Oleh Shamsi Ali*
Pagi ini sebelum melanjutkan aktivitas di Hamburg saya tergerak untuk menuliskan secara singkat tentang bahaya berlebih-lebihan. Dalam bahasa agama berlebihan itu biasanya disebut tathorruf.
Tathorruf sesungguhnya lebih dikenal atau populer dalam bahasa modern, bahkan telah menjadi bahasa harian, dengan istilah ekstrim atau radikal.
Lawan dari kata ekstrim adalah moderasi. Sebuah sikap yang selalu menjaga keseimbangan. Tidak ingin terbawa arus berlebihan dalam apa saja. Mungkin dalam bahasa jalanannya “biasa-biasa saja”.
Rasulullah SAW seringkali mengingatkan Umat ini agar biasa-biasa saja dalam segala hal. Sabda beliau, “Jika mencintai jangan mencintai yang berlebihan. Dan Jika membenci jangan membenci berlebihan.”
Sikap imbang itulah yang akan membentengi stabilitas hidup. Alam semesta akan goyah di saat keseimbangannya goyah. “Dan langit Allah tinggikan dan letakkan keseimbangan.” (Ar-Rahman).
Saya terkejut melihat beberapa fenomena terakhir bahwa ada kalangan yang memperlihatkan sikap berlebihan itu. Bahkan dalam menyikapi kehidupan kebangsaan atau hidup bernegara.
Salah satunya ada pihak-pihak yang berlebihan dalam memandang atau menempatkan Pancasila sebagai “falsafah” negara. Berlebihan dalam menempatkan Pancasila justru akan membawa ketidakimbangan dalam pemahaman dan sikap. Terjadilah paradoks nyata itu.
Satu bentuk paradoks nyata itu adalah ketika Pancasila ditabrakkan dengan agama. Selain paradoks, sesungguhnya sikap seperti itu juga boleh jadi “kebodohan” dan “pembodohan” nyata tentang Pancasila itu sendiri.
Semua orang tahu, bahkan anak kecil di sekolah-sekolah dasar, bahwa Pancasila merupakan falsafah negara yang secara esensi diambil dari agama. Semua pasal-pasal Pancasila senyawa dengan esensi agama. Dari ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, hingga ke keadilan sosial, semuanya adalah esensi agama.
Lalu dari mana asal usul ketika secara tiba-tiba ada cara pandang yang mengatakan bahwa ancaman terbesar dari Pancasila adalah agama?
Logikanya, karena esensi Pancasila adalah agama maka semua yang menjadi ancaman agama juga sekaligus menjadi ancaman Pancasila. Bukan sebaliknya.
Ancaman agama itu adalah komunisme, liberalisme, hedonisme dan kapitalisme. Ancaman agama itu adalah juga radikalisme dan ekstremisme. Dan semua yang menjadi antitesis dari nilai-nilainya.
Sesungguhnya demikian pula dengan Pancasila. Justru ancaman terbesar Pancasila adalah komunisme, liberalisme, hedonisme dan kapitalisme. Tentu juga ekstrimisme dan radikalisme, termasuk radikalisme dalam memandang Pancasila itu sendiri.
Radikalisme dalam memandang Pancasila itulah kemudian melahirkan sikap yang justru paradoks dengan pancasila. Hal kecil yang mulai terdengar adalah ketika “salam agama” (assalamualaikum) ingin diganti dengan “salam Pancasila”.
Saya justru yakin para founding fathers yang merumuskan Pancasila itu akan marah dengan sikap radikal ini. Karena saya yakin mereka akan mengatakan Pancasila tidak diciptakan untuk menyaingi agama. Apalagi menggantinya. Pancasila justru hadir untuk mengingatkan bangsa ini bahwa agama adalah “nyawa” kebangsaan itu sendiri.
Khawatirnya adalah sikap berlebihan kepada Pancasila itu menjadi pengkhianatan sekaligus. Atau sikap seperti itu justeru sebuah bentuk penyakit ideologi yang berbahaya.
Maklum dunia kita sedang dilanda oleh tendensi penyakit ini. Di Barat ideologi ekstrim golongan kanan (extreme rights) telah membawa banyak korban.
Karena extremisme ideologi itulah kemarin seorang pemuda Inggris masuk mesjid dan menusuk muazzinnya. Extremisme ini pula yang menjadikan seseorang di kota kecil Anau Jerman membunuh beberapa orang Islam. Juga kemarin sore.
Akankah pandangan ekstrim ideologi itu membawa korban di negara tercinta? Semoga tidak.
Karenanya, wahai anak-anak bangsa, khususnya kamu yang digaji besar dan harusnya mampu menjaga Pancasila pada track yang benar. Jangan berlebihan. Biasa-biasa sajalah. Itu lebih sehat untuk kamu dan bangsa ini.
Hamburg, 21 Februari 2020
*Diaspora Indonesia di New York, saat ini keliling Eropa untuk kampanye damai dan moderasi.