pada level organisasi, symptom betah di situasi ketidaknyamanan kronis antara lain berupa kebiasaan rapat-rapat yang agendanya tidak dipersiapkan seksama, pembiaran chaos dalam interaksi antar divisi, proses pengambilan keputusan dilakukan hampir selalu dengan drama. Sulit pula diajak memperbaiki bottleneck.
Apa akar masalah dari symptom kronis yang telah menyebabkan banyak organisasi tersendat-sendat meraih target tersebut?
Dari berbagai survei, observasi, dan pengalaman lembaga-lembaga yang telah membantu perbaikan kepemimpinan organisasi-organisasi di banyak negara, termasuk kalangan multinasional, penyebab utamanya mostly akibat leadership behavior. Perilaku kepemimpinan para pengambil keputusan di organisasi semacam itu umumnya masih terpaku pada mindset lama – mereka bergaya kolonial atau feudal, kata anak-anak muda zaman sekarang.
Mereka menafsirkan leadership sebagai alat kekuasaan (power) untuk memperlihatkan eksistensi diri; belum diorientasikan membangun kontribusi. Bukankah bottleneck selalu terjadi di leher botol (di pimpinan level atas)?
Bahkan di birokrasi masih ada joke kotor: “Kalau suatu urusan bisa ditunda, kenapa harus dibikin lancar?”.
Mereka khilaf, apa pun yang dipercayakan kepada seorang manusia – jabatan, fasilitas yang melengkapinya, kepintaran, peluang baik – akan diminta pertanggungjawabannya. Bahkan sewaktu-waktu diambil Tuhan jika dimanfaatkan secara salah, menyakiti umat manusia lainnya — tim, karyawan, vendor, atau pelanggan.
Perilaku kepemimpinan seperti itu, terpaku pada pemuasan diri (ego) sehingga mentolerir bottleneck demi memperlihatkan kekuasaan, sangat merugikan organisasi. Mengancam peradaban.
Apakah ada di dunia ini organisasi-organisasi yang dipimpin oleh orang-orang yang jiwanya terpasung (dipakukan) pada ilusi-ilusi kekuatan jabatan, arogansi, dan ketidakperdulian pada para stakeholders itu bisa meraih sukses?
Organisasi-organisasi hebat, dari level yang sedang tumbuh atau sudah jadi korporasi besar, lazimnya dipimpin oleh para eksekutif yang rendah hati, memiliki disiplin intelektual dan spiritual tinggi, serta berani melihat dan mengelola realitas hari ini. Pikiran mereka merdeka, tidak terpaku atau terpasung pada masa silam dan ilusi-ilusi dunia lainnya; tapi lebih banyak memberikan kontribusi signifikan kepada umat manusia.
“Effective executives focus on onward contribution,” kata Peter Drucker.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman